Kalabahi –
Enam Anggota DPRD Alor, walk out dari ruang sidang Badan Kehormatan (BK). Mereka diperiksa BK terkait dugaan pelanggaran kode etik yang diaduan Ketua DPRD Enny Anggrek. Lalu apa alasan 6 wakil rakyat yang terhormat itu walk out dari ruang sidang?
Anggota DPRD Alor Dony M. Mooy, S.Pd, sebelumnya walk out dari ruang sidang Badan Kehormatan (BK) pada sidang yang digelar Senin (4/5) di gedung DPRD, Batunirwala.
Dony diperiksa BK terkait dugaan pelanggaran kode etik yang diadukan Ketua DPRD Enny Anggrek. Pernyataannya bahwa Ketua DPRD Alor hadir Jemput Hamid Haan di tengah kerumunan masa itu salah, jadi penyebab Ketua DPRD melayangkan laporannya ke BK.
Sementara 5 Anggota Badan Anggaran (Banggar) juga diperiksa Ketua BK Sony Magangsau dan Anggota Hans Tonu Lema, pada Selasa (5/4) di Gedung DPRD, Batunirwala.
Sekretaris Fraksi Persatuan Nurani Dony Mooy mengatakan, laporan Ketua DPRD Enny Anggrek Nomor: 195/300/170/2020 perihal pengaduan, tanggal 21 April 2020 pada dirinya dan laporan lima Anggota Banggar Nomor: 193/300/170/2020, diduga melanggar sejumlah ketentuan Undang-undang dan Tatib DPRD Alor No.2/2019.
Menurutnya setiap Anggota DPRD mempunyai Hak Imunitas sesuai pasal 160 huruf f UU No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah. Hak imunitas juga diatur dalam pasal 372 poin f UU No. 17/2014 tentang MD3.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/05/05/aksi-pukul-meja-sidang-kode-etik-5-anggota-dprd-alor-ricuh/
Hak imunitas DPRD dalam ketentuan Undang-undang tersebut dikatakan bahwa:
“ Anggota DPR/DPRD tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR/DPRD ataupun di luar rapat DPR/DPRD yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR/DPRD.”
Hak Imunitas tersebut kata Dony bisa digunakan Anggota DPRD untuk berbicara mengontrol dan mengawasi kinerja pemerintahan dan/atau penyelenggara negara yang tidak sesuai prosedur dan ketentuan Undang-undang. Hak imunitas tersebut juga bisa dipergunakan lima rekannya untuk memutuskan hadir dan tidak dalam Rapat Banggar di ruangan rapat Komisi.
Hak Imunitas yang melekat pada Anggota DPRD tersebut membuat mereka tidak serta merta diadili BK maupun penegak hukum, kecuali dalam kotenks kasus-kasus tertentu.
“Lu periksa saya dasar? Polisi juga tidak bisa periksa saya. Saya omong di bidang tugas kerja (saya) ko lu mau omong apa? Kecuali benturan fisik ya tangkap, penjara,” kata Dony, Senin (4/5) usai walk out dari ruang sidang BK, di Gedung DPRD, Batunirwala.
Dony menambahkan dirinya walk out dari ruang sidang BK karena sidang tersebut dianggapnya tidak sesuai Pasal 58 dan 59 PP No 12/2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD. Pasal 58 dan 59 mengatur prosedur dan ketentuan pengaduan serta pihak yang berwenang mengadu.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/05/04/walk-out-sidang-bk-dony-mooy-dprd-punya-hak-imunitas/
Dalam PP 12/2018 tersebut dijabarkan lebih rinci dalam ketentuan Tata Tertib DPRD Alor No. 2 Tahun 2019.
Dony Mooy menjelaskan aduan Enny ke BK dianggap tidak sesuai Pasal 64 poin (1) Tata Tertib DPRD No.2/2019 karena surat Enny langsung ditujukan ke BK. Seharusnya surat tersebut ditujukan kepada Pimpinan DPRD, tembusannya yang dikirim ke BK. Bukan malah surat Ketua DPRD langsung ditujukan kepada BK dan BK mengeluarkan surat pemanggilan klarifikasi.
Pasal 64 poin (1), (2), (3) disebutkan bahwa:
(1) Pimpinan DPRD, Anggota DPRD, dan/atau masyarakat menyampaikan pengaduan dugaan pelanggaran oleh Anggota DPRD secara tertulis kepada Pimpinan DPRD dengan tembusan kepada badan kehormatan disertai identitas pelapor yang jelas dan bukti dugaan pelanggaran.’
(2): Pimpinan DPRD wajib meneruskan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada badan kehormatan paling lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak tanggal pengaduan diterima.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pimpinan DPRD tidak meneruskan pengaduan kepada badan kehormatan, badan kehormatan menindaklanjuti pengaduan tersebut.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/05/04/sidang-kode-etik-anggota-dprd-alor-ricuh/
“Setiap pengaduan ditujukan ke pimpinan DPRD. Nah, yang terjadi adalah surat saudari Enny Anggrek itu tujuannya ke Badan Kehormatan dan bukan ke pimpinan DPRD. Padahal Enny Anggrek selaku pimpinan DPRD yang bermasalah dengan kami,” katanya.
Dony menerangkan, seharusnya mekanismenya adalah pengaduan itu disampaikan ke pimpinan DPRD, kemudian tiga pimpinan DPRD membahasnya dan memverifikasi isi laporan. Kalau laporan tersebut tidak memenuhi unsur pengaduan maka dikembalikan ke yang mengadukan. Namun bila pengaduan memenuhi unsur (dalam 7 hari harus diverifikasi) itu maka pihak Sekretariat DPRD mengagendakan dan memberikan nomor surat baru diteruskan ke BK untuk dilakukan proses lanjutan.
“Nah, yang terjadi hari ini, pertama; tujuan surat salah. Kedua; pimpinan itu sesuai kode etik ada tiga orang; ketua dan dua wakil ketua. Itu bersifat kolektif kolegial, dalam artian satu orang tidak bisa mengatasnamakan atau memutuskan sesuatu tanpa diketahui pimpinan yang lain. Kalau Ketua DPRD yang melakukan pengaduan maka seharusnya pengaduan itu didisposisi ke salah satu Wakil Ketua untuk menangani. Nah, ini kan tidak, main langsung-langsung saja, ada apa ini?” Dony heran.
Bekas Ketua KNPI Alor itu menerangkan, surat Enny Anggrek juga diduga dilakukan sepihak tanpa mengetahui atau melalui pembahasan dua pimpinan DPRD. Hal tersebut diketahui melalui catatan arsip surat undangan di Sekwan dan hasil cross cek langsung dengan dua pimpinan DPRD; Drs. Yulius Mantaon dan Sulaiman Sings.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/04/29/kisruh-dprd-alor-nasdem-sebaiknya-ketua-dprd-cabut-laporannya/
“Karena mengadukan kami dalam posisi sebagai Ketua DPRD dari unsur pimpinan, kami cross check ternyata tidak pernah ada rapat pimpinan membahas soal rencana pelaporan terhadap Anggota. Berarti itu juga sudah keliru. Tujuan surat sudah salah, menggunakan kop stempel pimpinan tanpa ada rapat pimpinan dan sendiri-sendiri lapor. Buktinya tidak pernah ada agenda, undangan dan tidak pernah ada nomor surat dari sekwan yang menyatakan itu,” ucapnya.
Dony mengatakan kehadirannya memenuhi undangan klarifikasi di BK sebagai bentuk menghormati pimpinan dan Anggota BK sekaligus menjelaskan bahwa ada kekeliruan dalam prosedur pelaporan pengaduan Ketua DPRD.
“Kalau soal ibu Ketua bilang bahwa Anggota DPRD dilarang berbicara, oh tidak ada aturan itu di Tata Tertib begitu. Kita semua punya hak. Kecuali membangun hubungan kerja sama dengan pihak lain ya ok Ketua DPRD punya wewenang di situ. Contoh; bersurat atas nama lembaga, saya tidak mungkin selaku Ketua Komisi I bersurat. Membuat MoU atas nama lembaga, saya tidak punya kewenangan di situ. Tetapi kalau berbicara adalah kita semua 30 orang Anggota DPRD punya hak yang sama. Kalau soal Tato saya kira juga tidak diatur dalam Tatib dan kode etik. Menteri Susi Pujiastuti yang tato penuh kaki saja Presiden tidak tegur dan banyak Anggota DPR bertato, itu tidak masalah karena Tatib kita tidak mengaturnya,” pungkasnya.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/04/04/ketua-dprd-alor-jangan-fitnah-saya-tahu-bahaya-covid-19/
Ia juga menyoalkan surat tembusan dalam laporan Ketua DPRD dan surat Ketua BK yang disampaikan langsung ke Ketua Partainya PSI mulai dari tingkat pusat hingga daerah tanpa melalui Fraksinya di DPRD.
Dony mempertanyakan mengapa harus demikian? Karena seharusnya surat tembusan ditujukan kepada Fraksi selaku representasi Parpol di DPRD. Dan BK tidak mempunyai wewenang mengeluarkan surat keluar, sebab yang berwenang adalah Pimpinan DPRD.
“Anehnya teman-teman 5 orang yang diadukan itu tembusannya ke Farksi, saya punya bukan ke Fraksi malah ke Pimpinan Partai saya dari tingkatan Kabupaten sampai di pusat. Sudah begitu Ketua BK keluarkan surat ke Partai saya. Ini ada apa? Yang bisa mengeluarkan surat keluar itu Pimpinan DPRD,” katanya kesal.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas maka Dony memutuskan walk out dari ruang sidang BK karena dianggap sidang BK cacat prosedural dan tidak sah sesuai ketentuan yang berlaku.
“Jadi walk out tadi itu spontanitas menanggapi hal yang di luar aturan. Kan yang mengumbar ke publik ini kan Enny Anggrek sendiri. Harusnya etikanya laporan Anggota DPRD itu bersifat internal ke BK. Tetapi sudah unggah kiri kanan-kiri kanan, ada maksud apa sampai di situ,” tutur Ketua Komisi I itu.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/04/04/ribuan-warga-alor-jemput-hamid-haan-pulang-kampung/
“Kalaupun Ketua DPRD mau berhentikan Anggota DPRD ya tidak segampang itu mau berhentikan kami 6 orang. Surat menyurat, semua barang tidak memenuhi unsur ko dipaksakan sekali. Kami protes keras ini dalam rangka kita menjaga wibawah jangan sampai besok-besok, ada surat sepotong datang dari masyarakat kamu periksa semua orang,” ungkapnya.
“Makanya tadi kita sudah sampaikan lewat surat Fraksi. Ada tiga Fraksi; NasDem, Demokrat dan Persatuan Nurana yang sudah mengajukan surat pencabutan laporan Ketua DPRD. Kemungkinan ada lima Fraksi yang nanti menolak, baru kita lihat. Kalau dia mau terus ya kita terus sampai langit turun atau air laut yang naik, terserah. Kita sudah minta segera rapat paripurna untuk selesaikan segala macam kekisruan ini,” lanjut Ketua PSI definitive Alor itu.
Dony menilai kalau kekisruan di parlemen ini tidak segera diakhiri dan terus terjadi maka imbasnya pemerintah daerah juga akan terganggu dan masyarakat pun akan dikorbankan, apalagi daerah sedang menghadapi situasi covid-19.
“Saya sudah jelaskan semua tadi di BK termasuk hak imunitas DPRD sesuai Undang-undang. Surat kami Fraksi Persatuan Nurani, kita minta segera gelar Paripurna bhas kisruh ini. Kita sedang hadapi covid jadi paripurna juga kita minta segera bahas Anggaran Covid-19,” tutup Dony.
Selain Dony, Lima Anggota Banggar DPRD Alor juga turut diperiksa Ketua Badan Kehormatan (BK) Sony Magangsau dan Anggotanya Hans Tonu Lema pada Selasa (5/5) di ruang sidang BK DPRD, Batunirwala.
Mereka yang diperiksa: Ibrahim Nampira (Perindo/F-Persatuan Nurani), Ernes Mokoni (PKB/F-Persatuan Nurani), Rei Atabuy (F-Demokrat), Deni Padabang (F-NasDem), Walter Datemoli (F-PDIP).
Ketua Fraksi NasDem Deni Padabang dan Anggota DPRD PKB Ernes Mokoni juga ikut menolak laporan Ketua DPRD Enny Anggrek kepada mereka di BK. Deni mengatakan, lima Anggota Banggar tidak melakukan pembangkangan, demo dan boikot Ketua DPRD. Ia beranggapan, sikap boikot atau apapun namanya itu hak politik DPRD yang dijamin Undang-undang.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/04/04/jemput-hamid-di-tengah-covid-19-megawati-didesak-copot-ketua-dprd-alor/
Deni menjelaskan, meskipun ada selisih pendapat mengenai ruangan rapat Badan Anggaran dengan Ketua DPRD namun dirinya bersama empat rekannya memilih ikut rapat di ruang Komisi. Lima anggota Banggar disebut Deni, malah yang menyusun rekomendasi dan kebijakan strategis anggaran dan disampaikan kepada Pimpinan DPRD, selanjutnya diserahkan ke Bupati Alor Drs. Amon Djobo.
“Kami kemarin dilaporkan oleh Ibu Ketua karena membangkang, boikot dan lain-lain. Kalau omong politik, boikot itu wajar karena itu hak imunitas Anggota DPRD. Mungkin ada alasan lain sehingga kami tidak ikut. Tetapi nyatanya pada saat itu kami ikut dan membuat laporan, serahkan ke pimpinan dan pimpinan DPRD sampaikan itu kepada Pak Bupati,” katanya.
Deni menyindir laporan Ketua DPRD yang dianggap salah sasaran sesuai ketentuan Tatib pasal 64 yang berlaku.
“Tatib pasal 64 itu siapapun yang mengadu, mengadu ke pimpinan DPRD. Bukan langsung ke Badan Kehormatan,” ujar Deni mengamini penjelasan Dony Mooy.
“Badan Kehormatan tidak boleh memproses barang yang cacat prosedural. Harus verifikasi ini barang betul betul atau tidak. Karena ini menyangkut kehormatan kami selaku representasi rakyat,” lanjut Deni kesal.
Anggota DPRD dua periode tersebut menerangkan, pengadu juga harus menyampaikan identitas pengadu; dia tinggal di mana, lampirkan KTP, masalahnya apa, semua itu diverifikasi. Sementara semua laporan Ketua DPRD ke BK tidak dilampirkan hal-hal tersebut utamanya identitas pengadu.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/04/27/pdip-respon-kisruh-politik-di-dprd-alor/
Dikatakannya, Kalau pengaduan tidak memenuhi syarat ketentuan maka BK tidak boleh memproses dan laporannya dikembalikan kepada pengadu. Deni meminta BK memahami bidang tugas dan fungsinya serta harus bersikap independen tanpa intervensi pihak tertentu.
“Kami ikut rapat sampai tengah malam. Dan kami yang buat rekomendasi itu dan sampaikan kepada Bupati melalui pimpinan DPRD. Kami kerja, bukan tidak kerja. Maka boikot, membangkangan itu ditujukan kepada siapa? BK harus independen dalam menangani kasus ini. Karena secara politik kami akan dinilai lain oleh masyarakat,” jelasnya.
Deni pun mempertanyakan isi laporan ketua DPRD yang mengatakan ada pihak sebagai otak dibalik boikot, demo dan membangkan Ketua DPRD.
Deni bilang: “Maksud apa itu? Ini pimpinan DPRD kualitas memimpinnya seperti apa saya tidak tahu. Bayangkan sebagai Ketua lapor dia punya anggota,” pungkasnya.
Politisi partai NasDem, kesal pada Ketua DPRD yang mengambil sikap laporkan mereka ke BK tanpa ada negosiasi sebelumnya melalui Fraksi. Bila ada anggota DPRD yang ‘bandel’ atau ‘mangkir’ tugas maka Deni meminta Ketua DPRD mengadukan ke pimpinan Fraksi untuk ditegur dan dibina. Kalau memang teguran Ketua Fraksi tidak didindahkan maka Ketua boleh mengadukan ke BK sebagai langkah terakhir.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/04/06/ketua-komisi-i-ketua-dpdr-alor-jemput-hamid-itu-perbuatan-salah/
“Kalau sampai di BK itu hal terakhir. Pertama harus melalui Fraksi. Panggil ketua Fraksi, oh anggota mu ada bikin salah, ada pengaduan model begitu. Kalau tidak bisa maka lapor ke BK. Itu hal terakhir. Bukan hal kecil saja BK, BK, BK, lama-lama semua orang ini bikin salah sedikit na BK semua. Apa itu?” kesalnya.
“Anggota DPRD punya hak boikot, membangkan, wajar. Itu hak dia. Mungkin ada alasan politis, mungkin alasan sesuatu dia tidak ikut sidang. Wajar,” Deni menambahkan.
Dirinya kembali menyarankan kepada tiga pimpinan DPRD agar melakukan tugas koordinasi kepada Anggota DPRD yang tidak ikut sidang. Sebab ada tiga Pimpinan DPRD yang bersifat kolektif kolegial dan bisa saling membantu mengkomunikasikan termasuh membahas masalah-masalah yang terjadi di internal DPRD.
“Kenapa ada Wakil I dan Wakil II, itu duduk bersama memutuskan. Bukan hantam-hantam saja,” pungkasnya.
Deni menegaskan, Fraksi NasDem sudah melayangkan surat kepada Pimpinan DPRD untuk meminta mencabut laporan Ketua DPRD, sekaligus meminta pimpinan DPRD menggelar sidang paripurna untuk pembahasan kisruh politik di DPRD.
Berikut Video Sidang Kode Etik Anggota DPRD Alor Ricuh: https://youtu.be/PgZkzuR1BrQ
Berikut penjelasan Tatib DPRD Alor No.2/2019 Mengenai Kasus ini:
Pasal 62
(1) Badan kehormatan mempunyai tugas:
- memantau dan mengevaluasi disiplin dan kepatuhan Anggota DPRD terhadap sumpah/janji dan Kode Etik;
- meneliti dugaan pelanggaran terhadap sumpah/janji dan Kode Etik yang dilakukan Anggota DPRD;
- melakukan penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi atas pengaduan Pimpinan DPRD, Anggota DPRD, dan/atau masyarakat; dan
- melaporkan keputusan badan kehormatan atas hasil penyelidikan, verifikasi, dan klarilikasi sebagaimana dimaksud pada huruf c kepada rapat paripurna.
(2) Tugas badan kehormatan dilaksanakan untuk menjaga moral, martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD.
(3) Dalam melaksanakan penyelidikan, verifikasi, dan klarilikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, badan kehormatan dapat meminta bantuan dari ahli independen.
Pasal 63
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, badan kehormatan berwenang:
- memanggil Anggota DPRD yang diduga melakukan pelanggaran sumpah/janji dan Kode Etik untuk memberikan klarifikasi atau pembelaan atas pengaduan dugaan pelanggaran yang dilakukan;
- meminta keterangan pelapor, saksi, atau pihak lain yang terkait termasuk meminta dokumen atau bukti lain; dan
- menjatuhkan sanksi kepada Anggota DPRD yang terbukti melanggar sumpah/janji dan Kode Etik.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/04/04/pdip-ntt-respon-polemik-ketua-dprd-alor-jemput-hamid/
Pasal 64
(1) Pimpinan DPRD, Anggota DPRD, dan/atau masyarakat menyampaikan pengaduan dugaan pelanggaran oleh Anggota DPRD secara tertulis kepada Pimpinan DPRD dengan tembusan kepada badan kehormatan disertai identitas pelapor yang jelas dan bukti dugaan pelanggaran.
(2) Pimpinan DPRD wajib meneruskan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada badan kehormatan paling lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak tanggal pengaduan diterima.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pimpinan DPRD tidak meneruskan pengaduan kepada badan kehormatan, badan kehormatan menindaklanjuti pengaduan tersebut.
Pasal 65
(1) Setelah menerima pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64, badan kehormatan melakukan penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi dengan cara:
- meminta keterangan dan penjelasan kepada pengadu, saksi, teradu, dan/atau pihak lain yang terkait; dan/atau
- memverifikasi dokumen atau bukti lain yang terkait.
(2) Hasil penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi badan kehormatan dituangkan dalam berita acara.
(3) Pimpinan DPRD dan badan kehormatan menjamin kerahasiaan hasil penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi.
Pasal 66
(1) Dalam hal teradu terbukti melakukan pelanggaran atas sumpah/janji dan Kode Etik, badan kehormatan menjatuhkan sanksi berupa:
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/05/02/40-mahasiswa-alor-tertangkap-datang-dari-zona-merah-covid-19-gunakan-jalur-gelap/
- teguran lisan;
- teguran tertulis;
- mengusulkan pemberhentian sebagai pimpinan alat kelengkapan DPRD;
- mengusulkan pemberhentian sementara sebagai Anggota DPRD; dan/atau
- mengusulkan pemberhentian sebagai Anggota DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan badan kehormatan dan diumumkan dalam rapat paripurna.
(3) Sanksi berupa pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d dipublikasikan oleh DPRD.
Pasal 67
(1) Dalam hal badan kehormatan memberikan sanksi pemberhentian sebagai pimpinan alat kelengkapan DPRD, dilakukan pergantian pimpinan alat kelengkapan DPRD paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak diumumkan dalam rapat paripurna.
(2) Jadwal rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh badan musyawarah paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak keputusan badan kehormatan.
Pasal 68
Keputusan badan kehormatan mengenai penjatuhan sanksi berupa pemberhentian sebagai Anggota DPRD diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 69
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pengaduan masyarakat, penjatuhan sanksi, dan tata beracara badan kehormatan diatur dalam Peraturan DPRD tentang tata beracara badan kehormatan.
Video 2 sidang kode etik DPRD Alor Ricuh: https://www.youtube.com/watch?v=AcMw9wWg5uQ
(*dm).