Eben Nuban Timo Jelaskan Konsep Teologi Bangun Patung Yesus di Kolana

Pdt. Dr. Eben Nuban Timo. (Sumber Foto: victorynews.id).
Pdt. Dr. Eben Nuban Timo. (Sumber Foto: victorynews.id).

Kalabahi –

Patung Yesus berbusana Kolana dibangun di halaman Gereja GMIT Pniel Kolana, Klasis Alor Timur, Kabupaten Alor Nusa Tenggara Timur pada tahun 2011. Patung tersebut diresmikan Ketua Sinode GMIT Pdt. Eben Nuban Timo sebagai monumen satu abad (100 tahun) Injil masuk Alor Timur.

Namun tepat di ulang tahun Gereja Pniel Kolana ke 109, patung Yesus resmi dirobohkan oleh Ketua Majelis Jemaat Pdt. Meri E. Djami, S.Th pada tanggal 14 Agustus 2020. Perintah meruntuhkan patung itu katanya sesuai visi Tuhan yang disampaikan padanya.

Lalu bagaimana kisah dibalik gagasan berdirinya patung Yesus berbusana adat Kolana menggendong anak yang berdiri megah di Gereja Pniel Kolana? Apa saja landasan teologisnya yang mendasari?

Sebab pembangunan patung tersebut masih menuai kontroversi meskipun sudah dirobohkan. Karena sebagian pihak menganggap pembangunan patung di Gereja sangat bertentangan dengan hukum Allah yang termaktub dalam kitab Keluaran 20 : 4.

Mantan Ketua Sinode GMIT Pdt. Dr. Eben Nuban Timo menjelaskan dasar teologia yang dijadikan acuan dalam pembangunan patung Yesus di Gereja GMIT Pniel Kolana pada tahun 2011 lalu.

Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/10/13/tentang-robohnya-patung-yesus-di-jemaat-gmit-pniel-kolana/

Ia mengatakan, sebenarnya yang paling tahu rencana pembangunan patung Yesus adalah Pdt. Stev Makunimau. Karena pada waktu itu Pdt. Stev menjabat Ketua Majelis Jemaat Pniel Kolana yang punya ide mendirikan patung Yesus untuk mengenang satu Abad Injil masuk Kolana, tepatnya pada tanggal 1 Agustus 1911.

Pdt. Eben mengisahkan, jauh hari sebelum rencana perayaan atau peresmian 100 tahun Injil masuk Kolana, Pdt Stev Makunimau menghubunginya meminta pendapat terkait rencana pembangunan monumen patung Yesus sebagai tanda satu abad injil masuk Kolana.

Karena Pdt. Stev, pada waktu itu berpikir bahwa penting membangun suatu menumen sebagai tanda 100 tahun pekabaran injil masuk Alor Timur setelah injil tiba pertama kali di Kalabahi (Gereja Pola Tribuana Kalabahi).

“Bapak Stev bilang, di Kolana katanya Majelis Jemaat dan orang-orang tua kotong (kita) sepakat untuk bikin patung Yesus di Kolana. Jadi beta (saya) tanya, patung figur Yesus itu nanti digambarkan seperti apa? Dia bilang mau pakai identitas Kolana untuk digambarkan pada Yesus. Karena di Kolana itu katanya ada 7 suku. Nanti mau pakai motif-motif tenunan khas  Kolana begitu. Motif-motif itu juga nanti ditaru di gedung kebaktian,” kisah Pdt. Eben dihubungi wartawan, Sabtu (17/10/2020) di Kupang.

Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/10/12/pelajar-di-sumba-ntt-wakili-indonesia-bicara-dampak-covid-19-di-pbb/

Ia menjelaskan kepada Pdt. Stev bahwa memang jauh hari Gereja-gereja di Asia sudah merasa ada sesuatu yang hilang pada Yesus ketika mereka bertemu dengan misionaris dari Eropa. Misionaris bawa Yesus berwajah Eropa. Dan orang-orang di Asia merasa ada sesuatu yang salah pada Yesus karena Yesus toh orang Asia. Dia ber-ibu dan ber-ayahkan Asia. Dia besar dalam tradisi Asia. Dia makan makanan Asia. Dia menggunakan kekayaan spiritual Asia untuk bercerita tentang kerajaan Allah.

“Nah, saya bilang begitu lalu pak Pdt Stev bilang bisakah? Saya bilang, justru kalau orang Asia di Thailand bikin, kalau Kolana bikin bagus sekali. Orang Kolana punya identitas kepada Yesus. Karena itu bapak Stev bilang Kotong (kita) bisa bikin patung kah? Beta (saya) bilang itu keputusan Majelis Jemaat. Tapi Beta usul, kalau hanya patung saja Yesus menjadi benda mati di situ dengan simbol yang mati itu kurang hiduplah dan kurang bermanfaat secara sosial kepada masyarakat,” ujarnya.

“Karena itu Beta usul sebaiknya di sekitar kompleks patung itu bangun juga ruangan untuk museum kah, atau perpustakaan supaya orang masuk dalam situ taruh arsip budaya tapi juga bukti-bukti pertama Injil datang lalu orang bisa bermeditasi di situ. Maka lahirlah ide patung itu ditambah dengan museum di bawahnya,” lanjut Pdt. Eben.

Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/10/12/dandim-1622-alor-10-pasien-covid-anggota-tni-dalam-keadaan-sehat/

Mantan Ketua Sinode itu menerangkan, dasar konsep dibangunnya patung Yesus di Pniel Kolana sebenarnya menjadi filosofi dasar memberi identitas Kolana kepada Yesus. Filosofi itu mau menunjukkan bahwa Yesus ternyata bukan hanya memberitakan keselamatan atau milik orang Yahudi saja tapi Yesus juga menjadi milik orang Kolana.

“Jadi filosofi dasarnya mau memberi identitas Kolana kepada Yesus. Artinya Yesus bukan hanya milik orang Yahudi tapi juga milik orang Kolana. Apalagi dari segi kewartaan Injil, Raja Kolana Makunimau dengan gamblang katakan bahwa dia mau ikut Yesus dalam perjumpaan dengan para misionaris,” katanya.

Konsep tersebut sempat menimbulkan pro-kontra di Kolana. Sebab ada beberapa tokoh Kolana yang sepertinya keberatan dengan membuat patung Yesus menggunakan motif-motif Kolana. Pdt. Eben lalu menemui para tokoh tersebut dan menjelaskan filosofi kontekstualisasi teologi dalam budaya Kolana.

“Saya bertemu dengan orang Kolana itu dan menjelaskan (filosofinya). Entah penjelasan itu diterima atau tidak tapi Patung itu sudah selesai dibangun dan tinggal diresmikan. Waktu itu saya juga dikasih toga motif Kolana yang bagus sekali. Biasanya saya pakai di Jawa, kalau saya khotbah orang senang melihatnya. Artinya sudah ada kontekstualisasi teologi bukan hanya secara verbal tapi juga dalam simbol-simbol liturgis dan atribut-atribut,” ungkapnya.

Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/10/12/bupati-benarkan-10-pasien-alor-positif-covid/

“Lalu kemudian pak Stev juga dalam beberapa kesempatan sudah diskusikan itu dengan orang tua Kolana. Itu kira-kira hal yang melatarbelakangi persetujuan kotong (kita) waktu itu termasuk saya untuk memberi identitas Kolana kepada Yesus,” katanya.

Penjelasan tersebut juga sudah Pdt. Eben tuangkan dalam buku dogmatikanya dengan judul: Allah Yang Mengulang Dirinya Tiga Kali. Suatu pertimbangan Bagi Dogmatika Kontekstual di Indonesia. Buku tersebut diterbitkan di BPK.

Apa dasar teologisnya?

Peresmian patung Yesus di Jemaat Pniel Kolana dalam perayaan 100 tahun injil masuk Alor Timur, tahun 2011. (Foto: akun Facebook Samuel Kalawaly). Kini patung tersebut sudah dirobohkan dan tersisa puing-puingnya.
Peresmian patung Yesus di Jemaat Pniel Kolana dalam perayaan 100 tahun injil masuk Alor Timur, tahun 2011. (Foto: akun Facebook Samuel Kalawaly). Kini patung tersebut sudah dirobohkan dan tersisa puing-puingnya.

Pdt. Eben mengatakan, rencana pembangunan patung tersebut memang menuai keberatan juga oleh sebagian pihak lagi. Mereka mempertanyakan apa dasar teolgis dibangunnya patung Yesus di lingkungan Gereja. Karena hal itu dianggap bertentangan dengan ajaran Calvin yang menolak penggunaan icon-icon atau simbol-simbol dalam peribadatan Kristen.

“Betul. Waktu itu keberatan untuk itu dengan memakai alasan pada Calvin. Calvin di Abad ke 16 itu menolak penggunaan icon-icon dan relikui-relikui di dalam peribadatan Kristen. Waktu percakapan itu saya bilang betul Calvin melakukan penolakan terhadap icon dan relikui tapi itu ada latar belakangnya,” ujarnya.

Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/10/08/breaking-news-hasil-swab-10-pasien-alor-positif-corona-total-11-orang/

Latar belakangnya yang dimaksudkan Pdt. Eben yaitu pada waktu itu perkembangan Gereja telah begitu rupa diorganisir sehingga Gereja hanya berpusat pada Imam atau para pejabat tertabis dalam Gereja.

Gereja, lanjut Pdt. Eben waktu itu telah berubah menjadi persekutuan kultus dan bukan lagi persekutuan pewartaan Sabda. Karena itu sang Imam ini didandani dengan pakaian jabatan yang luar biasa megah hampir sama seperti Kaisar.

Kemudian perhatian orang pada Imam saja. Warga jemaat dan orang-orang yang hadir dalam pergumulan tidak diperhatikan. Bahkan perhatiannya begitu rupa sampai ada Imam-Imam atau orang suci atau orang dianggap suci atau pejabat tertabis yang meninggal maka benda-benda yang mereka pakai termasuk beberapa anggota tubuh, misalnya kuku atau potongan rambut disimpan untuk dijadikan sebagai obyek pemujaan.

“Nah, Calvin menolak di bagian itu. Calvin menolak bukan di benda-bendanya tetapi isi atau pemikiran yang melatarbelakangi penyimpanan benda-benda itu sebagai obyek pemujaan,” jelasnya.

“Waktu itu saya bilang Calvin sendiri kemudian menyusun liturgi yang menghadirkan juga gambar-gambar atau icon-icon yang memberi edukasi dan pendidikan kepada masyarakat. Saya jelaskan itu. Ya mungkin waktu itu orang masih berpikir kadang-kadang kita di GMIT sampai sekarang masih pejabat sentris ya. Pejabat atau Pdt ngomong apalagi Ketua Sinode ngomong itu sudah benar meskipun ada banyak masalah. Jadi penolakan pada waktu itu dengan dasar teologis itu,” sambung dia.

Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/10/01/viral-ratusan-massa-membludak-di-expo-alor/

“Nah, kenapa kita berani menyimpang dari Calvin karena Calvin itu satu varian respon Gereja terhadap situasi. Satu varian. Varian itu berlatarbelakang konteks pada waktu itu. Karena itu varian refleksi itu tidak bisa kita pakai menjadi panglima untuk diberlakukan di segala zaman dan tempat,” katanya.

Pdt. Eben menambahkan, berdasarkan pada pemikiran tersebut, orang-orang di Alor Kolana dalam perjumpaan dengan Injil, mereka mengabdikan dan membaktikan keseluruhan hidupnya. Dan orang Kolana itu tidak bisa dilepaskan dari budaya dan adat-istiadat. Kalau mereka sudah memberikan hidupnya kepada Kristus maka adat dan budaya juga bisa dipakai untuk melihat kewartaan akan Kristus.

“Waktu itu saya jelaskan begitu. Karena itu Calvin tidak bisa kita pakai sebagai ukuran karena kita juru selamat Gereja, dunia, bukan Calvin tapi Kristus. Dan sekarang Kristus menjadi darah dagingnya orang Kolana. Lalu dasar Alkitabnya yaitu inkarnasi, Allah masuk ke dalam budaya kita bukan untuk menghancurkan budaya kita tetapi menjadikan budaya itu sebagai sarana atau media kewartaan,” jelasnya.

Tidak hanya itu. Pdt. Eben mengakui, ada pihak lain lagi di Kolana yang keberatan dengan pemikiran, jangan sampai ada Jemaat yang nanti menjadikan patung itu untuk tujuan berhala dan itu sangat bertentangan dengan larangan hukum kedua Allah sesuai kitab Keluaran 20 : 4.

Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/09/28/jelang-pembukaan-expo-hasil-swab-1-pasien-di-alor-masih-positif/

“Memang ada pikiran hukum kedua itu bagaimana, jangan membuat bagimu Patung. Nah kita musti definisikan apa itu berhala. Berhala itu jangan dipahami sebagai sekedar sebuah benda atau atau sebuah obyek yang menjadi sasaran pusat penyembahan. Tapi berhala itu juga bisa merupakan sebuah ide atau gagasan yang dianggap sebagai tidak bisa lagi digantikan atau diperbaharui,” kata Pdt. Eben.

“Nah, kita justru memberhalakan gambaran Eropa tentang Kristus. Tubuh Kristus harus berhidung mancung, berambut pirang dan berkulit putih. Kalau pikiran itu yang kita kembangkan maka berakibat pada kita meremehkan budaya dan identitas kita sendiri yaitu kita ini orang hitam, berambut keriting, tidak mancung. Kita tidak punya identitas dalam karya keselamatan. Dan berhala itu kadang kita anggap paling utama dan paling penting. Untuk itu kita habis-habisan dan mati-matian memperjuangkan, itu juga berhala ya,” lanjut dia.

“Karena itu kita bilang kekuatan patung itu adalah sebuah berhala, kita bertanya, apakah orang Kolana tiap hari Minggu datang menyembah patung atau mereka bersekutu dalam gedung kebaktian lalu memuliakan dan memuji Tuhan? Nah, ternyata dalam liturgi-liturgi Gereja yang selama ini dilakoni oleh orang Kolana, mereka tidak datang untuk menyembah patung. Mereka hanya melihat patung itu sebagai karya seni tentang Kristus yang menyatu dengan budaya. Dan dengan karya seni itu mereka bersyukur kepada Tuhan yang memungkinkan mereka untuk menerima keselamatan itu dengan budaya dan penghayatan dalam kehidupan mereka,” tutur Pdt. Eben.

Baca juga: https://tribuanapos.net/2020/10/02/potong-kebun-jadi-alasan-bupati-percepat-tutup-expo-alor/

Dasar Biblisnya?

Pdt. Eben mengatakan: “Jadi teologi itu bukan hanya Alkitab punya tapi teologis itu juga adalah budaya kita. Budaya itu adalah dalam konteks pemahaman manusia itu sebenarnya adalah bentuk-bentuk penghayatan mereka dalam perjumpaan dengan Yang Ilahi.”

Pdt. Eben sadar bahwa polemik yang terjadi saat ini di Pniel Kolana, berhubungan dengan penghancuran patung. Karena itu ia serahkan sepenuhnya kepada otoritas Majelis Jemaat untuk menyelesaikannya.

“Kita harus berpikir begini, tiap-tiap generasi atau tiap-tiap Pdt atau pelayan punya pendekatan sendiri terhadap pelayanan dan warna teologia. Kalau nanti tindakan-tindakan itu ada nanti silahkan Pdt dan Majelis Jemaat yang bergumul,” tutup Pdt. Eben.

Sebelumnya diberitakan, patung Yesus berbusana sarung Kolana setinggi kurang lebih 4 meter yang berdiri di halaman depan Gereja GMIT Pniel Kolana, dipukul roboh pada Jumat 14 Agustus 2020 sekitar pukul 14.00 wita.

Patung itu diresmikan pada tahun 2011 dalam perayaan 100 tahun injil masuk Kolana. Pada waktu itu Pdt. Stef Makunimau, S.Th menjabat Ketua Majelis Jemaat Pniel Kolana dan Ketua Sinode GMIT dijabat Pdt. Eben Nuban Timo.

Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/10/02/anggota-dprd-ntt-rocky-winaryo-apresiasi-bupati-alor-gelar-expo-di-tengah-pandemi/

Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) menjatuhkan sanksi kepada Pdt. Meri E. Djami, S.Th karena perbuatannya robohkan patung Yesus di Jemaat Pniel Kolana dianggap bertentangan dengan kesaksian Alkitab dan ketentuan Tata Dasar GMIT dan sejumlah peraturan GMIT lainnya.

Sanksi yang dijatuhi yakni, Pdt Meri E. Djami, S.Th diberhentikan dari Jabatan Ketua Majelis Jemaat Pniel Kolana terhitung sejak tanggal 9 September 2020 dan ditarik kembali ke Sinode GMIT untuk mengikuti percakapan pastoral.

Kemudian, selama menjalani masa penarikan yang bersangkutan (Pdt. Meri E. Djami, S.Th) juga tidak mendapat jaminan/gaji dalam bentuk apapun sampai penempatan berikutnya.

Ratusan Jemaat Pniel Kolana kemudian menggelar aksi demonstrasi menolak SK penarikan Pdt. Meri E. Djami, S.Th dari Jemaat Pniel Kolana. Aksi itu dilakukan pada tanggal 28 September 2020 di Rumah Ketua Majelis Klasis Pdt. Moses Mooli, S.Th di Maritaing.

Para demonstran yang terdiri dari Jemaat 151 KK itu menuntut Ketua Sinode GMIT Pdt. Dr. Mery Kolimon membatalkan SK penarikan Pdt. Meri E. Djami, S.Th dari Jemaat Pniel Kolana untuk menjalani percakapan pastoral di GMIT. Sebab mereka meyakini benar adanya visi Tuhan yang disampaikan kepada Pdt. Meri E. Djami dalam meruntuhkan patung Yesus. (*demas mautuka).