Oleh: Yulius Mantaon
Bertolak dari keprihatinan ibu Pdt Oktavian Appah, S.Si Theol, dalam khotbahnya Minggu 9 Mei 2021, bahwa dalam rangka melestarikan bahasa daerah, mestinya di rumah selalu menggunakan bahasa daerah. Tetapi ternyata tidak demikian. Secara jujur beliau mengatakan tidak bisa berbahasa Pantar walaupun ayahnya orang Pantar, karena bertahun-tahun dengan ibunya yang berasal dari Sumba sehingga lebih aktif berbahasa Sumba. Hal ini merupakan kenyataan, bahwa peranan ibu dalam hal ini sangat dominan walaupun mungkin ibunya tidak secara teratur mengajarkan bahasa Sumba kepada ibu Pendeta sejak kecil.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2021/05/17/memaknai-bulan-bahasa-dan-budaya-1/
Pengalaman seperti itu saya juga alami, bahkan terkadang saya menyempatkan waktu mengajarkan bahasa Kamang kepada anak-anak saya dan tidak pernah saya melihat istri mengajar anak-anaknya tentang bahasa daerahnya tetapi anak-anakku fasih berbahasa bahasa ibunya. Mungkin karena itu ada Bahasa Ibu (Mother’s Tongue), dan masing kita punya, misalnya, bahasa ibu saya adalah Bahasa Kamang, walaupun banyak variannya, tetapi tahu baik bahasa Subo, karena hanya beda tipis dengan bahasa Kamang. Misalnya Singkon, Kamang bilang : molko, Subo bilang : bongko, Makadai bilang : batako. Ada juga perbedaan yang cukup : misalnya pagi sebelum jam 06.00 (sebelum terbit matahari) Kamang bilang: Tafeng book, Subo bilang : Tuta book. Kalau jam 06.00 (sesudah terbit matahari), Kamang bilang : Tafeng kang, Subo bilang : Tutakang. Demikian juga Makadai (Abui yang meliputi Wilayah Kelaisi 3 Desa Sekarang) bilang : Tuana Kang dan Tuana Beka.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2021/05/17/memaknai-bulan-bahasa-dan-budaya-2/
Jadi kalau bahasa ibu saya, artinya yang biasa saya berkomunikasi dalam interaksi kalau bertemu keluarga saya menggunakan 3 bahasa secara aktif walaupun pernah 25 tahun merantau. Jadi secara terpaksa saya bilang bahasa ibu saya bahasa Kamang, tetapi yang sebenarnya ke 3 bahasa itu dan ditambah dengan bahasa-bahasa serumpun dan setetangga. Memang untuk mengetahui suatu bahasa orang tidak hanya andalkan diajar saja tetapi orang harus belajar seperti kata pepata Jerman: Eine Sprache kann man nicht lehren must man lernen. Ada keuntungan tahu sedikit-sedikit bahasa lain.
Baca juga: https://tribuanapos.net/2021/05/15/idul-fitri-di-alor-ntt-ibadah-pelepasan-pawai-takbiran-ramadan-1442-h-dilakukan-di-gereja-gmit/
Izinkan saya menyampaikan suatu pengalaman saya, pada tahun 1993 saya mengikuti suatu Diklat Penjenjangan Karier (Spadiya) di Bandung. Suatu hari saya naik angkot di Jln Suka Jadi mau ke Kebun Kelapa. Begitu naik anggkot, pas sopir dan knek sedang baku omong dalam bahasa Batak. Setelah duduk saya menyapa sopir dengan bahasa Batak “HORAS LAI.” Kemudian dia balas dengan salam yang sama “HORAS”. Setelah penumpang di depan turun, sopir mengajak saya duduk di depan, dia bertanya kepada saya: Abang asal Batak mana? Saya menjawab : ” Saya berasal dari Timor.” Dia bilang ; kok  salamnya pas? Kalau dia dari Batak Karo pasti saya salami dia : “Majua – Majuah,” karena mengerti sedikit perbedaannya. Kemudian dia bilang konjaknya agar tidak lagi menerima penumpang.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2021/05/04/menteri-sosial-dan-menko-pmk-pantau-korban-bencana-seroja-di-alor-ntt/
Setelah menanyakan nama saya, dia bilang kita mutar-mutar sedikit dulu. Dengan perasaan yang sedikit was-was, saya menyetujui dan dia rupanya dapat saya sebagai kawan yang baik sehingga mulailah dia curhat tentang masalah kemelut di HKBP. Dia dengan berat hati menurunkam saya di alamat saya walaupun sudah lebih dari satu jam kami mutar-mutar. Saya dengan hati yang agak cemas tanya ongkosnya, tetapi jawabannya cukup mengejutkan. Dia bilang, “abang tak usah bayar, kalau tadi saya dapat cukup uang, mau saya kasih abang.” Jadi kalau kita punya koleksi bahasa yang cukup, sejumlah hal penting dalam bahasa lain dapat kita peroleh untuk memperkaya wawasan kita. Misalnya bahasa Timor (Amanuban) yang kita pakai dalam liturgi kebaktian hari Minggu Mei yang baru lalu. Uis neon.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2021/05/04/ikatan-notaris-indonesia-salurkan-bantuan-untuk-korban-bencana-seroja-di-alor-ntt/
Uis Neno, artinya Allah Langit, sedangkan Alla bumi ialah Uis Pah. Sama dengan bahasa Kamang, Latala, artinya Allah Langit, sedangkan Allah Bumi disebut : “KOME.” Kadang nenek moyang mengutuk seseorang yang membuat suatu kesalah besar dengan kata-kata; ALME KOME LATALA woyah yang artinya: Biarlah kau menjadi santapan allah langit dan allah bumi. “Kalau gempa bumi : Kome bai gayok, dan lain-lain.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2021/04/23/seroja-hancurkan-gedung-sd-siswa-di-pulau-alor-ini-ujian-dari-rumah-tanpa-seragam/
Beruntungnya di TTS, Alkitab sudah diterjemahkan, mungkin oleh Midelkoop dan Eenklaar dalam dialek Molo. Tetapi bisa dipakai oleh seluruh Jemaat di TTS dan lebih asik lagi setiap kebaktian semua majelis jemaat mengenakan tenunan motif daerahnya. Kalau kita juga mau kosisten untuk melestarikan budaya Alor, setiap minggu secara bergantian, tenunan Kui, Batulolong, Kolana, Pantar dan Pura, selain untuk tujuan pelestarian budaya juga untuk peningkatan pendapatan anggota jemaat penenun. Sekaligus menanam rasa kebanggaan atas KARYA INTLEKTUAL LELUHUR kita. Sekarang ASN setiap minggu pada hari tertentu mengenakan tenunan motif Daerah Alor. Mengapa GMIT yang punya program besar yang THEMATIS Hanya Sekali setahun? (Bersambung).
*Penulis adalah tokoh Gereja. Tinggal di Kalabahi Alor NTT.