Oleh: Yulius Mantaon
Kemarin hari Kamis, tanggal 13 Mei 2021 merupakan suatu yang istimewa atau langka, karena dua hari raya dua agama besar jatuh pada hari sama. Bisa saja terjadi tetapi kita belum tahu kapan lagi terjadi seperti itu. Mungkin merupakan pertanda kerukunan hidup antar umat yang makin mantap. Selanjut bagi umat Kristiani seluruh dunia merayakan/memperingati hari Raya Kenaikan Tuhan ke Surga pada salah satu hari Kamis pada bulan Mei. Tahun ini bertepatan dengan Bulan Bahasa dan Budaya, sehingga bahasa yang dipakai dalam liturgi kebaktian adalah Bahasa Sabu dan Busana yang dikenakanpun tenunan motif Sabu.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2021/05/17/memaknai-bulan-bahasa-dan-budaya-1/
Momentum yang baik ini mengundang gairah saya untuk mengomentari orang Sabu yang bahasa dan busananya dikenakan dalam kebaktian tersebut. Pulau Sabu adalah sebuah pulau kecil terluar yang terletak di sebelah barat pulau Semau dan di laut lepas yang punya banyak tantangan karena antara lain ombak dan gelombang besar yang membentenginya. Pulau kecil merupakan gudang sumberdaya manusia yang luar biasa. Orang Sabu pada tahun 1980an dikenal oleh wisatawan manca negara sebagai manusia/bangsa tanpa makan (uneatpeople), kemudian orangnya punya budaya bersih, antara lain menjaga kesehatan sehingga fisiknya kuat-kuat, cerdas dan ulet. Di bawah pertengahan tahun 1970an, orang Sabu merantau ke Kupang dan Ende mènggunakan perahu-perahu kecil yang terkenal dengan perahu Sabu bahkan ratusan tahun silam berlayar sampai di pulau Jawa, dan salah satunya menjadi pemimpin bangsa Nusantara yang terkenal sepanjang masa yaitu Gajamada.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2021/05/17/memaknai-bulan-bahasa-dan-budaya-2/
Sudah lebih dari 10 tahun saya mengatakan tetapi belum ada respons dari manapun. Buktinya: 1. Di Pulau Sabu sampai sekarang marga HAJA & MADA. Dan menurut cerita di warung kopi, ada tempat atau prasasti yang sama di Kerajaan Majapahit. Silahkan peneliti melakukan penelitian untuk membuktikan fakta-fakta sejarah. 2. Apabila kita memperhatikan patung-patungnya atau gambar-gambarnya, nampak profilnya orang luar Jawa. Budayanya dapat dikatakan budaya tua yang sudah terpatri dalam jiwa raga orangnya. Misalnya, ada kematian orang Sabu di Kupang, semua akan datang melayat walaupun jaraknya berjauhan.
Baca juga: https://tribuanapos.net/2021/05/17/memaknai-bulan-bahasa-dan-budaya-3/
Dulu tahun-tahun masih langka kendaraan, mereka mau berjalan kaki, misalnya dari Oepura sampai Fontein bahkan Nunhila dan Namosain dengan kaum perempuannya berbusana tenunan Sabu. Mereka rupanya bangga dengan KARYA INTLEKTUAL PARA LELUHUR MEREKA, sehingga kaum perempuan selalu saja berbusana tenunan Sabu walaupun bukan ada acara serimoni tertentu, sehingga kita mudah mengenal mereka walaupun dari segi perawakan mudah dikenal karena mirip-mirip orang India. Apalagi kalau berbahasa daerah, lebih mudah dikenal karena selalu kurang konsonan di belang kata-kata yang diucapkan, misalnya orang Alor dibilang ora Alo, atau orang orang Irian dibilang ora Iria dst, ditambah dengan aksen yang khas.
Baca juga: https://tribuanapos.net/2021/05/15/idul-fitri-di-alor-ntt-ibadah-pelepasan-pawai-takbiran-ramadan-1442-h-dilakukan-di-gereja-gmit/
Soal belis perempuan juga tidak biasa memberatkan keluarga calon suami, karena ada jalan tengah yang selalu ditawarkan dan ada senjata pamungkas yang sudah dibocorkan yaitu mencium semua keluarga, maka semua urusan adat menjadi beres. Bahasanya juga cukup bervariasi aksentuasinya misalnya, Sabu Seba agak beda dengam Sabu Mesara (agak keras), beda dengan Sabu Bolow, beda dengan Sabu Timu, walaupun beda-beda tipis.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2021/05/04/menteri-sosial-dan-menko-pmk-pantau-korban-bencana-seroja-di-alor-ntt/
Dengan sedikit komentar saya seperti ini sedikit memperkenalkan bahasa dari suku-suku yang ada di wilayah pelayanan GMIT sebagaimana tulisan saya yang awal, BAHASA MENUNJUKAN BANGSA. Dalam khotbahnya, Pdt. Jakobus Pulamau, seorang pendeta Senior GMIT dengan kekhasannya, yaitu menggunakan bahasa yang lugas, mudah dipahami dan selalu membuat mata para jemaat selalu segar, mengatakan: ” Selain budaya luhur kita yang sudah ada, kita perlu juga membuhkembangkan budaya-budaya baru yaitu Budaya Kebaikan, aantara lain : Tidak suka mencari jalan untuk menjatuhkam orang lain, suka menolong orang susah, suka meringankan beban hidup orang lain, suka membuat hal-hal dianggap baik dan terpuji oleh masyarakat sehingga tercipta kedamaian dan ketentraman dalam masyarakat. Perlu pula memantapkan Iman kepada Tuhan Yesus Kristus yang hari ini kita peringati kenaikanNya ke Sorga Rumah Bapa oleh karena itu jangan pernah meraÄ£ukan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat . (Bersambung).
*Penulis adalah tokoh Gereja. Tinggal di Kalabahi Alor NTT.