Kalabahi, Tribuanapos.net – Ahli Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara Universitas Tribuana Kalabahi, Setiya Budi Laupada, SH.,MH menyebut, Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo, mempunyai wewenang penuh membatalkan SK Pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Alor Periode 2019-2024.
Alasannya, merujuk pada ilmu hukum administrasi negara, keputusan Mendagri bukan merupakan sesuatu yang mustahil untuk dirubah.
Meskipun Gubernur NTT Viktor Buntilu Laiskodat atas nama Presiden sudah melantik Bupati/Wakil Bupati Alor 17 Maret 2019 di Kupang, Budi bilang, SK tersebut bisa ditinjau kembali atau dibatalkan.
“Sahnya Keputusan Mendagri (melantik Bupati dan Wakil Bupati Alor Periode 2019-2024) bukan sesuatu yang mustahil untuk dirubah,” ujar Budi ketika menjadi narasumber dalam kuliah umum Pertanggungjawaban Pejabat Dalam Jabatan yang digagas LPPM dan FALI Untrib, Sabtu, (30/3), di Kalabahi.
Budi menjelaskan, prinsipnya sebuah keputusan pejabat negara (Mendagri) tidak boleh mengandung cacat prosedur, cacat wewenang dan cacat substansi.
“Bagaimana kalau dia (SK) cacat? Bisa batal atau dapat dibatalkan, begitu,” kata Alumnus Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya itu.
Ia mengaku, pihak yang berwenang untuk menyatakan bahwa SK Pelantikan Bupati/Wabup Amon Djobo – Imran Duru tersebut cacat adalah, pengadilan. “Pengadilan yang mempunyai kewenangan menilai keputusan Mendagri cacat atau tidak,” pungkas Budi.
Dia menambahkan, prinsipnya, sebuah keputusan Tata Usaha Negara (TUN) tetap dianggap benar sampai ada keputusan baru yang menyatakan keputusan yang lama terdapat kekeliruan.
“Kalau ada keputusan baru yang menyatakan keputusan lama itu cacat maka keputusan yang lama itu tidak berlaku lagi. Ketika ada ketentuan pembatalan maka pihak yang terkena itu berhak mengembalikan kewajibannya kepada negara,” jelasnya.
Terkait rekomendasi Komisi ASN di kasus mutasi 1.382 pejabat Alor selama kurun waktu Pilkada 27 Juni 2018, Budi berpendapat, pelanggaran mutasi ASN tidak seharusnya di bawa ke pengadilan TUN. Sebab, UU No.5 Tahun 2014 mengatakan kasus mutasi, ASN bisa membawanya ke peradilan semu yaitu komisi ASN.
“Untuk kasus kepegawaian itu dia (ASN) tidak boleh langsung di bawa ke TUN. Dia harus melalui upaya administrasi atau keberatan ke komisi ASN. Karena Komisi ASN sifatnya bukan peradilan sesungguhnya tetapi peradilan semu,” ujar Budi.
Komisi ASN Peradilan Semu
Lanjut dia, karena Komisi ASN merupakan peradilan semu maka keputusannya pun hanya bersifat rekomendasi. Rekomendasi Komisi ASN itu akan menjadi dasar (bukan bukti) untuk upaya hukum selanjutnya.
“Jadi apakah rekomendasi komisi ASN bisa final? Tidak demikian. Artinya keputusannya belum final. Ada konsekuensi ruang banding yang disediakan,” pungkasnya.
Sedangkan dalam UU Administrasi Pemerintahan, untuk kasus-kasus yang bukan kasus kepegawaian, diberi ruang untuk upaya administrasi dan juga upaya ke pengadilan TUN. “Yang menggunakan upaya administrasi ini bisa langsung ke PT TUN atau bisa ke PTUN.”
Tentang rekomendasi Bawaslu RI, ada pelanggaran pasal 71 ayat (2) UU 10 tahun 2016, Budi tidak ingin bebeberkan pendapatnya secara teknis karena dia belum melihat dan membaca hasil putusannya.
Meski demikian, Budi menyebut, kalau memang rekomendasi Bawaslu terkait mutasi ASN terdapat pelanggaran pasal 71 ayat (2) UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada maka sah-sah saja bila itu direkomendasikan kepada pejabat (Mendagri) yang mengeluarkan SK untuk ditinjau kembali SK-nya.
“Kalau memang putusannya (Mendagri) terdapat kecacatan maka wajib hukumnya dikembalikan kepadanya untuk diperbaiki,” Budi menjelaskan.
“Hal itu kembali pada asas contrarius actus. Asas ini adalah asas yang menyatakan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang menerbitkan Keputusan TUN dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya,” tegasnya.
Artinya, kata Budi, pencabutan maupun pembatalan suatu keputusan (beschikking)Â masih dapat diuji melalui jalur Pengadilan Tata Usaha Negara (Pengadilan TUN).
Penegasan asas contrarius actus adalah, setiap pejabat TUN ketika mengetahui Keputusan TUN yang diterbitkan bermasalah, ia dapat memperbaiki atau membatalkan secara langsung tanpa harus menunggu pihak lain keberatan atau mengajukan gugatan.
Dengan demikian maka Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo, memiliki wewenang penuh untuk membatalkan SK pengangkatan Bupati Alor Drs. Amon Djobo dan Wabup Imran Duru untuk Periode 2019-2024. Sebab, bisa dikategorikan cacat hukum karena melanggar ketentuan pasal 71 UU No.10 tahun 2016 sesuai rekomendasi Bawaslu RI maupun Komisi ASN.
Walaupun begitu, Budi Laupada, tetap mengakui, pelantikan dan pengangkatan Bupati Alor Drs. Amon Djobo dan Wabup Imran Duru 17 Maret 2019 lalu, tetap sah menurut Hukum Tata Negara dan Administrasi Pemerintahan.
Reporter: Demas Mautuka