Oleh: Yulius Mantaon
Sekembali dari kebaktian kedua Jemaat Galilea Padang Tekukur Kalabahi Alor, saya mau menyelesaikan suatu pekerjaan rumah (hausework) mencuci pakaian, ibu memasak makanan untuk makan pagi sekalian makan siang sambil dibantu seperlunya oleh putera bungsu, Gery Mantaon. Saya lalu teringat sejumlah konsensus kami sebelum menikah antara lain istri adalah penolong, bukan pembantu, suami adalah penanggung jawab rumah tangga, bukan penguasa keluarga. Dengan kami selalu mengatur pekerjaan di rumah berdasarkan pengertian dan kesadaran masing-masing. Inipun suatu budaya karena di tempat lain istri yang kerja banting tulang. Kadang saya complain , tetapi jawaban para bapak, karena istri sudah dibelis dengan Moko yang mahal-mahal sehingga dia berkewajiban bekerja untuk keluarganya. Hal ini terserah kepada nilai budaya yang dianut masing-masing suku dan individu.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2021/05/15/idul-fitri-di-alor-ntt-ibadah-pelepasan-pawai-takbiran-ramadan-1442-h-dilakukan-di-gereja-gmit/
Sambil kerja mencuci pakaian saya juga merenungkan acara kebaktian hari ini yang sesuai dengan Kalender pelayanan GMIT, bulan Mei adalah “BULAN BAHASA DAN BUDAYA “. Sehingga hari ini berlaku bahasa dan budaya Alor khususnya bahasa Pura di seluruh GMIT yang meliputi Alor, Timor, Rote Sabu, Flores dan Sumbawa ( NTB ). Beruntung saya di Jemaat Galilea Padang Tekukur karena Pendeta yang memimpin kebaktian hari ini asli putra Pulau Pura sehingga ketika beliau imprufisasi khotbah dengan dengan bahasa Pura selain yang di liturgia, pas kedengaran namun tidak bisa dimengerti karena tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Jadi perlu menjadi perhatian komisi yang berkenaan dengan perumusan liturgia agar bahasa daerah yang digunakan sebaiknya dengan terjemahannya sesuai dengan anjuran Rasul Paulus.
Bahasa Pura, adalah salah satu bahasa asli orang Pura karena selain bahasa Pura ada juga bahasa Reta. Oleh karena itu dalam khotbahnya Pdt. Jakobus Pulamau, seorang pendeta senior GMIT berpremis: “Semua orang Pulau Pura bisa berbahasa Pura, tetapi tidak semua orang Pura bisa berbahasa Reta.”
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2021/05/04/menteri-sosial-dan-menko-pmk-pantau-korban-bencana-seroja-di-alor-ntt/
Pulau Pura adalah salah satu pulau berpenduduk dari gugusan kepulauan Alor yang disebut TRIBUANA yang berarti tiga pulau (Alor, Pantar dan Pura) terletak di depan Teluk Mutiara sehingga merupakan gerbang sekaligus tameng bagi kota Kalabahi. Kalau dilihat dari warna bahasanya lembut mendatar terbalik dengan kalau orang pura sendiri yang mengartikulasinya kedengaran keras. Hal ini sebabkan oleh topografi pulau Pura. Penghasilan dari masyarakat yang tinggal di pulau Pura adalah Ikan dan Nira lontar yang lazim kita sebut tuak dan sekarang dikenal dengan Sopi Pura (SP). Dilihat dari penghasilan itu maka sudah bisa kita tebak kualitas SDM-nya seperti di daerah-daerah lain di Indonesia yaitu kualitas SDM-nya di atas rata-rata orang Alor (Statemen saya yang terakhir ini sudah lama berulang-ulang saya sampaikan dalam berbagai acara. Tokoh-tokoh Alor terkenal dari dulu sampai sekarang di bidang Gereja, Pendidikan dan birokrasi, seperti Keluarga Pulinggomang, Imang, Pulingmahi, dll termaduk dua orang bupati Alor adalah peranakan orang Pura (Alm Jack Djobo, dan Amon Djobo yang sekarang sedang menjabat).
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2021/05/04/ikatan-notaris-indonesia-salurkan-bantuan-untuk-korban-bencana-seroja-di-alor-ntt/
Saya menulis ini untuk lebih meyakinkan kita tentang bulan Bahasa dan Budaya yang diawali dengan HARI PENDIDIKAN NASIONAL. Oleh karena itu kiranya relevan dengan mengungkapkan sedikit tentang SDM kita, dan pendidikan itu sendiri merupakan bagian dari kebudayaan suatu bangsa (CROW & CROW). Oleh karena itu Gereja sebagai komponen bangsa telah meletakkan kebijakan berupa Kalender Pelayanan Thematis yang syarat makna. Orang Inggris bilang suatu Bangsa Dikenal dari Bahasanya. Karena tanpa Bahasa, Hilanglah Bangsa (Without a language is lost).
Kita pernah punya pengalaman yang patut disesali, yaitu ketika masa saya SD, kemungkinan di semua SD di Alor, dilarang berbahasa daerah di sekolah. Sehingga hari ini banyak anak di kampung tidak bisa berbahasa daerahnya. Semoga program GMIT melalui KALENDER PELAYANAN TAHUNAN INI MENJADI MOMENTUM REVITALISASI BUDAYA DAN BAHASA. Kiranya Tuhan memberkati kita semua. Amin. (Bersambung).
*Penulis adalah tokoh Gereja. Tinggal di Kalabahi, Alor.