Memaknai Bulan Bahasa dan Budaya (2)

Ilustrasi: Bulan Bahasa dan Budaya
Ilustrasi: Bulan Bahasa dan Budaya

Oleh: Yulius Mantaon

Hari ini Minggu 9 Mei 2021 adalah Minggu kedua Bulan Bahasa dan Budaya sesuai kalender pelayanan GMIT. Terkait itu minggu lalu saya telah menulis pemaknaan momentum itu sebagai peran GMIT dalam merevitalisasi bahasa-bahasa dan budaya warga GMIT. Hari ini bertemakan Melestarikan Budaya , Memuliakan Tuhan (Tawarik 23: 1 – 32 ). Prolog Khotbah Ibu Pdt. Octaviana Appah, S.Si Theol, yang cukup mengagetkan, bahwa budaya gotong royong yang merupakan kebanggaan bangsa kita mulai meredup dan juga budaya asli orang Alor menabuh gong juga hanya mau dilakukan oleh orang-orang tua, serta penggunaan bahasa daerah (bahasa lokal di Alor Pantar cukup banyak ) jarang dipakai di rumah. Hari ini liturgia menggunakan bahasa Timor. Tetapi sesungguhnya adalah bahasa Etnis Amanuban (bagian tengah dan Selatan Kabupaten TTS) karena bahasa Timor juga cukup banyak, dari ujung Timor adalah bahasa Fataluku dan bahasa Helong di bagian barat Pulau Timor.

Baca Juga: https://tribuanapos.net/2021/05/17/memaknai-bulan-bahasa-dan-budaya-1/

Di TTS saja ada bahasa yang dipakai etnis Molo walaupun beda tipis saja, misalnya air, orang Amanuban bilang OE, orang Molo bilang OEL. Sungai orang Amanuban bilang NOE, orang Molo bilang NOEL, dan lain-lain. Bahasa (dialek) orang Molo, mirip sekali dengan bahasa orang di bagian Utara Kabupaten Kupang. Sedang dengan Amarasi juga beda sedikit walaupun beda tipis-tipis juga. Misalanya kata “baik”, orang TTS bilang “leko,” orang AMARASI bilang “reko,” kecuali orang di perbatasan TTU dengan BELU yang biasa disebut DAWAN “R” bilang “namria.” Bahasa Timor (TTS, TTU dan Kupang, minus Helong) kadang orang bilang Bahasa Dawan, tetapi yang diakui oleh mereka adalah “Meto” jadi orang Timor, mereka biasa sebut Atoin Meto. Atoni = orang.

Baca Juga: https://tribuanapos.net/2021/05/15/idul-fitri-di-alor-ntt-ibadah-pelepasan-pawai-takbiran-ramadan-1442-h-dilakukan-di-gereja-gmit/

Jadi kalau kita kita ajak orang TTS untuk pakai bahasa Timor, kita bilang “Uap Meto.” Bahasa Timor yang lain, misalnya Fataluku dipakai Lospalos, Makasai, dipakai di Baukau, Tetum di seluruh Timor Leste adalah Tetum Dili yang sebagiannya bercampur bahasa Portugis (bangsanya Portugal), bagian selatannya menggunakan Tetum Terik. Ada juga bahasa Isni, dipakai sebagian orang Manatuto bagian Selatan dan Manufahi bagian Timur, bahasa Mambai, sebagian orang Manufahi, Aileu dan Ainaro, kemudian bahasa Bunak dan Kemak dipakai oleh orang-orang di perbatasan Timor Leste (leste = timur) bahasa Portugis. Jadi sungguh perbedaan bahasa yang begitu banyak nampaknya sangat dikagumi oleh ibu Pedeta kami.

Baca Juga: https://tribuanapos.net/2021/05/04/menteri-sosial-dan-menko-pmk-pantau-korban-bencana-seroja-di-alor-ntt/

Belum lagi aneka motif tenunan. Di TTS sendiri motif tenunan Amanuban beda motif tenunan Molo dan Amanatun, apalagi di Alor. Tenunan-tenunan selama ini kita lihat/pandang sebagai sebuah produk ketrampilan kaum perempuan (handicraft) tetapi bpk Victor Bungtilu Laiskodat (Gubernur NTT sekarang) memandangnya sebagai suatu Karya Intlektual Leluhur Kita (kaum perempuan) yang luar biasa.

Baca Juga: https://tribuanapos.net/2021/04/20/kapal-barata-mabes-polri-bantu-relawan-angkut-logistik-bencana-ke-pulau-pantar/

Dalam berbagai kesempatan saya sering bilang, kaum perempuan kita yang mengangkat wajah peradaban daerah dan masyarakat kita dengan hasil-hasil karya tenunan mereka yang makin mendunia. Harapan kita adalah jaga kwalitasnya antara lain dengan menggunakan kapas lokal dan pukul yang baik-baik agar betul rapat. Ini budaya kejujuran yang harus terus dilestarikan. Memang budaya kejujuran semakin hari semakin merosot. Ibu Pendeta kami, sejumlah budaya kita semakin redup, misalnya “Gotong Royong.” Penyebabnya antara lain karena terjadi plesetan “Gotong Royong” Berat Pikul Sendiri, Ringan Dijinjing Bersama.” Mestinya berat sama dipiku ringan sama dijinjing. Lebih menggugah kata Gotong Royong dalam bahasa Kamang dan Subo (Tobuh Toyake) yang artinya Saling Meringankan.

Baca Juga: https://tribuanapos.net/2021/04/23/seroja-hancurkan-gedung-sd-siswa-di-pulau-alor-ini-ujian-dari-rumah-tanpa-seragam/

Untuk lebih meyakinkan dan mencerahkan, mari kita lihat pengertian kata Budaya secara leksikal (kamus besar bahasa Indonesia): 1. Pikiran, akal budi, hasil; 2. adat istiadat, menyelidiki bahasa dan, 3. mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju): jiwa, 4. Cakapan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah, dll. Dengan pengertian kata budaya itu, sebenarnya ibu Pedeta mengajak agar jemaat memaknai dan memikmati berkat Tuhan yang luar biasa sehingga perlu dilestarikan oleh semua anggota Jemaat Galilea.

Baca Juga: https://tribuanapos.net/2021/05/04/ikatan-notaris-indonesia-salurkan-bantuan-untuk-korban-bencana-seroja-di-alor-ntt/

Saya menulis, mengomentari khobah-khotbah sebagai upaya menimbulkan motivasi Budaya Menulis karena selama ini lebih banyak menggunakan budaya Tutur atau Lisan sehingga banyak bahasa dan budaya yang telah punah dan ada sekitar 65 bahasa lokal di Alor yang terancam punah. Memang ada kesulitan kalau di rumah tangga terdapat lintas budaya. Sebenarnya anak sudah punya dasar 3 bahasa  yaitù bahasa ibu, bahasa bapak dan bahasa Indonesia. Sekarang ada SD yang bilingual (Indonesia dan Inggris). Namun biarkan anak-anak memilih sendiri agar mereka menikmati dan mengembangkannya. Bagian Alkitab yang mendasari khotbah hari ini adalah Mazmur 150 : 1 – 6, yang intinya puji-pujian kepada Allah karena karya-karya besarNya yang luar biasa yang antara lain keanekaragaman Bahasa dan Budaya. (Bersambung).

*Penulis adalah tokoh Gereja. Tinggal di Kalabahi, Alor NTT.