Dalam kontestasi politik semua mempunyai naluri kekuasaan untuk berhasrat memperolehnya. Dalam kontestasi tersebut ada unsur demokrasi sebagai pelekat dalam mekanisme politik sebagai jalan untuk meraih kekuasaan yang terdapat ambisi ambisi murka.
Politik adalah alat yang sebagai jalan untuk mencapai tujuan dalam membangun konsep dan gerakan dengan gagasan perubahan. Berpolitik juga terdapat demokarasi sebagai hak untuk mencapainya. Demokrasi itu adalah hasrat yang tak sampai. Tapi kendati ia tak mencukupi, semua orang berusaha memperolehnya dan semua orang berusaha untuk meyakinkan mayoritas.
Hak untuk memilih dan hak untuk dipilih. Dengan kedua item ini terdapat perebutan kekuasaan yang tanpa prinsip. Yang dipilih ia berusaha dengan segala cara untuk meyakinkan mayoritas tentang kebenaran dan keabsahannya kepada mayoritas dan yang memilih diberikan harapan yang tinggi untuk meyakinkan dengan bahasa menarik hingga prinsip itu hilang dan yang terpenting adalah mencari posisi aman.
Dalam prinsip adalah kemewahan yang tak dapat di bendung bahkan tak dapat dihantam oleh setiap gelombang. Sehingga dengan hilang prinsip tersebut mereka terlihat sperti bunglon yang mncari kenyamanan disetiap tempat dengan menempatkan warna yang sama.
Prinsip itu adalah suatu mahkota yang mustinya dimiliki oleh setiap yang berpolitik. Sehingga ia tetap teguh pada pendiriannya sebagai petarung dalam kontestasi. Bukan sebagai pengecut yang melihat aromah tidak sesuai dengan suasana kemenangan, ia pun berbalik arah untuk menempatkan posisi. Sehingga tanpa prinsip sebagai kekuatan ia akan menjadi perebutan kekuasaan telanjang untuk menikmatinya.
Tuhan memberikan pengetahuan bahwa segala perbuatan itu sesuai dengan koridor, bukan dengan nominal yang diberikan. Seolah bahwa hidup kita tujuannya hanya surga dan neraka. Sehingga yang dijadikan tujuan bukan Tuhan. Begitupun politik, yang nominal dicari dan esensi dari politik itu bukan tujuan. Urgensi dari politik adalah berapa nominal. Sehingga dalam demokrasi terdapat politik elektoral karna nominal, dan memungkinkan transaksi politik status quo.
Revolusi religiusitas modernitas bukan kehilangan kepercayaan kepada Tuhan melainkan orang orang kuat lebih mempengaruhi mayoritas untuk mempercayainya. Para politisi meyakinkan dengan metode seksi untuk menarik perhatian masa untuk mempercayainya, para seniman dengan karya indah untuk meransang subjek yang mengobjektivasikan. Dan para puitis dan sastrawan mengunakan bahasa pasaran untuk merayu mayoritas sampai ke prasaan untuk mengikuti atau menggunakan.
Inilah dampak moderen dari demokrasi, pandai untuk melakuan berbagai cara dalam tindakan luguh sebagai tampang meyakinkan ketertarikannya. Suatu kekuatan baru dalam demokrasi saat ini kita sebut sebagai invisible political hand (tangan-tangan politik tersembunyi). Kekuatan tersembunyi tersebut dapat memainkan peran dalam mengakomodasi massa denga tawar menawar. Untuk yang berkontestasi pun ia hanya mengikuti alur dramastis sutradara sesuai dengan ilusi drama yang dikonsepkan. Sehingga dengan sistem tersebut, dalam mekanisme politik ada transaksional dibuat sesedikit mungkin untuk mengganggu aktivitas politik.
Dalam praktik demokrasi, lebih sering berhenti pada tawar menawar ketimbang mensponsori perubahan. Sehingga utilitasnya tidak diukur melalui ambisi etisnya melainkan dengan teknis jumlah konsensus suara mayoritas. Sehingga ini yang menjadi pemburuan liar bagi yang memainkan.
Jadi, demokrasi, di dalam dirinya, memiliki imperatif metapolitik untuk menjamin kedaulatan peran untuk mengaktifkan ruang bagi perubahan. Sesungguhnya, ketegangan antara electoral politics dan citizenship politics inilah yang menjadi problem dari sistem demokrasi.
Problem ini menghasilkan demokrasi bukan ideal bagi pengaturan politik, tetapi demokrasi itu ia yang termungkin untuk menjamin kesetaraan hak dan kebebasan. Sehingga dengan jaminan itu, terbuka peluang bagi sirkulasi elit untuk melakukan susunan politik. Artinya, ada tendensi oligarki dalam demokrasi. Namun tetapi hanya pada demokrasilah dimungkinkan terjadinya koreksi politik secara sistemik. (*).
*Penulis adalah Mahasiswa asal Alor yang kini studi di Universitas Muhammadiyah Malang. Penulis kini tinggal di Kota Malang.