(Kajian Yuridis Normatif Hibah Tanah Asset Daerah Alor Serta Penerimaan dan Penempatan Hibah CSR PT Pertamina Dalam APBD Alor 2021)
Catatan hukum: Loly Bonafentura
“Power tends to corrupt
Absolute power corrupts absolutely”
(Lord Acton, 1833-1902)
Kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut. Sitiran pendapat Guru Besar Sejarah Modern CambrigdeUniversity Inggris, penulis kutip di awal tulisan ini bukan tanpa alasan, melainkan guna memberi suatu penegasan terhadap kebenaran adagium itu dengan melihat dan mempertimbangkan kecenderungan korupsi di daerah sebagai imbas dari reformasi birokrasi dalam perspektif otonomi daerah.
Pendapat LordActon di atas selalu dijadikan password jika kita membicarakan trend korupsi di pusat-pusat kekuasaan (kekuasaan di daerah), termasuk di pusat kekuasaan di Alor.
Beberapa waktu lalu ada seorang teman di Kalabahi memposting press releasse dari Ketua Fraksi Demokrat DPRD Alor Naboys Tallo dengan insan pers di rumahnya di kawasan Sawah Lama–Kota Kalabahi terkait kericuhan akibat perbedaan pendapat antara Tallo dan Bupati Alor Amon Djobo dalam sidang paripurna pembahasan rancangan perubahan APBD tahun 2021.
Setelah membaca dan mengontak beberapa narasumber di Alor, dalam kericuhan tanggal 9 September 2021 tersebut, penulis menilai ada 3 prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (Good Government Governance) yang tidak dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Alor terkait dengan fakta permasalahan hibah tanah asset daerah Alor ke PT Pertamina tersebut. Pertama, opennes and transparancy atau keterbukaan dan transparansi. Penulis tidak melihat adanya prinsip ini dalam proses hibah tanah asset daerah Alor ke PT Pertamina dan sebaliknya juga terkait hibah dana CSR yang nominalnya berbeda tersebut. Ketidakterlibatan DPRD Alor Periode 2014-2019 dalam pembahasan proses hibah dapat menjadi parameter untuk mengukur ada tidaknya prinsip itu, terlepas dari adanya data dukung yang diajukan Pemkab Alor, bagi penulis itu bukan parameter sepanjang itu (data dukung) tidak diperoleh melalui mekanisme dan tata tertib DPRD Alor. Kedua, accountable, dimaknai sebagai prinsip tanggung gugat pemerintah terhadap semua keputusan dan kebijakan yang diambil pemerintah terhadap masyarakat. Bagi penulis, hingga saat ini belum ada parameter yang dapat digunakan untuk mengukur akurasi prinsip ini. Dalam reformasi birokrasi yang berotonomi daerah, prinsip ini dapat menjadi “barang langka” dan bukan tidak mungkin itu terjadi juga dalam proses hibah tanah asset daerah Alor saat itu. Ketiga, anti corruption, bebas korupsi, adalah prinsip pencegahan korupsi oleh pemerintah dalam setiap program-program pemerintah. Dalam proses hibah tanah asset daerah Alor, prinsip ini tidak tampak, dan ini akan jadi entrypoint untuk menguak tabir terkait hibah tanah asset daerah Alor yang bermasalah itu.
Mencari Rujukan Teoritis
Mungkin saja ada yang berpendapat sama dengan Djobo bahwa hibah tanah asset daerah Alor kepada PT Pertamina adalah hak Djobo dan tindakan itu adalah representase kewenangan Djobo dalam menentukan kebijakan publik selaku Bupati Alor. Pendapat itu sah-sah saja. Namun akan jadi masalah jika diskresi kebijakan publik itu melampaui batas kewenangannya selaku pejabat publik dan/atau mencerminkan maladministrasi maka itu dapat menggerakan instrumen hukum administrasi, hukum etik, hukum perdata dan tidak tertutup kemungkinan juga hukum pidana.
Ronald dworkin dan H.L.A. Hart, terkait dengan diskresi kebijakan publik, mengembangkan sebuah teori yang disebut sebagai doughnut theory of discretion, teori diskresi lingkaran donat. Dworkin dan Hart menegaskan bahwa diskresi kebijakan pejabat publik berada dalam area kosong lingkaran donat yang tidak mungkin diatur secara rinci oleh undang-undang. Namun demikian keduanya sepakat bahwa diskresi kebijakan publik itu harus senantiasa memperhatikan dan menaati peraturan perundang-undangan atau aturan normatif lainnya yang diibaratkan sebagai area isi lingkaran donat yang bertaburan coklat dan keju. Selain itu seorang pejabat publik pun dituntut agar memiliki kemampuan, ketrampilan, pengetahuan dan wawasan/visi terhadap tujuan yang hendak dicapai dengan dikeluarkan diskresi kebijakan itu.
Merujuk pada doughnut theory of discretion, penulis berpendapat bahwa area kosong lingkaran donat dalam hukum administrasi sejalan dengan doktrin kebebasan kebijakan (beleidsrvijheid) atau freies ermessen yang menegaskan bahwa kebijakan diskresioner kepala daerah atau pejabat publik adalah suatu kebebasan kebijakan dan ia berada dalam ruang geraknya sendiri.
Bagi penulis, jika diskresi kebijakan Djobo itu telah merugikan masyarakat Alor, Djobo harus mampu mengganti kerugian tersebut jika terbukti adanya sifat melawan hukum dalam diskresi kebijakan publik yang ditempuh Djobo itu. Menurut KomariahSapardjaja, mengutip pandangan Asser-Rutten dalam schutznorm theorie, berpendapat bahwa dalam hukum administrasi, teorikesalahannorma ini semakin dibutuhkan karena menurut teori tersebut untuk menentukan sifat melawan hukum dari suatu kebijakan publik tergantung dari kepentingan hukum siapa yang akan dilindungi dari undang-undang yang bersangkutan.
Sebagai seorang pejabat publik Djobo pun harus tahu untuk kepentingan siapa diskresi kebijakan publik itu dia ambil. Bila ternyata itu merugikan kepentingan hukum warga masyarakat Alor, maka itu masuk pada domein hukum administrasi, kode etik dan hukum perdata. Maladministrasi dalam diskresi kebijakan publik dimaksud bisa masuk pada domein hukum pidana, terutama pidana korupsi manakala diskresi kebijakan publik tersebut terindikasi mengandung fraud, conflict of intereset, illegality dan gross negligence (Hans G. Nilson, Future Corruption in Europa, 1998).
Memaknai pokok permasalahan di atas, penulis memetakannya secara teoritik ke dalam dua aspek kajian/telaah guna mendukung tulisan ini terbagi atas, pertama, tipologikorupsi dan kedua, tindakpidanapencucianuang dan mengkonstatir keduanya dengan aspek yuridis normatif dalam proses hibah tanah asset daerah Alor ke PT Pertamina serta penerimaan dan penempatan hibah CSR sejumlah Rp. 521.000.000,- (Rp. 578.930.000,- : Nota Keuangan Bupati Djobo Desember 2020) dari BUMN tersebut ke dalam struktur APBD Alor 2021.
Dalam The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Hornby E.V. Gatenby dan H. Wakefield memberi pengertian corruption is the offering and accepting of bibes. Corruption is decay, moral decay. Makna ini merupakan pengertian secara luas karena terkait dengan pemberian dan penerimaan suap dalam segala jenis korupsi yang didasari pada moral dan akhlak yang buruk.
Pengertian yang lebih spesifik ditemukan dalam kamus Encyclopedia Americana, David M Chalmers memberi pengertian corruption isfinancial manipulations and decisions injurious to the economy. The term is often applied also to misjudgments by officials in the public economy. Jadi dapat dipahami bahwa pengertian korupsi secara spesifik dapat dipahami juga sebagai manipulasi keuangan dan keputusan-keputusan yang membahayakan ekonomi karena adanya kesalahan ketetapan-ketetapan dalam bidang ekonomi umum.
Sedang Tipologikorupsi dimaknai sebagai suatu kegiatan studi atau teori yang mencari, mempelajari dan mengklasifikasikan jenis-jenis (perbuatan) korupsi yang didasarkan pada variabel-variabel terkait dan berupaya untuk menjelaskan fenomena-fenomena terjadinya (perbuatan) korupsi itu. Tipologi korupsi ini pula yang menjadi parameter pembuat undang-undang untuk menentukan predicate offence yang secara normatif dan limitatif dalam pasal 2 ayat (1) UUPTPPU kita.
Dalam black’slawdictionary, moneylaundering adalah term use to describe investment or other transfer of money flwoing from racketeering, drug transaction and other illegal sources into legitimate channels so that it’s original sources can not be traced.
Istilah ini memberi pemahaman bahwa pencucian uang adalah penyetoran/penanaman uang atau bentuk lain dari pemindahan/pengalihan uang yang berasal dari pemerasan, transaksi narkotika dan sumber-sumber lain yang illegal melalui saluran illegal sehingga sumber asal uang itu tidak dapat diketahui atau dilacak.
Dalam pandangan doktrinal hukum pidana, ada tiga tahapan dalam rangka mencuci uang hasil tindak pidana korupsi, pertama, penempatan (placement),yaitu tahap di mana dilakukan pengumpulan dan penempatan dana hasil kejahatan ke dalam sistem keuangan. Kedua, pelapisan (layering), yaitu tahap memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul dana. Ketiga, penggabungan (integration), tahap dimana harta kekayaan yang tampak sah dinikmati langsung bahkan dapat digunakan untuk usaha-usaha yang sah.
Permasalahan hibah dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang nominalnya berbeda (Rp. 578.930.000,- dan 521.000.000,-) dari PT. Pertamina tidak dapat dimasukan dalam postur APBD murni Alor. CSR adalah tanggung jawab sosial dan lingkungan dari korporasi berkaitan dengan sektor usahanya dalam suatu daerah dan penggunaannya sesuai dengan perjanjian/kesepakatan (Perjanjian hibah) harus dicacat dalam kas daerah dan dimasukkan dalam APBD Perubahan, karena sifat pemberian CSR sangat tergantung pada profit dari suatu korporasi yang sifatnya fluktuatif. Memasukkan CSR dalam struktur keuangan/sistem keuangan daerah melalui APBD murni dalam konteks permasalahan hibah di Alor menurut penulis dapat berimplikasi pada dua kemungkinan, pertama, bila hibah tanah asset daerah Alor itu melawan hukum dan tidak SAH, maka CSR itu adalah merupakan suatu dirty money yang bilamana dimasukkan dalam struktur keuangan daerah penulis sebut sebagai suatu penyelundupan anggaran. Kedua, bila hibah tanah asset daerah Alor itu SAH, maka upaya memasukkan CSR ke dalam sistem keuangan/anggaran daerah/APBD murni Alor, penulis sebut sebagai suatu penggelapan anggaran. CSR hanya dapat masuk ke dalam struktur APBD Perubahan, dan bila ternyata penggunaannya tidak sesuai dengan peruntukannya berdasarkan perjanjian hibah, maka dapat dikualifisir sebagai tindak pidana korupsi, dan keduanya jelas merugikan keuangan negara.
Berdasarkan pada deskripsinormatifanalitis tersebut di atas, maka dalam pandangan doktrinal hukum pidana, untuk mewujudkan adanya dugaan tindak pidana pencucian uang/money laundering maka pertama, harus ada dua komponen tindak pidana, yaitu tindak pidana asal (predicate crime/predicate offence) dan tindak pidana lanjutan (follow up crime).Kedua, kedua komponen tindak pidana tersebut harus bisa dibuktikan secara bersama–sama agar seseorang atau korporasi bisa ditetapkan sebagai terpidana dalam tindak pidana pencucian uang.
Permasalahan yang timbul dalam tindak pidana pencucian uang adalah peranan pihak ketiga yang terlibat dalam konteks pencucian uang. Secara hukum ada kesulitan dalam mengukur atribusi pertanggungjawaban follow up crime pihak ketiga dalam tindak pidana pencucian uang. Kesulitan itu dalam praktek penegakan hukum dapat diakibatkan pada dua hal, pertama, dalam doktrin hukum pidana dikenal dua jenis kesalahan, yaitu kesengajaan dan kelalaian. Unsur patut diduga dalam praktek ternyata menimbulkan penafsiran yang variatif dan bias, apakah unsur patut diduga dimasukkan dalam jenis kesalahan karena kelalaian atau jenis kesalahan karena kesengajaan? dan kedua, terkait dengan proses penempatan (placement) hasil tindak pidana korupsi baik berupa uang dan harta kekayaan lainnya.
Jika yang dijadikan penempatan hasil korupsi follow up crime pihak ketiga adalah organ dalam struktur anggaran daerah melalui putusan pejabat publik yang masuk dalam doktrin beleidsvrijheid/freies ermessen dan/atau masuk dalam modal/anggaran perseroan melalui putusan direksi berdasarkan doktrin Businees Judgements Rule, ini sudah barang tentu menjadi kesulitan tersendiri dalam menafsir unsur patut diduga tersebut. Pada satu sisi, diskresi kebijakan publik masuk dalam domein hukum administrasi sedang doktrin Businees Judgements Rule masuk dalam domein hukum perdata.
Doktrin Freies Ermessen Versus Doktrin Good Government Governance
(Menakar dugaan korupsi dan money laundering dalam hibah tanah asset daerah Alor)
Parameter dua doktrin dalam hukum administrasi itu penulis pertentangkan guna menemukan korelasi praktek administrasi pemerintahan seperti apa yang sedang terbaca oleh publik Alor terkait dengan hibah tanah asset daerah Alor tersebut, apakah doktrin freies ermessen yang bermuara pada detournement de pouvoir atau doktrin Good Government Governance yang bermuara pada tiga prinsip tata kelola pemerintahan yang baik yang telah penulis sebutkan di awal tulisan ini yaitu prinsip openness and transparancy, prinsip accountable dan prinsip anti corruption. Penulis menganalisa konteks permasalahan yang sedang terjadi dalam hibah tanah asset daerah Alor dengan menggunakan konstruksi pasal 3 UUPTPK sebagai konsekuensi logis dari adanya diskresi kebijakan publik yang bermuara pada maladminitrasi yang diduga mengandung kecurangan (fraud), perbuatan melawan hukum (illegality) dan kesalahan yang disengaja (gross negligence), tiga (3) dari 4 aspek yang menggerakkan hukum pidana (korupsi) yang dikemukakan Hans G. Nilson.
Pasal 3 UUPTPK (Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) adalah merupakan pasal khusus tindak pidana korupsi sehingga terhadapnya berlaku azas logishce specialiteit yang merupakan derivat dari azas lex specialiteit dorogaat lex generali yang oleh Indriyanto Seno Adji dimaknai sebagai pasal khusus dalam undang-undang khusus yang di dalam kekhususannya terdapat unsur-unsur umum dari pasal 2 ayat (1) UUPTPK yang membentuk unsur-unsur delik yang mengatur tindak pidana korupsi aparatur negara.
Rumusan delik korupsi dalam pasal 2 ayat (1) UUPTPK adalah rumusan delik yang mengandung unsur-unsur umum yang salah satu unsurnya adalah perbuatan melawan hukum (wederrechtelijke) yang dalam doktrin hukum pidana kita merupakan suatu formeel wederrechtelijke yang selalu mengacu pada perundang-undangan tertulis. Unsur ini merupakan marwah yang menjiwai 30 jenis tindak pidana korupsi dalam UUPTPK yang kemudian dikualifisir menjadi 7 tipologi tindak pidana korupsi yaitu kerugian keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi.
Bila kita merujuk pada pasal 2 ayat (1) UUPTPPU (Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang) yang mengatur secara limitatif dan normatif 25 jenis tindak pidana asal (predicate offence/predicate crime) yang hasilnya berupa uang dan harta kekayaan yang dapat dikategorikan sebagai criminal proceeds atau uang haram (dirtymoney) yang dalam konteks permasalahan hibah tanah asset daerah Alor, penulis kaji/telaah berdasarkan pada pasal 2 ayat (1) huruf a) korupsi dan huruf p) penggelapan.
Sebagai pasal khusus dalam undang-undang khusus, unsur-unsur pasal 3 UUPTPK adalah unsur setiap orang, unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, dan unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dari rumusan delik pasal 3 UUPTPK, penulis mengkaji unsur-unsur pasal tersebut yang menurut penulis patut dianalisa bertalian dengan permasalahan hibah tanah asset daerah Alor ke PT Pertamina dengan mengkonstatirnya dengan fakta-fakta hukum dan ketentuan normatif lain terkait hibah daerah dan peraturan pendukung lainnya. Pertama, unsur setiap orang. Secara expressive verbis unsur ini membatasi kualifikasi frasa setiap orang yaitu tertuju hanya pada setiap mereka yang mengemban suatu jabatan atau kedudukan baik sebagai birokrat maupun legislator. Dalam unsur setiap orang, maka dalam padangan penulis mengarah kepada Djobo selaku pejabat publik/Bupati Alor. Kedua, unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Unsur ini merupakan tujuan dari rumusan delik pasal 3 UUPTPK. Tujuan adalah unsur bathin yang menentukan arah dari perbuatan penyalahgunaan kewenangan dan sebagainya. Frasa “dengan tujuan” akan bermuara pada adanya unsur kesengajaan (dolus). BungEddy(Prof. Edward O. S Hiariej) menegaskan bahwa kesengajaan dengan maksud (opzet als oogmark) adalah kesengajaan untuk mencapai suatu tujuan, artinya antara motivasi seseorang melakukan perbuatan, tindakan dan akibatnya benar-benar terwujud dan seseorang itu mengetahui dan menghendaki itu terjadi.
Dalam konteks permasalahan hibah tanah asset daerah Alor, Djobo selaku Bupati Alor patut diduga secara sengaja, telah mengetahui dan menghendaki terwujudnya tujuan yang merupakan sikap bathin dia untuk menguntungkan dirinya dan atau suatu korporasi dalam konteks ini adalah PT Pertamina. Konsekuensi logis unsur ini adalah keuntungan tersebut dapat untuk diri sendiri, atau orang lain dan atau suatu korporasi dan/atau bahkan bisa untuk kesemuannya. Seberapa besar keuntungan yang didapat bukanlah menjadi ukuran termasuk jumlah selisih nominal hibah CSR yang berbeda dari Rp. 578.930.000,- dibanding dengan jumlah Rp. 521.000.000,- dugaan penggelapan selisih angka tersebut dapat dikualifikasi sebagai keuntungan yang hendak dituju. Ketiga, unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukan. Unsur ini terbagi dalam lima (5) aspek, namun dalam konteks permasalahan hibah tanah asset daerah Alor, penulis membatasi pada tiga (3) aspek saja, yaitu; pertama, aspek kewenangan (authority, gezag), kekuasaan yang diformalkan baik terhadap segolongan orang tertentu mau pun terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu yang berasal dari kekuasaan legislatif dan eksekutif. Kedua, aspek sarana, adalah syarat, cara atau media, yang merujuk pada pasal 3 UUPTPK sarana berkenaan dengan cara kerja, metode kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi. Ketiga, aspek jabatan adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste verzkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara atau kepentingan umum atau yang dihubungkan dengan organisasi sosial tertinggi yang diberi nama negara.
Merujuk pada batasan normatif di atas bila dikonstatir dengan fakta yang mengawali proses hibah tanah asset daerah Alor, maka pertama, harus dianalisa apakah memang Djobo dalam jabatannya selaku Bupati Alor memiliki wewenang untuk menghibahkan tanah asset daerah Alor dan bagaimana sarana/mekanisme yang seharusnya ditempuh dalam rangka itu. Kedua, harus dianalisa pula terkait motif dari ketiga pimpinan DPRD Alor periode 2104-2019, Alopada, Lanlu dan Mantaon dalam memberikan rekomendasi/ijin untuk hibah tanah asset daerah Alor, apakah ketiganya berwenang memberi ijin itu tanpa melalui mekanisme dewan dan/atau tata tertib DRPD Alor saat itu dan yang kini dipertanyakan Tallo dalam sidang tanggal 9 September 2021 lalu? Dan apa konsekuensi hukum terhadap ketiganya? Apakah terhadap ketiganya dapat disangkakan dengan pasal penyertaan (deelneming) dalam pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP? Ini jadi penting manakala rekomendasi itu adalah alasan utama Djobo memberi hibah tanah asset daerah Alor ke PT Pertamina.
Dalam PP No. 2/2012 tentang HibahDaerah, pasal 8 ayat (1) huruf c disebutkan bahwa hibah dari pemerintah daerah dapat diberikan kepada BUMN dan BUMD, pemberian hibah mana berdasarkan pada pada pasal 16 ayat (3) dibuat dan ditandatangani oleh kepala daerah dan pimpinan BUMN, dan dalam perjanjian hibah mana menurut pasal 17 PP tersebut berisikan tujuan, jumlah, sumber, penerima, persyaratan, tatacara penyaluran, tatacara pemantauan dan laporan, hak dan kewajiban pemberi dan penerima dan sanksi.
Dari aturan normatif ini, untuk SAHnya perjanjian hibah antara Pemerintah Kabupaten Alor dengan PT Pertamina, maka perjanjian hibah peralihan tanah asset daerah Alor tersebut, harus dilakukan oleh Bupati Djobo atau kuasanya dengan Direktur PT Pertamina di Jakarta, dengan memuat materi-materi di atas dalam klausula perjanjian hibah tersebut. Jika dalam konteks hibah tanah asset daerah Alor tidak berdasarkan perjanjian hibah yang sah, maka perjanjian hibah tersebut batal demi hukum dan/atau dapat dibatalkan.
Dalam PP No. 28/2020 tentang perubahan atas PP No. 27/2014 tentang Pengelolaan Milik Negara/Daerah dalam pasal 24 ayat (2) disebutkan bahwa penilaian barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan/pemindatanganannya dilakukan oleh a) penilai pemerintah, b) penilai publik. Sedang dalam pasal 55 ayat (2) huruf a) Tanah dan/atau bangunan, atau ; b) selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari 5.000.000.000,- dilakukan setelah mendapat persetujuan DPRD. Pengecualian atas pasal 55 ayat (2) huruf b, diatur dalam pasal 55 ayat (3) yang menyebutkan bahwa ijin persetujuan DPRD tidak diperlukan apabila : a) sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota; b) harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen penganggaran; c) diperuntukan bagi pegawai negeri; d) diperuntukan bagi kepentingan umum, atau e) dikuasai negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap/atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan, yang jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis.
Dari rumusan pasal itu Djobo “mungkin” benar dalam sidang paripurna tertanggal 9 September 2021, di mana dia menegaskan bahwa dalam melepas tanah asset daerah Alor yang nilainya di bawah Rp. 5.000.000.000,- adalah “hak”nya dan itu tidak memerlukan persetujuan dewan. Namun jika dicermati secara seksama maka Djobo tidak bisa mengelak dari keharusan meminta persetujuan DPRD Alor manakala tanah asset yang dihibahkan tersebut walaupun nilainya di bawah Rp. 5.000.000.000,- tetapi tidak diperuntukan untuk ke-5 aspek/alasan sebagaimana dimaksud pasal 55 ayat (3) tersebut di atas melainkan ke pihak ketiga lain, yaitu PT Pertamina. Penulis menggunakan logika pikir argumentum per analogium, peristiwa/aspek berbeda namun diperlakukan sama, dan ini sejalan dengan penafsiran hukum teleologis yang merupakan penafsiran menurut makna dengan tujuan kemaslahatan kemasyarakatan. Djobo mungkin menyadari itu, sehingga beliau meminta persetujuan Alopada, Lanlu dan Mantaon, namun apakah itu SAH secara hukum? Tegas penulis katakan tidak SAH karena persetujuan itu tidak dihasilkan melalui mekanisme tata tertib DPRD Alor, dan faktor ini pula yang dipertanyakan Tallo dalam sidang paripurna tanggal 9 September 2021 tersebut. Silahkan masyarakat Alor menilainya. Ketiga, unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Unsur kerugian negara dalam tindak pidana korupsi adalah delik formil. Artinya cukup dengan dipenuhi unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan. Delik ini tidak tertuju pada akibat yang timbul. Kepastian kerugian akan kelihatan jika BPK RI atau BPKP NTT melakukan audit terhadap semua dokumen terkait hibah itu. Menjadi catatan bagi Kejaksaan Negeri Kalabahi dan juga Kejaksaan Tinggi NTT untuk segera melakukan penyelidikan manakala ada dugaan pencucian uang dalam sistem keuangan anggaran daerah Alor, sebagaimana paparan penulis di awal tulisan ini.