Kalabahi –
Sidang praperadilan yang diajukan pemohon tersangka Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Alor (Nonaktif) Alberth Ouwpoly terhadap termohon Kejaksaan Negeri Alor, memasuki agenda pembacaan kesimpulan dari pemohon dan termohon.
Pada kesimpulan yang disampaikan penasehat hukum pemohon, terungkap fakta-fakta hukum yang menguatkan bahwa prosedur penetapan Kepala Dinas Pendidikan Alor Alberth Ouwpoly selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi DAK Swakelola T.A 2019, cacat prosedur.
Untuk itu, penasehat hukum pemohon optimis bahwa yang mulia Hakim tunggal Datu H. Jayadiningrat, SH akan mengabulkan seluruh permohonan gugatannya.
“Kita tetap optimis Hakim akan kabulkan seluruh gugatan kita,” kata penasehat hukum termohon, Mario A. Lawung, SH.,MH, ketika jumpa pers usai menghadiri sidang pembacaan kesimpulan pada Jumat sore di Kalabahi.
Materi pembacaan kesimpulan itu dibacakan penasehat hukum Alberth Ouwpoly, Mario A. Lawung, SH.,MH dan Yusak Tausbele, SH.,M.Hum dalam sidang pembacaan kesimpulan yang digelar pada Jumat (28/1/2022) sekitar pukul 14.00 WITA di PN Kalabahi.
Sementara Termohon yang hadir, Tim Jaksa; Zulkarnaen, SH.,MH, De Indra, SH, Rudi Kurniawan, SH.,MH dan Aris Rizki Ramadhon, SH.
Berikut ini materi kesimpulan dari pemohon Alberth Ouwpoly yang dibacakan penasehat hukumnya dalam sidang yang dipimpin Hakim Tunggal Datu H. Jayadiningrat, SH.
KANTOR ADVOKAT & KONSULTAN HUKUM MARIO A. LAWUNG, SH.,M.H. & PARTNERS
Jl. Kramat Jati Blok II. Gang 2. Kelurahan Maulafa, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang. Hp.082247121976
Kalabahi, 28 Januari 2022
Kepada,
Yang Mulia Hakim Yang Mengadili Perkara
Permohonan Praperadilan Nomor: 1/Pid.Pra/2022/PN.KlB
Pengadilan Negeri Kalabahi
Di Kalabahi.
Dengan hormat.
Untuk dan atas nama PEMOHON, setelah mengikuti jalannya persidangan, jawab menjawab (repliek dan duplik), pengajuan bukti-bukti baik bukti surat maupun keterangan ahli, serta memperhatikan jalannya persidangan, maka dengan ini Para Pemohon akan mengajukan Konklusi/Kesimpulan dalam perkara ini.
Sebelumnya, PEMOHON menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Yang Mulia Hakim pemeriksa perkara permohonan praperadilan ini atas segala kebijaksanaan dan ketekunan dalam memeriksa dan mengadili perkara ini yang sampai pada kesempatan ini akhirnya para pihak-pihak yang bersengketa akan menyampaikan “Tanggapan Pembuktian” berikut “Kesimpulan” masing-masing sebagai tahap terakhir sebelum sampai kepada “PUTUSAN” Yang Mulia berikan.
Hakim Pemeriksa Yang Mulia,
Selama proses perkara ini berlangsung, para pihak yang bersengketa telah berupaya mengajukan segala hal yang dianggap perlu dan berguna baik dalam jawabmenjawab, maupun dengan segala alat-alat bukti baik berupa surat-surat (tertulis), maupun berupa saksi-saksi (lisan),keterangan Ahli dengan mengemukakan faktafakta dan argumentasi berdasarkan pendirian masing-masing yang kesemuanya itu sudah barang tentu akan merupakan bahan untuk dikaji, diteliti dan diuji secara seksama, cermat dan berdasar keyakinan Yang Mulia Hakim yang memeriksa dan mengadili Perkara ini dengan mendudukkan semua hal tersebut menurut hukum dan rasa keadilan (Justiciabelen).
Bahwa dari fakta-fakta yang diperoleh selama proses pemeriksaan perkara ini, maka telah terungkap adanya fakta-fakta hukum, sebagai berikut:
Tentang Fakta :
1. Bahwa pemohon adalah seorang Kepala Dinas/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) pada Dinas Pendidikan Kab. Alor. berdasarkan Keputusan Bupati Alor No.029/Hk/Kep/2019 Tentang Penunjukan/Penetapan Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran, Bendahara Penerimaan, Bendahara Pengeluaran, Bendahara Penerimaan Pembantu, Bendahara Pengeluaran
Pembantu, Pembantu Bendahara Penerimaan Dan Pembantu Bendahara Pengeluaran Pada Perangkat Daerah Lingkup Pemerintah Kabupaten Alor Tahun Anggaran 2019 Tertanggal 20 Februari 2019 (bukti surat P.14) dan selanjutnya mengenai uraian tugas seoarang KPA diatur dalam ketentuan dalam Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.
2. Bahwa pemohon melaksanakan pengelolaan DAK Pendidikan T.A 2019 yang bersumber dari APBN. Yang mana DAK Pendidikan tersebut di Transfer secara bertahap masuk ke rekening Bendahara Umum Daerah (BUD) Kab. Alor pada bulan Juli 2019 dari APBN. Untuk kemudian melaksanakan kegiatan yang bersumber dari DAK Pendidikan 2019 tersebut, pemohon sebagai KPA, mengeluarkan Surat Keputusan yakni :
1) Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Alor no.07/Pb.600/SK/Pend/i/2019 tentang Penunjukan Pejabat Pembuat Komitmen Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Alor Tertanggal 07 Januari 2019 (bukti surat P.11).
2) Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Alor no.09/Pb.600/SK/Pend/i/2019 tentang Penunjukan Penyedia Barang/Jasa Konsultasi Perencanaan Dan Pengawasan Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Alor Tahun Anggaran 2019 Tertanggal 07 Januari 2019 (bukti surat P.12).
3) Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Alor no.609.a/Pb.600/Pend/IV/2019 Tentang Penetapan Tim Teknis Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Satuan Kerja Dinas Pendidikan Kabupaten Alor Tahun Anggaran 2019 Tertanggal 01 April 2019. (bukti surat P.13).
3. Bahwa selanjutnya proses pelaksanaan pengelolaan DAK Pendidikan 2019 Kab. Alor dilaksanakan oleh PPK dengan alur proses yakni:
-
-
pada saat dilakukan pembayaran tahap pertama 25 %, PPK menyiapkan dan memberikan Kerja Sama Operasional (KSO) kepada Bendahara Dinas Pendidikan untuk dilakukan proses penginputan SPP/SPM ke aplikasi SIMDA keuangan Kab. Alor selanjutnya hasil penginputan diprintout, ditandatangani oleh bendahara, PA/KPA kemudian diverifikasi oleh kasubag umum dan keuangan selanjutnya digandakan 3 rangkap kemudian distempel kemudian diajukan ke Bendahara Umum Daerah dengan lampiran KSO dan Biling Pajak PPN/PPH. Setelah itu BUD melakukan verifikasi atas document persyaratan yang diajukan. Bilamana document tersebut lengkap maka BUD menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) Setelah SP2D diterbitkan maka secara otomatis Dana tersebut langsung masuk ke Rekening DAK Dinas Pendidikan Kabupaten Alor Selanjutnya Bendahara melakukan proses pencairan dan menyerahkan kepada kepala sekolah
-
alur Tahap Kedua (45 %) atas proses dimaksud :Untuk tahap dua prosesnya sama dengan ada penambahan lampiran tentang progress fisik dan laporan keuangan yang ditandatangani oleh kepala sekolah dan konsultan lapangan/Fasilitator dan selanjutnya mengetahui PPK
-
Untuk tahap ketiga (30%) prosesnya sama dengan ada penambahan lampiran tentang progress fisik 100 %, laporan keuangan dan berita acara PHO.
-
4. Bahwa pengelolaan DAK ini kemudian masuk ke rekening Dinas Pendidikan Kab. Alor, bukan semata-mata karena keinginan pribadi dari pemohon, melainkan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Alor berdasarkan Keputusan Bupati Alor Nomor 031/HK/KEP/2019 tentang Penunjukan Bank Tempat Penampungan Rekening Kas Organisasi Perangkat Daerah Lingkup Pemerintah Kabupaten Alor Tahun Anggaran 2019, Tertanggal 20 Februari 2019. (bukti surat P.3) Yang kemudian diubah dengan Keputusan Bupati Alor No.338/Hk/Kep/2019 Tentang Perubahan Atas Keputusan Bupati Alor No.031/Hk/Kep/2019 Tentang Penunjukan Bank Tempat Penampungan Rekening Kas Organisasi Perangkat Daerah Lingkup Pemerintah Kabupaten Alor Tahun Anggaran 2019 (bukti surat P.4).
5. Bahwa terhadap sekolah-sekolah penerima DAK Pendidikan 2019 tidak dapat dilakukan mekanisme transfer langsung ke rekening sekolah-sekolah tersebut dari rek. BUD pada saat pencairan dalam tahap-tahap progres pekerjaan dan harus melalui Rek. Dak Dinas Pendidikan, disebabkan tidak adanya rekening sekolah-sekolah penerima DAK Pendidikan 2019 sebagaimana berdasarkan ketentuan dalam Keputusan Bupati Alor No.318/Hk/Kep/2019 Tentang Penetapan Sekolah Dasar Dan Sekolah Menengah Pertama Penerima Dana Alokasi Khusus Peningkatan Prasarana Pendidikan Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Alor Tahun Anggaran 2019 Tertanggal 2 Januari 2019. (bukti surat P.5).
6. Bahwa semua prosedural kegiatan pengelolaan dan pelaksanaan dana DAK Pendidikan 2019 dilakukan secara swakelola dengan menggunakan swakelola tipe II. sebagaimana ketentuan dalam Lampiran 1, Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang-Jasa Pemerintah Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Pedoman Swakelola, sehingga sangatlah tidak benar keterangan Jaksa I Gede Indra (kasie Intel) Kejaksaan Negeri Alor dalam keterangan pers. https://tribuanapos.net/2021/12/17/tetapkan–kadis–pendidikan–alor tersangka–kasus–dak–2019–jaksa–bidik–bendahara–kas–umum–daerah/
7. Bahwa sampai dengan saat ini, termohon belum pernah mengambil keterangan dari Bupati Kabupaten Alor/Pengguna Anggaran (PA) yang telah mengeluarkan keputusan No.031/HK/KEP/2019 tentang Penunjukan Bank Tempat Penampungan Rekening Kas Organisasi Perangkat Daerah Lingkup Pemerintah Kabupaten Alor Tahun Anggaran 2019, Tertanggal 20 Februari 2019. (bukti surat P.3) Yang kemudian di ubah dengan Keputusan Bupati Alor No.338/Hk/Kep/2019 Tentang Perubahan Atas Keputusan Bupati Alor No.031/Hk/Kep/2019 Tentang Penunjukan Bank Tempat Penampungan Rekening Kas Organisasi Perangkat Daerah Lingkup Pemerintah Kabupaten Alor Tahun Anggaran 2019 (bukti surat P.4). dan Keputusan No.318/Hk/Kep/2019 Tentang Penetapan Sekolah Dasar Dan Sekolah Menengah Pertama Penerima Dana Alokasi Khusus Peningkatan Prasarana Pendidikan Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Alor Tahun Anggaran 2019 Tertanggal 2 Januari 2019. (bukti surat P.5).
8. Bahwa senyatanya berdasarkan tiga (3) Keputusan Bupati Alor tersebut diatas maka DAK Pendidikan 2019 kemudian dalam pengelolaan dan penggunaanya haruslah masuk ke rekening dinas pendidikan sehingga pemohon sebagai Kepala Dinas Pendididikan/KPA kemudian mengeluarkan keputusankeputusan yang berkaitan dengan pengelolaan DAK Pendidikan 2019 tersebut dengan maksud dan tujuan agar dapat terlaksana dengan baik.
9. Bahwa sebagaimana ketentuan dalam KUHP Pasal 51 :
(1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
(2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Dengan tidak/belum dilakukannya pemeriksaan terhadap Bupati/PA selaku pembuat kebijakan maka terhadap perbuatan permohonan haruslah dilindungi dari ancaman pidana atau dengan kata lain perbuatan yang dilakukan termohon dengan menetapkan pemohon sebagai tersangka dan dilanjutkan dengan penahanan adalah perbuatan yang prematur dan bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.
Tentang Prosedur Penetapan Tersangka
A. Tidak Terpenuhinya Alat Bukti
-
Bahwa dalam menentukan seseorang menjadi tersangka Termohon sudah harus memiliki bukti permulaan yang cukup atau minimal memenuhi dua alat bukti yang sah menurut KUHAP, bukan sedang mengumpulkan bukti-bukti, antara mengumpulkan bukti dan menemukan tersangka adalah dua hal berbeda, mengumpulkan bukti terlebih dahulu, menguji keabsahan buktibukti dan melakukan penyitaan, setelah itu baru melahirkan kesimpulan dan menemukan tersangkanya. Alat bukti haruslah di peroleh dengan cara yang sah dan di keluarkan oleh instansi yang sah dan Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP adalah, Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan Terdakwa.
-
Bahwa sesuai fakta yang terungkap dalam persidangan, penetapan pemohon menjadi tersangka, termohon belum menemukan 2 (dua) alat bukti yang sah menurut KUHAP sebagaimana disebutkan diatas, setelah menetapkan Pemohon sebagai tersangka,termohon masih melakukan pengumpulan bukti, sehingga saat menentukan tersangka Hanya satu alat bukti berupa keterangan saksi. Hal ini karena termohon tidak melakukan serangkaian tindakan yang benar sebagaimana diatur dalam KUHAP.
-
Bahwa berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Print-05/N.3.21/Fd.1/12/2021 Tertanggal 16 Desember 2021 (bukti surat P.1) termohon menetapkan pemohon sebagai tersangka, dilanjutkan dengan penahanan karena disangka melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1), jo Pasal 3 jo Pasal 18 Undang Undang RI Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
-
Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 seperti telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Dengan begitu, delik korupsi yang selama ini sebagai delik formil berubah menjadi delik materil yang mensyaratkan ada akibat yakni unsur kerugian keuangan negara harus dihitung secara nyata/pasti.
-
Bahwa dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUUXIV/2016, maka bukti yang harus terlebih dahulu diperoleh oleh termohon dalam kaitan dengan sangkaan pemohon telah melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1), jo Pasal 3 jo Pasal 18 Undang Undang RI Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 adalah adanya perhitungan kerugian negara yang nyata/pasti.
-
Bahwa terungkap dalam persidangan, termohon tidak memiliki satu dokumen yang dapat membuktikan adanya kerugian keuangan negara yang berhubungan dengan perbuatan yang disangkakan kepada pemohon. sebagaimana keterangan termohon dalam persidangan, termohon dalam membuktikan unsur adanya kerugian negara adalah berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu, Nomor : 18/ID/LHP/KA/PDTT/2021 tanggal 1 Desember 2021 yang dikeluarkan oleh Inspektorat Daerah Kabupaten Alor (bukti T.1).
-
Bahwa sebagaimana dalil termohon dalam persidangan dan dalam jawabannya pada Hal.8 Alinea ke 2, dasar rujukan yang dipakai oleh termohon dalam menggunakan Laporan Hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu, Nomor : 18/ID/LHP/KA/PDTT/2021 tanggal 1 Desember 2021 yang dikeluarkan oleh Inspektorat Daerah Kabupaten Alor sebagai rujukan perhitungan kerugian keuangan negara yang kemudian menjadikan pemohon sebagai tersangka adalah keliru menginggat pertimbangan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 tertanggal 8 Oktober 2012 pada hal. 53 yang berbunyi “Oleh sebab itu menurut Mahkamah, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi melainkan juga dapat berkoordinasi dengan intansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK misalnya dengan mengundang Ahli atau dengan meminta bahan dari Inspektorat Jendral atau Badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan) yang dapat menunjukan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang di tanganinya”.
-
Bahwa termohon telah keliru dengan mendasarkan diri pada pertimbangan mahkamah konstitusi diatas, mengingat Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi diatas adalah putusan terhadap pengujian UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukan UU tentang Kejaksaan Nomor 16 tahun 2004 ataupun UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 tahun 1999 Jo UU 20 Tahun 2001 sehingga amatlah keliru mempersamakan kedudukan lembaga kejaksaan dengan KPK. yang mana hal ini jelas dalam pertimbangan Mahkamah pada halaman 50. Putusan yang sama Nomor 31/PUU-X/2012 tertanggal 8 Oktober 2012 yang menyatakan “Bahwa salah satu pertimbangan yang menjadi dasar pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi menurut penjelasan umum UU KPK adalah sebagai berikut. kenyataan mengenai sifat dan dampak luar biasa dari tindak pidana korupsi di indonesia sehingga seringkali dikatakan sebagai kejahatan luar biasa maka dibentuklah lembaga yang bersifat Khusus yang dapat melakukan metode non konfensional atau cara-cara luar biasa, pasal 3 Undang-undang KPK menyatakan bahwa KPK merupakan lembaga negara yang dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun. KPK adalah lembaga negara yang didirikan dengan tujuan untuk upaya melakukan khusus atau non konfensional untuk memberantas korupsi. Maksud dari penjelasan Mahkamah adalah kerena indenpendensi KPK yang bebas dari kekuasaan manapun berbeda dengan Kejaksaan ataupun Kepolisian yang merupakan organ dibawah kekuasaan Eksekutif sehingga KPK bisa berkoordinasi dengan lembaga manapun, bahkan bisa menghitung sendiri di luar BPK.
-
Bahwa hal ini berkesesuain dengan keterangan ahli Deddy R.Ch. Manafe, S.H.,M.Hum dalam persidangan bahwa dalam hal putusan Mahkamah Kontitusi apabila yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi adalah UU KPK nomor 30 tahun 2002 tentang komisi Pembarantasan Tindak Pidana Korupsi, maka putusan tersebut hanya berlaku bagi KPK itu sendiri dan tidak berlaku bagi lembaga lainnya baik itu Kepolisian maupun Kejaksaan karena dalam hukum pidana tidaklah mengenal pendekatan analogi apalagi analogi mengenai kewenangan suatu lembaga.
-
Bahwa dengan demikian Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi NTT dan Kejaksaan Negeri Alor haruslah tunduk pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (5) Undang Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Untuk memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor: 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pasal 6 Ayat (1) BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Ayat (3) Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pasal 8 Ayat (3) Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut. Ayat (4) Laporan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 10 Ayat (1) BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
-
Bahwa hal ini sejalan dengan ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan Huruf A, angka 6 menyatakan “Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional, sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara, namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan negara;
-
Bahwa berdasarkan ketentuan yang telah diuraikan diatas maka Kejaksaan Negeri Alor tidak dapat disamakan dengan KPK sebagaimana isi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 tertanggal 8 Oktober 2012 dalam hal menghitung dan menetapkan adanya kerugian negara, atau dengan kata lain Kejaksaan Negeri Alor haruslah menggunakan perhitungan kerugian negara dari lembaga yang berwenang secara konstitusional yakni BPK Pusat ataupun BPK perwakilan NTT dan bukanlah menggunakan LHP dari Inspektorat Daerah Kabupaten Alor.
-
Bahwa dalam fakta persidangan dan bukti yang ditunjukan oleh termohon, termohon menetapkan pemohon sebagai tersangka berdasarkan adanya Laporan Hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu, Nomor : 18/ID/LHP/KA/PDTT/2021 tanggal 1 Desember 2021 yang dikeluarkan oleh Inspektorat Daerah Kabupaten Alor. Setelah menelusuri semua litarur aturanaturan hukum yang mengatur tentang kewenangan Inspektorat Daerah. Pemohon menemukan aturan yang mengatur tentang kewenangan Inspektorat Daerah dalam hal pengawasan keuangan yakni ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Yang mana pada Pasal 49 Ayat (6) berbunyi “Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota”. Selanjutnya dalam Pasal 50 Ayat (3) disebutkan “Audit dengan tujuan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup audit yang tidak termasuk dalam audit kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”. dalam penjesalan pasal ini diuraikan, Audit dengan tujuan tertentu antara lain audit investigatif, audit atas penyelenggaraan SPIP, dan audit atas hal-hal lain di bidang keuangan.
-
Bahwa sejalan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah mengenai kewenangan audit yang dimiliki oleh Inspektorat daerah, diatur dalam UU nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pada Pasal 20 yang berbunyi:
-
Ayat (1) Pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah;
-
Ayat (2) Hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. tidak terdapat kesalahan; b. terdapat kesalahan administratif; atau c. terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara;
-
Ayat (3) Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat kesalahan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan tindak lanjut dalam bentuk penyempurnaan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
-
Ayat (4) Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dilakukan pengembalian kerugian keuangan negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diputuskan dan diterbitkannya hasil pengawasan;
-
-
Bahwa dengan demikian maksud unsur pengawasan termasuk didalamnya audit/pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang dilakukan oleh Inspektorat Daerah termasuk Inspektorat Daerah Kab. Alor adalah pendekatan administratif dengan cara penyelesaian berdasarkan hukum administrasi dan bersifat internal pemerintah daerah kabupaten/kota. sehingga terhadap penggunaan LHP dari Inspektorat Daerah Kab. Alor oleh termohon dalam mentersangkakan pemohon adalah tidak sah dan bertentangan dengan hukum.
-
bahwa sebagaimana isi LHP dengan tujuan tertentu Nomor : 18/ID/LHP/KA/PDTT/2021 (bukti surat T.1) tanggal 1 Desember 2021 yang dibuat Inspektorat Daerah Kabupaten Alor pada hal. 1 jumlah temuan kerugian keuangan negara, yang tertera adalah Rp. 8.800.236 (delapan juta delapan ratus dua ratus tiga puluh enam rupiah) selanjutnya pada bagian bawah halaman yang sama memuat rekomendasi tehadap PPK agar melaksanakan beberapa hal terkait penyelesaian terhadap temuan hasil audit Inspektorat Daerah Kabupaten Alor tersebut dengan demikian sejatinya LHP LHP dengan tujuan tertentu Nomor : 18/ID/LHP/KA/PDTT/2021 adalah bersifat administratif dan bukan untuk pembuktian pidana, sebagaimana ketentuan Pasal 20 ayat (4) undang-undang No.30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan yang berbunyi “Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dilakukan pengembalian uang negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diputuskan dan diterbitkan hasil pengawasan”.
-
Bahwa sebagaimana kesaksian saksi yang dihadirkan oleh termohon, yakni Kasi Pidsus Kejari Alor Ardi Wicaksono dalam persidangan menyatakan, jenis anggaran yang menjadi obyek pemeriksaan dalam laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu Nomor : 18/ID/LHP/KA/PDTT/2021 tanggal 1 Desember 2021 oleh Inspektorat Daerah Kabupaten Alor adalah Dana Alokasi Khusus (DAK) 2019 yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Jika dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Yang mana pada Pasal 49 Ayat (6) berbunyi “Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota”. Dengan demikian berdasarkan ketentuan pasal diatas maka Inspektorat Daerah Kab. Alor tidak memiliki kewenangan untuk melakukan audit/pemeriksaan terhadap DAK Pendidikan 2019 yang bersumber dari APBN.
-
Bahwa dengan tidak berwenangnya Inspektorat Daerah Kab. Alor menghitung kerugian keuangan negara dalam perkara Aquo, maka sesuai Pasal 187 KUHAP; “surat sebagaimana disebut pada pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, pasal 187 huruf b; surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya”. Olehnya alat bukti surat adalah surat-surat yang dibentuk berdasar ketentuan Pasal 187 KUHAP, surat yang dibentuk diluar ketentuan Pasal 187 KUHAP, bukan merupakan alat bukti, olehnya bukti surat yang dikeluarkan bukan oleh pejabat yang berwewenang tidak termasuk alat bukti surat sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 KUHAP.
-
Bahwa sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang telah mengsyaratkan harus adanya kerugian keuangan negara yang nyata/pasti terhadap perbuatan yang disangka melanggar Pasal 2 ayat (1), jo Pasal 3 jo Pasal 18 Undang Undang RI Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001, dikaitkan dengan perbuatan termohon yang telah mentersangkakan dan menahan pemohon sampai dengan saat ini belum atau tanpa adanya alat bukti kerugian keuangan negara atau audit terkait perhitungan kerugian keuangan negara atas kasus a quo,tetapi pada tanggal 16 Desember 2021 termohon sudah melakukan penetapan tersangka dan penahanan kepada pemohon, hal demikian adalah cacat formil dan tidak sah.
-
Bahwa barang Bukti tidak termasuk alat bukti. Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian (Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, hal. 19). Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Oleh karenanya penetapan tersangka kepada diri Pemohon sangat prematur, tidak memenuhi kualifikasi pembuktian minimum (2 alat bukti) yang sah menurut KUHAP jo. putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 25/PUUXIV/2016 tentang adanya perhitungan kerugian keuangan negara yang nyata/pasti.
B. Tentang Kewenangan Penyidikan
-
Bahwa maksud pembentuk KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) adalah untuk memisahkan Penyidikan yang hanya diperuntukkan bagi Kepolisian dan Penuntutan bagi Kejaksaan. Hal itu tercermin dalam Pasal 1 angka 1 s/d 5 bahwa penyidik adalah Pejabat Polisi Negara dengan tugas Penyidikan, jo Pasal 4 s/d 12 jo Bab XIV yang dimulai dari Pasal 102 s/d 136 KUHAP. Pasal 1 angka 6 s/d 7 jo Pasal 13 s/d 15 jo Bab XV yang dimulai dari Pasal 137 s/d 144 KUHAP yang mengatur mengenai pejabat yang diberi wewenang sebagai Penuntut Umum yaitu Kejaksaan (Termohon). Pemisahan tersebut dengan tegas diatur dalam KUHAP. Pasal 284 ayat (2) adalah bersifat transisi, 2 tahun sejak KUHAP diundangkan Penyidik kembali ke Kepolisian. Olehnya KUHAP sudah berada pada jalur yang tepat, tatkala pembuat undang-undang memisahkan kekuasaan penyidikan dan penuntutan kepada dua instansi yang sederajat, yaitu Kepolisian selaku penyidik dan Kejaksaan selaku Penuntut Umum yang berkonsentrasi membuat dakwaan dan membuktikan dakwaannya di Pengadilan. Tentunya pemisahan tersebut menyiratkan suatu fungsi pengawasan antar instansi yang harus berjalan demi mencapai tujuan keadilan materiel yang sebenar-benarnya.
-
Bahwa Termohon melakukan penyidikan dengan pendasaran pada Pasal 284 ayat (2) KUHAP adalah tidak tepat, hal tersebut telah menyimpang dari maksud pembentuk undang-undang (KUHAP). Kontrol hakim terhadap Jaksa selaku Penuntut Umum harus diperluas dengan kewenangan memeriksa apakah tindakan Termohon dalam melakukan penyidikan sudah berdasar Undang-undang atau tidak. Bahwa bunyi Pasal 284 Ayat (2) KUHAP: “Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana’ sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”. Bahwa waktu yang ditentukan oleh Pasal 284 KUHAP yaitu 2 (dua) tahun dan sudah lewat sejak KUHAP diundangkan. Jika penyidikan masih dilakukan oleh Termohon maka hal tersebut bertentangan dengan Pasal 109 KUHAP yang mengatakan, begitu penyidikan dimulai, polisi harus memberitahukan tindakan pro justitia tersebut kepada jaksa (SPDP). Bahwa hubungan antara polisi selaku penyidik tindak pidana dengan jaksa selaku penuntut umum diatur dalam Pasal 109 Ayat (1) KUHAP, sebagai berikut: Dalam hal Penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, Penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum.
-
Bahwa dalam KUHAP dan UU Kepolisian mengatur penyelidikan dan penyidikan tindak pidana menjadi wewenang kepolisian. Dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI dalam pertimbangan huruf (c) berbunyi: “… bahwa untuk lebih memantapkan kedudukan dan peranan Kejaksaan RI sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun…”. Artinya kejaksaan berwenang dalam penuntutan, bukan penyidikan.
-
Bahwa oleh karena itu, tidak ada lagi kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Ketentuan Peralihan Pasal 284 ayat (2) KUHAP, tidak lagi menggunakan rujukan Undang- Undang Nomor; 3 Tahun 1971, melainkan UU Nomor 31 Tahun 1999. Jika masih ada pasal yang mengatur terkait kewenangan ini maka telah dilegasikan melalui UU Nomor; 31 Tahun 1999 dan KUHAP, hukum acara semua tindak pidana berada pada KUHAP. 37. Bahwa dengan adanya UU Nomor; 31 Tahun 1999, maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dinyatakan tidak berlaku. Pasal 44 UU 31/1999 menyatakan “Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 19, TambahanLembaran Negara Nomor 2958), dinyatakan tidak berlaku”.
-
Bahwa tidak ada pasal dalam UU Nomor; 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang secara tegas menyatakan Kejaksaan mempunyai kewenangan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Setidaknya ada 3 pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang ditafsirkan oleh Kejaksaan mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yakni Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 39. Pasal 26: “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”. Pasal 27: “Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung”. Pasal 39: “Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan Penyelidikan, penyidikan, dan penuntut tindak pidana korupsi yang dilakukan bersamasama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer”.
-
Bahwa ketentuan Pasal 27 dan Pasal 39 UU Nomor; 31 Tahun 1999 tidak menegaskan bahwa kejaksaan memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan. Untuk Pasal 27 UU Nomor 31 Tahun 1999 sudah dinyatakan tidak berlaku dengan adanya ketentuan Pasal 71 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002. Bahwa dalam prinsip negara hukum tentang pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara, maka kewenangan penyidikan itu merupakan domain kepolisian dan penuntutan menjadi domain kejaksaan dalam rangka mencapai sistem peradilan pidana terpadu (the integrated criminal justice system). Bahwa Pasal 30 ayat (1) huruf d UU 16/2004 tentang Kejaksaan menyebutkan: Tugas dan wewenang Jaksa adalah melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan UU. Tindak pidana korupsi diatur dalam UU Nomor; 31 Tahun 1999. Dalam UU No. 31 Tahun 1999 tidak mengatur soal kewenangan Jaksa terkait melakukan penyelidikan dan penyidikan.
-
Bahwa hanya terdapat dalam Pasal 39 UU Nomor; 31 Tahun 1999; “Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer”. Pasal tersebut mengatur penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dilakukan secara bersama-sama, bukan lembaga tunggal dari Termohon.
-
Bahwa Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab undang-Undang Hukum Acara Pidana Bab VII tentang Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Tertentu Pasal 17 menyebutkan “Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik, Jaksa, dan Pajabat Penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Diatur berdasar peraturan perundang-undangan, dalam Undang-undang Nomor; 31 tahun 1999 sebagimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor; 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor; 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, UU Nomor; 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan tidak mengatur secara tegas soal kewenangan tersebut.
-
Bahwa selain itu telah ada Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang mengabulkan permohonan yang diajukan Dedy Hidayat selaku Pemohon praperadilan dengan amar putusan Jaksa tidak berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, olehnya penahanan pada Pemohon Dedy Hidayat menjadi tidak sah, mengembalikan harkat dan martabat Pemohon serta menghukum Termohon untuk membayar ganti kerugian (https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8853/pntanjungkaran g–jaksa–tidak–berwenang–menyidik–kasus–korupsi/).
-
Bahwa dengan demikian kewenangan penyelidikan (lidik) dan penyidikan (sidik) oleh Termohon berdasar KUHAP sebagai kaidah hukum formil adalah tidak ada. Jika tidak ada kewenangan yang diberikan KUHAP tapi menetapkan Para Pemohon menjadi tersangka dan dilakukan penahanan pada diri Para Pemohon adalah Cacat Formil, olehnya semua surat-surat yang diterbitkan oleh Termohon dalam perkara a quo cacat formil, tidak sah, harus dibatalkan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
-
Bahwa oleh karena Termohon tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap perkara dugaan tindak pidana Korupsi Penyimpangan Dalam Kegiatan Pembangunan Perpustakaan Sekolah, Kegiatan Rehabilitasi Sedang Berat Perpustakaan Sekolah, Kegiatan Pembangunan Laboratorium, Dan Ruang Praktikum Sekolah Dan Kegiatan Pengadaan Meubelair Sekolah Pada Dinas Pendidikan Alor Tahun Anggaran 2019. Dengan sangkaan Primair: Pasal 2 ayat (1) Jo pasal 18 Undang-undang Nomor; 31 tahun 1999 sebagimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor; 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Subsidair pasal 3 Undang-undang Nomor; 31 tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor; 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, maka berkas-berkas dalam perkara a quo diserahkan kepada lembaga yang berwenang dalam hal ini penyidik Polri dan kepada PEMOHON.
Permohonan
Berdasarkan fakta dan alasan-alasan yuridis sebagaimana diuraikan diatas, maka melalui permohonan ini, Pemohon memohon kepada Yang Mulia Hakim yang memeriksa dan mengadili permohonan praperadilan ini agar berkenan menjatuhkan putusan yang amarnya, sebagai berikut:
-
Mengabulkan permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya;
-
Menyatakan hukum bahwa Penetapan Pemohon (ALBERTH NIMROD OUWPOLY, S.Pd.,M.Si) sebagai Tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Alor Nomor: PRINT- 4/N.3.21/Fd.1/11/2021, tanggal 2 November 2021; jo Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Alor Nomor: PRINT-5/N.3.21/Fd.1/12/2021, tanggal 16 Desember 2021; jo Surat Penetapan Tersangka Nomor: PRINT-05/N.3.21/Fd.1/12/2021 tanggal 16 Desember 2021 atas nama ALBERTH NIMROD OUWPOLY, SPD.,M.SI. adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum karenanya tidak memiki kekuatan hukum yang mengikat;
-
Menyatakan hukum bahwa segala hasil penyidikan yang dilakukan oleh Termohon terhadap Pemohon terkait Dugaan Tindak Pidana Korupsi Penyimpangan Dalam Kegiatan Pembangunan Perpustakaan Sekolah, Kegiatan Rehabilitasi Sedang Berat Perpustakaan Sekolah, Kegiatan Pembangunan Laboratorium, Dan Ruang Praktikum Sekolah Dan Kegiatan Pengadaan Meubelair Sekolah Pada Dinas Pendidikan Alor Tahun Anggaran 2019 adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
-
Menyatakan hukum bahwa Surat Penetapan Tersangka Nomor: PRINT05/N.3.21/Fd.1/12/2021 tanggal 16 Desember 2021 atas nama ALBERTH NIMROD OUWPOLY, SPD.,M.SI. yang diterbitkan oleh Termohon adalah tidak sah dan batal atau dibatalkan demi hukum;
-
Menyatakan hukum bahwa Surat Perintah Penahanan Nomor: Print05/N.3.21/Fd.1/12/2021 atas nama Pemohon (ALBERTH NIMROD OUWPOLY, SPD.,M.SI.) yang diterbitkan oleh Termohon adalah tidak sah dan batal atau dibatalkan demi hukum;
-
Memerintahkan kepada Termohon untuk segera mengeluarkan Pemohon dari tahanan pada Lembaga Pemasyarakatan Mola Kalabahi;
-
Menyatakan tidak sah segala putusan atau penetapan yang dikeluarkan oleh Termohon yang berkaitan dengan penetapan Tersangka dan penahanan terhadap diri Pemohon dan yang sifatnya merugikan Pemohon;
-
Membebankan biaya perkara yang timbul kepada negara.