Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) seringkali menjadi isu yang mencuat dalam konteks politik di Indonesia, terutama menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada). Salah satu akar permasalahan KKN dalam Pilkada dapat ditelusuri dari proses awal pencalonan kandidat yang mencari rekomendasi dari partai politik. Rekomendasi ini menjadi tiket penting bagi kandidat untuk dapat berpartisipasi dalam kontestasi politik di tingkat daerah.
Proses pencalonan sering kali tidak terlepas dari praktik-praktik yang tidak etis, di mana kandidat harus mengeluarkan sejumlah dana atau melakukan lobi yang intens kepada petinggi partai. Dalam beberapa kasus, kandidat harus memberikan “mahar politik” kepada partai sebagai syarat untuk mendapatkan rekomendasi. Praktik ini tidak hanya menyalahi prinsip demokrasi, tetapi juga membuka peluang besar bagi KKN untuk berkembang sejak awal proses pencalonan.
Fenomena ini menimbulkan dilema etis dan legal, di mana kandidat yang seharusnya memprioritaskan program dan visi misi untuk pembangunan daerah, justru terfokus pada upaya mendapatkan rekomendasi dengan cara-cara yang tidak transparan. Hal ini berdampak pada kualitas pemimpin yang terpilih, karena mereka lebih cenderung memiliki loyalitas kepada partai atau individu tertentu yang telah memberikan dukungan finansial, daripada kepada rakyat yang seharusnya mereka layani.
KKN dalam proses rekomendasi ini juga menciptakan lingkungan politik yang eksklusif, di mana hanya mereka yang memiliki akses kepada sumber daya finansial yang memadai yang bisa bersaing. Akibatnya, potensi-potensi pemimpin dari kalangan masyarakat yang lebih luas sering kali terpinggirkan karena tidak memiliki kapasitas untuk memenuhi tuntutan finansial yang dibutuhkan.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan reformasi sistem pencalonan dan pengawasan yang lebih ketat terhadap praktik-praktik yang melibatkan KKN. Penegakan hukum yang tegas dan transparansi dalam setiap tahapan proses pencalonan adalah langkah-langkah penting yang harus diambil untuk memastikan bahwa Pilkada tidak lagi menjadi arena subur bagi praktik KKN. Selain itu, pendidikan politik kepada masyarakat perlu ditingkatkan agar pemilih dapat lebih kritis dan sadar akan pentingnya memilih pemimpin yang bersih dan berintegritas.
Selain reformasi sistem pencalonan, diperlukan juga peran aktif dari lembaga pengawas pemilu, seperti Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), untuk lebih proaktif dalam mengawasi dan menindaklanjuti laporan-laporan yang berkaitan dengan praktik KKN. Bawaslu perlu memiliki kewenangan yang lebih kuat untuk melakukan investigasi dan memberikan sanksi yang tegas kepada kandidat atau partai politik yang terbukti terlibat dalam praktik tidak etis tersebut.
Transparansi keuangan kampanye juga harus diperketat. Setiap kandidat dan partai politik diwajibkan untuk melaporkan secara rinci sumber dana kampanye mereka, serta penggunaan dana tersebut. Laporan keuangan ini harus diaudit oleh lembaga independen untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan dana atau aliran dana yang tidak jelas. Publik juga harus diberikan akses untuk mengetahui laporan ini agar dapat melakukan kontrol sosial yang efektif.
Selain itu, pendidikan politik kepada masyarakat perlu diperkuat. Masyarakat harus diberikan pemahaman yang baik tentang pentingnya memilih pemimpin yang bersih dan berintegritas. Kampanye pendidikan politik bisa dilakukan melalui berbagai media, termasuk media sosial, untuk menjangkau khalayak yang lebih luas. Dengan pemilih yang lebih sadar dan kritis, diharapkan tekanan terhadap partai politik dan kandidat untuk menjalankan praktik yang bersih dan transparan akan semakin besar.
Penguatan peran media massa juga sangat penting dalam upaya memberantas praktik KKN. Media massa harus memainkan peran sebagai pengawas dan penyampai informasi yang objektif dan faktual. Melalui pemberitaan yang mendalam dan investigatif, media dapat mengungkap praktik-praktik tidak etis yang terjadi dalam proses pencalonan dan kampanye Pilkada. Kerjasama antara media, lembaga pengawas, dan masyarakat sipil sangat dibutuhkan untuk menciptakan sistem politik yang lebih bersih dan demokratis.
Selanjutnya, partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi harus melakukan introspeksi dan reformasi internal. Partai politik harus memperkuat mekanisme seleksi calon yang berbasis pada integritas dan kapabilitas, bukan pada kemampuan finansial atau kedekatan personal. Proses seleksi yang transparan dan akuntabel akan menghasilkan kandidat yang benar-benar berkualitas dan mampu menjalankan tugas dengan baik jika terpilih.
Partai politik juga harus menjunjung tinggi etika politik dan menjadikan integritas sebagai nilai utama dalam setiap proses politiknya. Kaderisasi yang berkelanjutan dan pendidikan politik bagi anggotanya sangat penting untuk membentuk budaya politik yang sehat dan bersih dari praktik KKN.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan praktik KKN dalam proses pencalonan dan pelaksanaan Pilkada dapat diminimalisir. Hanya dengan komitmen bersama dari semua elemen, mulai dari partai politik, lembaga pengawas, media massa, hingga masyarakat, kita dapat menciptakan demokrasi yang lebih berkualitas dan membawa kemajuan bagi seluruh rakyat.
Perubahan ini mungkin tidak terjadi dalam semalam, tetapi dengan kesabaran, konsistensi, dan komitmen yang kuat, kita bisa mewujudkan sistem politik yang lebih adil, transparan, dan bertanggung jawab menuju Alor Gemilang, Sejahterah dan Tangguh. (*).
*Penulis adalah pengajar di Universitas Tribuana Kalabahi.