Quo Vadis GMIT?

Oleh: Dr. Fredrik Y. A. Doeka, M.Th 
Hari ini, 8 Februari 2025, Fakultas Teologi UKAW berulang tahun ke 54. Lalu besok, 9 – 14 Februari 2025 MS GMIT akan melaksanakan persidangan Majelis Sinode LIII. Tidak kebetulan kedua peristiwa ini terjadi dalam rentang waktu yang bersamaan, di mana dalam ukuran usia manusia maka keduanya memperlihatkan kematangan pelayanan bagi gereja dan masyarakat luas. Sejarah Akademi Theologia Kupang hingga Fakultas Teologi hari ini menjadi saksi perjalanan pelayanan GMIT yang dimulai dari desa-desa hingga ke gedung GMIT Center (tempat sidang MS GMIT). Pergumulan di dalam perjalanan pelayanan masih di bidang Dana, Daya dan Teologi. Bahwa sesungguhnya kemandirian di tiga bidang ini menjadi kebutuhan jemaat-jemaat GMIT sejak 1947 dan oleh sebab itu, maka pendirian sekolah-sekolah GMIT (TK/PAUD hingga SLTA GMIT) dan Akademi Teologi Kupang pada 1971 digalakkan untuk menjawab kebutuhan gereja saat itu dan saat ini. Kebutuhan jemaat-jemaat ini telah sampai pada jumlah pendeta (hampir 2000 orang) ditambah penatua, diaken, pengajar yang tentu amat sangat banyak. Belum lagi alumni sekolah-sekolah GMIT mungkin saja berjumlah ratusan ribu orang. Sehingga dengan jumlah SDM ini seharusnya cita-cita jemaat misioner yaitu jemaat yang bertanggung jawab untuk melaksanakan misi Kristus di bidang marturia, koinonia, diakonia, liturgia, dan oikonomia sudah terlaksana.
Selanjutnya pergumulan dana yang dari periode ke periode pelayanan menjadi hot-issue hingga pada adagium “buku bambu”: jemaat desa-jemaat kota; jemaat kering –jemaat basah; dan jemaat air mata – jemaat mata air; jemaat ring satu – jemaat ring sepatu. Oleh karena itu dicarilah solusi untuk menyelesaikan akar pahit adagium ini. Kemudian GMIT menciptakan bank dengan modal dasar sebidang tanah di lokasi strategis di kota Kupang hingga muncullah BANK TLM GMIT (hari ini sudah berubah nama?). Berikut GMIT juga membidani kemunculan koperasi-koperasi simpan-pinjam, produksi, dan lain-lain (TALENTA, CITRA HIDUP, KASEMA, dst) dengan tujuan pemberdayaan ekonomi-keuangan warga GMIT. Untuk usaha-usaha pencarian dana dan pemandirian jemaat di bidang dana baik secara makro maupun mikro ini, ada yang berjalan lancar tetapi ada juga yang tidak lancar. Sampai dengan hari ini kita belum tahu secara pasti faktor-faktor penyebab mengapa ada kemacetan dalam usaha pemandirian jemaat di bidang dana dari lembaga-lembaga di bawah MS GMIT. Semestinya hasil survey/penelitian terhadap masalah ini akan menolong MS GMIT berbenah untuk menata dirinya secara profesional sehingga persoalan keuangan tidak terus dibicarakan dari sidang ke sidang, apalagi solusinya adalah tambah kantong kolekte dalam ibdah hari minggu. Kemandirian dana sangat bergantung pada kemampuan ekonomi jemaat. Fakta hasil sensus GMIT hari ini menunjukkan bahwa sekitar 82% jemaat memiliki penghasilan bulanan < 1 jt rupiah. Pekerjaan mayoritas jemaat adalah petani. Nah, apakah gereja, dalam hal ini pendeta, perlu turut serta mengembangkan dirinya dalam dua wajah: wajah pendeta di satu pihak dan wajah petani/peternak/pengusaha, dst. Di pihak lain? Jika ya, apakah calon-calon pendeta perlu dipersiapkan sejak dini di bangku pendidikan teologi sehingga kelak mereka bisa menjadi orang yang memberdayakan jemaat menurut potensi yang ada di tempat pelayanannya? (Ini tentu terkait dengan konten kurikulum Fakultas Teologi yang peka terhadap permasalahan GMIT hari ini). Tetapi kita bersyukur bahwa ada contoh-contoh dari kawan-kawan MK dan MJ yang berhasil menerobos tembok penghalang dengan kinerja yang patut diancungi jempol. Sebut saja Pdt. Gustaf Nenu-Blegur di Amfoang dengan produksi telur ayam bagi jemaat untuk mengatasi dan mencegah stunting. Atau Pdt. Sepri Adonis dengan program Skol Bive di GMIT Imanuel Posteau Klasis Amanuban Tengah Utara untuk mengatasi persoalan SDM Perempuan. Dibayangkan masih banyak lagi kawan-kawan pendeta yang berhasil mengembangkan program-program bermutu untuk mengatasi masalah klasik GMIT yaitu dana. Pertanyaan fundamental ialah bahwa apakah semua pelayan GMIT (Pendeta, Penatua, Diaken, dan Pengajar) memiliki semangat kerja, kreatif, dan produktif seperti Pdt. Gustaf dan Pdt. Sepri?
Untuk kemandirian teologi, menurut hemat kami, GMIT telah berjalan dengan produk teologi yang disebut PPEG (Pokok-Pokok Eklesiologi GMIT) dan PPTG (Pokok-Pokok Teologi GMIT). Dua produk ini merupakan prestasi MS GMIT di dalam merumuskan teologi yang berkembang di tengah-tengah kehidupan warga GMIT dan implementasinya di dalam pergumulan mereka sehari-hari. Namun pelibatan warga GMIT akar rumput dalam merumuskan teologi mereka sendiri tampaknya jauh panggang dari api. Dalam pengamatan, banyak anggota jemaat yang bingung dengan rumusan-rumusan teologi (apalagi rumusan itu begitu cepat saji) sebab istilah-istilah yang digunakan begitu jauh dari bahasa iman jemaat, bahkan jauh pula dari spiritualitas mereka. Ini pekerjaan yang berat dan memakan waktu lama untuk sampai pada kemandirian jemaat di bidang teologi yang sesungguhnya. Karena itu produk-produk teologi yang ada patut terus-menerus dikaji dan dijemaatkan agar proses dialektika berjalan dengan hasil yang bernas. Hasil inilah yang akan disosialisasi, diinternalisasi, dan diaktualisasi oleh jemaat itu sendiri. Optimalisasi peran dan fungsi UKAW, UNTRIB, dan STKIP Soe menjadi sebuah keniscayaan di dalam memecahkan berbagai persoalan GMIT. Bagaimana membangun sinergitas antara pelaksanaan tri dharma tiga PT di bawah paying GMIT dan pelaksanaan panca pelayanan GMIT menjadi tantangan tersendiri.
Segala kemajuan dan tentu halangan sebagaimana dicatat di atas menimbulkan pertanyaan penting: Quo Vadis GMIT? GMIT dengan jumlah anggotanya: 796.876 jiwa (68% survey data warga GMIT perhari ini) hendak dituntun ke arah mana? Apakah persoalan utama yang dikemukakan oleh Frank Cooly pada tahun 1973 dalam buku Benih yang Tumbuh XI: GMIT potensial tetapi “impoten” di dalam pengembangan dirinya menjadi persoalan dalam persidangan MS GMIT LIII?
Fakta Demografi
Jika dilihat dari konteks demografi GMIT hari ini, maka gambarannya sudah seperti RAKSASA yang berjalan lamban dalam pelayanan. Jangkauan terhadap usaha mengatasi persoalan jemaat hari ini: Stunting, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dll., boleh jadi mendapat halangan dalam rentang kendali dan pekerjaan kemajelisan (MS; MK; dan MJ) tanpa kejelasan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Memang halangan ini terkait dengan perilaku pemimpin GMIT yang menghamba (servant leadership) dan ketaatan warga pada aturan GMIT itu sendiri.

Fakta, bahwa wilayah pelayanan GMIT begitu luas (hari ini ditambah dengan wilayah pelayanan Batam dan Surabaya). Luas wilayah ini boleh jadi tidak berkelindan tepat dengan jumlah warga GMIT yang dalam laporan persidangan tahun ke tahun disebutkan 1,3 juta jiwa. Dahulu mungkin berlaksa-laksa, tetapi sekarang hanya beribu-ribu (bnd. 1 Samuel 18:7)? Ada apa dengan fluktuasi jumlah warga GMIT hari ini? Jawaban bisa datang dari peserta Sidang MS GMIT LIII.

Dalam pandangan penulis, MS GMIT harus berpikir “out of the box”. Yaitu antara pikiran untuk merampingkan organisasi dirinya dan membidani serta melahirkan setidaknya tiga sinode baru (GMIT Timor Daratan, GMIT RoSaSe – Rote, Sabu, dan Semau; dan GMIT Tribuana). Alasan di balik pandangan ini adalah agar jemaat missioner yang maju dan matang secara daya, dana, dan teologi makin konkret dirasakan oleh jemaat itu sendiri. Jangan sampai GMIT menjadi “gedung-gedung” gereja di Eropa yang megah luarnya tetapi orang-orangnya makin berkurang dan/atau tidak ada lagi dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama lagi.
Untuk membina pemimpin “out of the box” dan menjadi gembala yang hidup di tengah-tengah jemaat adalah tanggung jawab peserta persidangan MS GMIT LIII dan Fakultas Teologi yang berulang tahun hari ini. Calon-calon pemimpin yang demikian tentu sudah membayangkan “tempat indah-permai (bnd. Ibrani 11:10)” di mana GMIT dituntun dan tiba di tiga wilayah pengembangan yaitu GMIT Timor Daratan, GMIT RoSaSe – (Rote, Sabu, dan Semau); dan GMIT Tribuana. Dirgahayu Fakultas Teologi UKAW dan Selamat Bersidang MS GMIT. Tuhan Yesus memberkati. (*).
*Penulis adalah Dosen Prodi Teologi Pascasarjana UKAW Kupang. Tinggal di Oesapa – Kota Kupang.