Proyek SPBBU ATL: Bupati Membangun, DPRD Setujui, Rakyat Menjerit

Foto: Bos PT. Ombay Sukses Persada Enthon Jodjana (atas), Bupati Alor Drs Amon Djobo (kiri) dan Ketua DPRD Martinus Alopada (kanan). 
Foto: Bos PT. Ombay Sukses Persada Enthon Jodjana (atas), Bupati Alor Drs Amon Djobo (kiri) dan Ketua DPRD Martinus Alopada (kanan). 

Oleh: Friedrich, dkk

Proyek SPBBU di Alor Timur Laut merupakan salah satu kebijakan Bupati Alor yang kontroversial. Hal ini karena SPBBU dibangun di lahan pertanian pangan berkelanjutan. Lahan pertanian pangan berkelanjutan seharusnya dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas pertanian kita.

Kebijakan pembangunan SPBBU tidak berkesesuaian dengan Perda Alor No 4 tahun 2017 pasal 1 ayat 43. Perda tersebut menjelaskan, kebijakan publik dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta. Dan menyangkut pilihan yang harus dilakukan tidak oleh badan pemerintah.

Sedangkan pada pembangunan SPBBU di Kemang Desa Waisika dilakukan PT Ombay Sukses Persada. PT OSP merupakan pihak swasta dan bukan badan pemerintah.

Pembangunan SPBBU dapat diasumsikan sebagai pembangunan yang bersifat regional. Hal ini sesuai dengan misi Bupati Alor tentang pembangunan sarana prasarana strategis. Pembangunan sarana prasarana strategis tentu berdasar pada Nawa Cita poin ketiga, yaitu membangunan Indonesia dari pinggiran.

Pembangunan Indonesia dari pinggiran selanjutnya diterjemahkan sebagai pembangunan regional di Kabupaten Alor. Alor Kenyang, Alor Sehat, Alor Pintar selanjutnya diasumsikan sebagai pembangunan yang bersifat regional. Selanjutnya, Alor Kenyang, Alor Sehat dan Alor Pintar diterjemahkan sebagai suatu misi pembangunan sarana dan prasarana strategis.

SPBU Sumber Masalah

SPBBU dapat dipahami sebagai suatu upaya dalam pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana strategis. Meskipun demikian pembangunan SPBBU tersebut menimbulkan permasalahan. Permasalahan yang muncul adalah mengenai tujuan pembangunan SPBBU itu sendiri. Maksudnya, untuk siapa dan untuk apa pembangunan SPBBU tersebut?

Permasalahan di atas selanjutnya memunculkan rasa ingin tahu dari masyarakat. Sedangkan pemerintah cenderung kurang responsif terhadap wacana tersebut. Hal ini tentu bertolak belakang dengan konsep pelayanan publik dan good governance yang sesuai.

Pemerintah sejatinya diharapkan untuk selalu memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat melalui kebijakan-kebijakan pemerintah.

Oleh karena itu, kejelasan proses kebijakan pembangunan SPBBU sesuai dengan Perda Alor No 4 Tahun 2013 pasal 37 yaitu masyarakat konsumen berhak mendapatkan informasi tentang: a) tata cara pengurusan izin dan rekomendasi. b) ruang lingkup kegiatan usaha; dan c) mekanisme atau prosedur distribusi minyak dan gas bumi.

Berdasarkan perda tersebut pemerintah seharusnya memenuhi respon masyarakat secara prosedural. Namun, fenomena yang ditemukan di lapangan tidak berkesesuaian dengan Perda tersebut sehingga memunculkan polemik baru.

Perlawanan petani terhadap ketidakadilan telah muncul menghiasi perjalanan sejarah bangsa Indonesia dalam melawan feodalisme, kolonialisme dan kapitalisme. Disamping itu dinamika politik, perubahan-perubahan rezim yang berkuasa, dan proses demokratisasi serta globalisasi menjadi faktor eksternal lainnya yang mewarnai dinamika gerakan sosial pedesaan.

Penolakan terhadap pembangunan SPBBU PT OSP dilakukan kelompok mahasiswa dan masyarakat sekitar area terdampak pembangunan SPBBU tersebut. Hal ini karena, pembangunan SPBBU terletak di atas lahan produktif milik petani dan berpotensi menutup 6 mata air yang mengaliri 76 Hektare sawah yang dikelola lebih dari 200 kepala keluarga.

ATL Daerah Pertanian

ATL merupakan daerah dengan Luas Panen mencapai 175 Ha dan rata-rata hasil 2,70 Ton/Ha untuk produksi Padi Ladang berjumlah 473 Ton. Untuk tanaman padi luas panen mencapai 345 Ha dengan rata-rata hasil panen 3,65 Ton/Ha serta jumlah produksi padi 1.259 Ton (Sumber: BPS Alor 2017).

Penolakan ini didasarkan pada Perda Alor No 4 Tahun 2013 tentang Pengawasan dan Pengendalian Usaha Minyak dan Gas Bumi. Pasal 38 menghendaki masyarakat berhak mengajukan pendapat/keberatan kepada Pemerintah sebelum izin usaha SPBBU dan izin usaha Depot Lokal yang telah ditetapkan Bupati Alor.

Selain itu, Pembangunan SPBBU tersebut juga belum mengantongi izin AMDAL atau UKL-UPL.

Menyikapi penolakan Pembangunan SPBU tersebut, Aliasni APLH yang terdiri dari petani dan mahasiswa melakukan aksi demonstrasi. Pada aksi Jilid II yang dilakukan APLH pada Senin (27 Mei 2019) berujung pada 4 tuntutan: Menuntut DLHD memberikan Hasil Kajian rekomendasi UKLH, UPLH atau AMDAL.

Meminta kejelasan DLHD yang mengeluarkan rekomendasi UKLH, UPLH, atau AMDAL secara lisan sesuai pernyataan Camat ATL di media ini dan mendesak DLHD hentikan aktifitas perusahaan PT Ombay Sukses Persada di lokasi SPBBU ATL yang kini sedang berjalan.

Meminta kejelasan kepastian pembatalan pemberian ijin/rekomendasi UKLH, UPLH atau AMDAL kepada PT OSP di lokasi sumber mata air. Menuntut pertanggungjawaban Kepala Kehutanan atas pemberian izin secara lisan kepada pengusaha dan Pemkab Alor sesuai pernyataan Camat di Media ini.

Belum ada AMDAL

Asisten I Amirullah dan Sekretaris DLHD Dra. Efrin M. Bessie juga turut membenarkan perihal lokasi Pembangunan SPBU yang belum mengantongi rekomendasi perizinan dari pihak terkait.

(APRA) di Kupang juga melakukan demonstrasi. Mereka meminta perlindungan Gubernur Viktor Buntilu Laiskodat untuk meminta penjelasan serta klarifikasi Bupati Alor terkait pembangunan SPBU yang belum mengantongi izin.

Menanggapi aksi penolakan pembangunan SPBU, Viktor tidak menginginkan masyarakatnya ditindas. Gubernur Viktor ingin ada percepatan pembangunan yang tidak menghambat slogan “NTT Maju dan NTT Sejahtera”. Hal ini disampaikan Asisten I Jamal Ahmad, MM.

Dari permasalahan ini, terlihat bahwa pemerintah belum dapat merepresentasikan diri sebagai pengayom masyarakat kecil. Pemerintah seolah-olah lepas tanggungjawab dan bisu dengan perkara kehidupan dan penghidupan masyarakat ATL.

DLHD dan Dinas Kehutanan pun hanya seperti boneka yang dikontrol Bupati Alor dan tidak profesional sebagai suatu lembaga yang bergerak mewadahi dan mengayomi masyarakat dengan fokus masing-masing. Hal ini terbukti dengan tidak adanya suatu SOP yang jelas terkait perizinan pembangunan SPBBU ATL yang sudah diketahui bersama banyak melanggar aturan. 

Pembangunan SPBBU ini jika dikaji secara ekonomi kerakyatan yang menjunjung tinggi hak hidup rakyat maka sangat jauh dari itu. Hal ini karena SPBBU dibangun atas inisiatif PT OSP yang kita tahu sendiri Ombay adalah tuhan dari segala tuhan pemberi kehidupan bagi masyarakat Alor (katanya), tapi realitanya PT. Ombay sebenarnya adalah lintah darat yang selalu menghisap dan menyengsarakan kehidupan masyarakat.

Watak borjuasi penindas melekat erat pada diri si Ombay ini, karena cara-cara politik etis yang dimainkan mampu membuat pemerintah daerah pun bertekuk lutut di hadapannya.

“Ada pepatah dari China yang mengatakan bahwa “qian ke tong shen” yang artinya jika kau punya uang, dewa pun bisa kau ajak bincang-bincang.”

Ombay juga merupakan salah satu pemegang tonggak ekonomi di Alor sehingga wajar jika pemerintah daerah memohon ampun padanya. Dan apapun yang dinginkannya selalu ditaati pemerintah daerah.

Sudah kita ketahui secara bersama bahwa siapapun pemegang ekonomi dia juga yang menguasai politik serta menguasai segala sendi kehidupan.

Jadi sudah jelas bukan? pembangunan SPBBU ini untuk siapa? untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat ataukah untuk memperkaya Ombay dan kroni-kroninya, instansi-instansi yang bungkam dan takut melawannya. Ataukah si pimpinan daerah kita yang lupa dia dipilih oleh siapa sampai duduk di tahta itu.

Kemudian, dari permasalahan pembangunan SPBU ada suatu hal yang menarik bahkan menggelitik dan membuat nurani ini ingin memberontak yaitu tidak berjalannya fungsi, tugas, wewenang dan hak DPRD selaku legislator.

Harusnya pembangunan SPBBU yang menggusur dan menyengsarakan masyarakat ini, DPRD memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat untuk menggugat dan memberhentikan proses pembangunan SPBU.

DPRD berhak meminta pejabat negara tingkat daerah, pejabat pemerintah daerah, badan hukum atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan. Jika permintaan ini tidak dipatuhi, maka dapat dikenakan panggilan paksa. Jika panggilan paksa ini tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 30 (Pasal 73 UU MD3).

Alih-alih menggunakan otoritas politiknya untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingan publik. Namun yang terjadi justru sebaliknya. DPRD menjadi institusi yang melegitimasi adanya proyek SPBU yang eksploitatif dan menindas itu.

DPRD harusnya melindungi kepentingan masyarakat dan mempertanyakan proyek tersebut untuk siapa dan apa konsekuensi. Ruang politik tersebut bisa dipertanyakan pada sidang pembahasan anggaran agar mencegah terjadinya konflik antara masyarakat.*