Oleh: Goenawan Mohamad
Dua puluh tahun yang lalu, 11 September 2001, saya memandang langit Selasa pagi yang terang dari kamar sebuah hotel di Manhattan, New York. Tapi tak lama. Menjelang pukul sembilan, yang terang jadi keruh.
Sebuah pesawat Boeing 767 menabrak tingkat 80 menara utara World Trade Center yang menjulang ke langit. Delapan belas menit kemudian satu pesawat lagi menggebrakkan diri ke menara yang selatan. Tower Kembar itu akhirnya runtuh. Ribuan orang yang pagi itu di sana tewas. Apa yang tak pernah dibayangkan jadi peristiwa besar di siang-bolong.
New York terhenyak, bingung, cemas. Subway berhenti total, juga bis kota, juga taksi. Semua orang — saya di antaranya — berjalan kaki dari bagian kota yang satu ke bagian kota yang lain. Seakan-akan dalam keterhenyakan massal itu, mereka saling cari teman.
Siapa terbunuh? Berapa? Siapa menyerang? Beberapa puluh menit setelah suara gelegar dan api menyala di sisa gedung setinggi 110 tingkat itu — dan setelah di layar televisi berita, statemen dan analisa muncul berganti-ganti — orang sadar, ini bukan kecelakaan. Ini bukan bencana kota besar. Ini bagian dari entah.
Dan entah itu jadi sejarah abad ke-21. Dan sejarah, seperti hampir selamanya, adalah kematian, kekerasan, kerancuan. New York berubah. Di malam hari, lampu-lampu padam sejak Canal Street di selatan; pasukan Garda Nasional, pemadan api, mobil berlapis baja tampak di pelbagai sudut Lower East Side. Kota seperti dalam keadaan perang, meski tak ada musuh dengan senjata di seberang medan.
Yang kemudian orang tahu, siang tadi ada sebuah pesawat lagi menghantam, dengan seluruh tubuhnya, dengan 64 penumpang di dalamnya, gedung segilima megah Departemen Pertahanan di Arlington. Diperkirakan 125 personil militer Amerika tewas — bersama para penumpang yang malang itu. Hari itu di Manhattan sekitar 3000 orang mati.
“Amerika diserang!”. Suara itu segera terdengar di media dan mimbar di seluruh Amerika: separuhnya pekik yang cemas, separuhnya lagi mirip teriakan perang orang Indian dalam film “Apache”.
Pada awalnya tak jelas apa gerangan serangan 11 September itu. Hari itu bukan “The Day if Infamy” seperti ketika balatentara Jepang mengebom pangkalan militer AS di Pearl Harbor di tahun 1941. Tak ada negara yang mengirim pasukan tentara reguler untuk memerangi Amerika dari langit New York. Sembilan belas orang Timur Tengah yang menabrakkan tiga pesawat sipil itu tak sama dengan pasukan kamikaze Jepang yang melancarkan serangan bunuh diri. Prajurit kamikaze mengenakan baju seragam, tanda bahwa mereka bagian dari tentara resmi. Yang mereka serang hanya personil militer. Para penyerang di Tower Kembar tidak.
Mereka disebut “teroris”. Tapi dalam batas tertentu mereka adalah “partisan” menurut Carl Schmitt dalam “Theorie der Partisanen”.

Schmitt menunjukkan ciri-cirinya. Mereka bukan prajurit reguler, bergerak cepat, mampu menyerang mendadak muncul dan menghilang. Lebih penting lagi, mereka punya cita-cita politik.
Tapi ada beda besar antara para penabrak dua menara di Manhattan dan partisan dalam pandangan Schmitt: Al Qaedah merumuskan “musuh” sebagai “musuh yang absolut”; partisan, dalam pengertian Schmitt, tidak. Mereka punya ikatan dengan satu tempat — misalnya para gerilyawan Spanyol melawan kekuasaan Prancis dengan berpijak di bumi Andalusia. Para jihadi tak membawa “tellurischer Charakter” itu.
Tanah tumpah darah dan sejarah negeri apapun tak punya arti dalam kesadaran mereka. Mereka mengaitkan diri dengan sesuatu yang tak di bumi: surga. Mereka dibentuk doktrin yang mereka anggap harus berlaku buat semua dan untuk selamanya. Tak ada batas. Juga tak ada negosiasi; musuh adalah yang bukan-kita yang harus ditiadakan. Mungkin mereka sendiri tak tahu kapan perang mereka akan berakhir.
Tak sadar akan batas seperti itu bukan saja takabur, tapi juga kekejaman kepada hidup yang terbatas— dan di ujungnya kegagalan. Schmitt, yang menulis risalahnya di awal 1960-an, menganggap Lenin membawa semangat tanpa batas itu. Bapak komunisme itu, “seorang revolusioner profesional dalam perang saudara dunia atau “Weltbürgerkrieges”, kata Schmitt, “telah mengubah musuh yang nyata jadi musuh absolut”. Sikap itu dilanjutkan Stalin, Mao, Polpot. Tapi kita tahu mereka tak berhasil ketika bertolak dari kemutlakan. Polpot hendak mengubah Kambodia dengan menghabisi total “najis dunia lama”, tapi ia terjungkal.
Mungkin kejatuhan Kabul akan menguji adakah Taliban mengenal batas. Tapi juga mengoreksi Amerika. Duapuluh tahun yang lalu, hanya dua pekan setelah 11 September 2001, Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld menyatakan perang yang terus menerus. Tak perlu dirumuskan “exit strategies”, katanya, tak perlu rancangan keluar dari medan tempur. Amerika menyiapkan diri untuk konfrontasi tanpa batas waktu,“a sustained engagement that carries no deadlines… “
Di tahun 1950-an, ketika ide-ide totaliter berkecamuk untuk menegakkan “keadilan” seutuhnya, Albert Camus mengingatkan kesalahan Eropa — kesalahan menjadi “anak semangat yang tak kenal batas, fille de la démesure.”
Rasanya itu perlu didengar lagi. Keputusan Presiden Biden menarik pasukan dari Afghanistan adalah tanda — seperti ketika Saigion jatuh ke kekuasaan Vietnam — kegagalan. Artinya bahkan negara dengan kekuatan ekonomi, teknologi, dan militer yang paling kuat sekalipun bukan daya yang tak terbatas. Ia, pemenang dua Perang Dunia dan Perang Dingin, ternyata gagal membuat dunia seperti yang dia mau. *
Penulis, pendiri Media Tempo