Menakar Dimensi KKN dan Maladministrasi dalam Penyerobotan Tanah Pembangunan TPA Lembur Alor-NTT

Foto: Loly Bonafentura
Foto: Loly Bonafentura
Catatan hukum:  Loly Bonafentura
“You have shown me the sky
to a creature who’ill never do better than crawl”.
“anda memperlihatkan langit kepadaku
tapi apalah artinya cakrawala
bagi manusia kecil melata
yang hanya mampu merangkak terseok-seok”
Ungkapan di atas pernah diucapkan oleh Ketua Lembaga Bantuan Hukum Filipina, Dr. Salvador Laurel. Ungkapan itu merupakan manifestasi dari perasaan golongan masyarakat  kecil yang pernah dihibur dengan berbagai kecemerlangan integritas atas hak asasi pribadi namun dalam kenyataan dan praktek penegakan hukum, mereka sama sekali tidak mampu bertahan ketika berhadapan dengan kecongkakan kekuasaan, baik birokrat maupun aparatur penegak hukum.
Narasi puitif namun bernas itu kini dialami seorang warga masyarakat Alor, Yafet Famai (42). Beberapa hari lalu, ada seorang teman di Kalabahi memposting berita dari sebuah media online kepada Penulis dan meminta saran terkait dengan dugaan penyerobotan sebagian lahan milik Famai dalam proyek pembangunan tempat pemrosesan akhir (TPA) Sampah di Lembur. Proyek dengan biaya dari APBN sebesar Rp. 15.775.263.000,- yang merupakan proyek Dinas PUPR Provinsi NTT dengan kontraktor pelaksana adalah PT. Araya Flobamora Perkasa  dengan Konsultan supervisinya CV. Sahwana, keduanya bertempat kedudukan hukum di Kupang – NTT, dan waktu pelaksanaan proyek adalah 240 hari kalender. Pemerintah Kabupaten Alor hanya membantu menyiapkan lahan/tanah untuk proyek pembangunan TPA itu. Dalam rangka persiapan itulah, sebagian tanah/lahan Famai diduga diseroboti oleh Pemerintah Kabupaten Alor.
Berselang dua hari kemudian Penulis bertelepon dengan Famai. Darinya diperoleh keterangan bahwa soal penyerobotan itu, dia pernah bersurat kepada Bupati Alor Amon Djobo untuk dimediasikan karena saat mediasi awal ditingkat desa dan kecamatan, mengalami deadlock. Famai pun diundang untuk menemui Djobo guna bermediasi dengan dihadiri oleh OPD terkait. Dalam mediasi itu Famai mendapatkan perlakukan yang tidak menyenangkan dari Djobo dan  atas perintah Djobo pula, Famai dikekang kebebasannya dan dibawa oleh Kasat Pol PP Kabupaten Alor Zainal Nampira dan dilaporkan ke Polres Alor.
Bahwa apapun alasannya, bagi Penulis ada arogansi kekuasaan dalam konteks pengekangan kebebasan yang dialami Famai kala itu. Bahwa sebagai misal, andaikan alasan mempidana Famai karena Birokrat Alor merasa telah menguasai lahan/tanah termaksud secara SAH dari aspek legalitas prosedur perolehan dan status kepemilikannya,  Penulis tegaskan pengekangan kebebasan Famai ketika itu adalah persoalan lain yang bisa berimplikasi hukum serius.
Penulis membangun argumen itu dengan asumsi,  Pertama, birokrat Alor bukan aparatur penegak hukum. Bila merujuk pada konsep catur wangsa penegak hukum, yang terdiri dari Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat, maka jelas peran dan fungsi birokrat Alor bukan aparatur penegak hukum. Terkecuali Advokat, ketiga aparatur penegak hukum yang lainnya, yaitu Polisi, Jaksa dan Hakim, masing-masing mempunyai kewenangan penegakan hukum yang bercirikan fungsi police power, yaitu hak menangkap (to arrest) dan hak untuk menahan (to detain). Dengan demikian, fakta pengekangan kebebasan Famai oleh birokrat Alor dan dengan niat meneruskan pengekangan kebebasan dimaksud kepada Polres Alor, dapat dianggap sebagai kejahatan yang mencederai hak azasi Famai, tidak menjadi soal seberapa lama pengekangan kebebasan itu terjadi.
Bila merujuk pada pasal 2 Universal Declaration of Human Rights, ditegaskan bahwa..”  setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum didalam pernyataan ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran atau pun kedudukan lain”. Bahwa konsekuensi hukum terhadap kejahatan atas pengekangan kebebasan Famai dapat dipidana jika kita merujuk pada ketentuan pasal 333 ayat (1) KUHP yang menegaskan bahwa, “Barang siapa dengan sengaja merampas kemerdekaan orang lain secara melawan hukum atau meneruskan perampasan kemerdekaan demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun”.
Yafet Famai mencegat proyek TPA Lembur karena lahannya diduga diserobot pemerintah untuk  pembangunan proyek tersebut tanpa sepengetahuan dirinya.
Yafet Famai mencegat proyek TPA Lembur karena lahannya diduga diserobot pemerintah untuk  pembangunan proyek tersebut tanpa sepengetahuannya.
Kedua, Famai bukanlah pelaku kejahatan, apalagi pelaku kejahatan tertangkap tangan. Bilamana merujuk pada pasal 1 angka 19 KUHAP, tertangkap tangan adalah “tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu”.
Bila merujuk pada konteks kejadian materil yang dialami Famai terkait dugaan penyerobotan sebagian lahan/tanahnya oleh Pemerintah Kabupaten Alor, kualifikasi Famai adalah korban dari suatu kejahatan (penyerobotan tanah). Bagaimana Birokrat Alor membangun argumen dengan logika pikir sehat dalam mencerna fakta yang dialami Famai? Famai berjuang sendiri guna mendapatkan keadilan baginya namun yang didapatkannya adalah intimidasi dan dianggap sebagai pelaku kejahatan tertangkap tangan jika merujuk pada kronologis kejadian materil yang dialami Famai. Pengekangan kebebasan Famai dan meneruskan pengekangan kebebasan dengan membawa yang bersangkutan ke Polres Alor jelas merepresentasekan arogansi kekuasaan Birokrat Alor dan ini sangat mencederai rasa keadilan kita sebagai suatu bangsa yang menjunjung tinggi hak azasi manusia.
Ketiga, dari aspek etika/kepatutan, patutkah birokrat Alor melakukan pengekangan kebebasan Famai setelah sebelumnya mengundang Famai untuk melakukan mediasi dengan Djobo beserta perangkat OPD terkait?  Etis kah pengekangan kebebasan itu dilakukan terhadap Famai? bukankah pada saat itu dia adalah tamu yang diundang! Bahwa pada konteks inilah, penulis mempertanyakan dimana Kabag Hukum Pemerintah Kabupaten Alor dan/atau staf ahli bidang hukum Bupati Djobo saat itu? karena kehadiran keduanya sangat penting saat itu guna mencegah tindakan seorang Djobo menunjukan arogansi kekuasaan dalam mengintimidasi Famai, suatu kecongkakan kekuasaan sebagaimana dimaksud Laurel di awal tulisan ini.
Bahwa terkait dengan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh Famai, menurut Penulis dia bisa saja menempuh upaya hukum Perdata melalui gugatan Perbuatan Melawan Hukum (vide. Pasal 1365/1367 KUHPerdata) di Pengadilan Negeri Kalabahi, dan bisa juga mengajukan upaya hukum Pidana (vide.Pasal 385 KUHP) melalui Kepolisian Resort Alor.
Pasal 385 KUHP terdiri dari 6 ayat dan di dalamnya terformulasikan kejahatan-kejahatan yang dalam doktrin hukum pidana disebut sebagai kejahatan stellionnaat. Harus menjadi perhatian penyidik Polres Alor, terkait fakta kepemilikan Famai atas lahannya yang masih berupa surat girik/petuk pajak /leter C,  fakta ini tidak dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan pengaduan Famai. Penulis tegaskan yang jadi obyek aduan Famai adalah kejadian materil penyerobotan sebagian tanah/lahan yang bermuara pada proses pembuktian guna menemukan kebenaran materil, ini penting sebagai catatan untuk penyidik Polres Alor.  Penggunaan dan penerapan secara spesifik ketentuan pasal 385 KUHP oleh Penyidik Polri  dapat pula dikonkursus-idealiskan dengan peraturan pemerintah pengganti UU No. 51/tahun 1960 (Perpu No.51/1960) yang bersifat lebih umum. Sertifikat tanah/lahan yang selalu dijadikan dasar developer/kontraktor dan atau Birokrat Alor untuk menjustifikasi tindakan/langkah mereka dapat ditelusuri oleh Penyidik Polres Alor dengan langkah penyitaan terhadap warkah yang jadi dasar terbitnya sertifikat di atas tanah/lahan bermasalah tersebut dan yang tidak kalah penting adalah transparansi penyelidikan dan penyidikan Polres Alor adalah yang sangat esensial dalam konteks ini.
Maladministrative Pelayanan Publik Versus Dimensi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Pemkab Alor pidanakan Yafet Famai di Polres Alor. Yafet di antar Kasat Pol PP Alor Zainal Nampira ke Polres Alor  usai dialog dengan Bupati Alor Amon Djobo pada Selasa (24/8/2021) siang.
Pemkab Alor pidanakan Yafet Famai di Polres Alor. Yafet di antar Kasat Pol PP Alor Zainal Nampira ke Polres Alor usai dialog dengan Bupati Alor Amon Djobo pada Selasa (24/8/2021) siang.
Bila merujuk pada pasal 1 angka 3 UU No. 37/2008, disebutkan bahwa maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang atau menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang seharusnya, kelalaian atau pengabaian kewajiban  hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang menyebabkan timbulnya kerugian di masyarakat baik secara materil dan immaterial. Sedang bila kita merujuk pada pasal 1 ayat (1) UU No. 25 /2009 tentang Pelayanan Publik, disebutkan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang , jasa,  dan/atau pelayanan administrative yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik”.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2021/08/14/serobot-lahannya-warga-alor-cegat-proyek-tpa-sampah-lembur-senilai-rp-15-miliar/
P.M. Hadjon memberi definisi bahwa maladministrasi adalah perbuatan/tindakan yang lingkup perbuatannya erat kaitannya dengan tanggung jawab jabatan berkenaan dengan legalitas (keabsahan) tindak pemerintahan. Dalam hukum administrasi, persoalan legalitas tindak Pemerintahan  berkaitan dengan pendekatan terhadap kekuasaan pemerintah. Tanggung jawab pribadi berkaitan dengan pendekatan fungsionaris atau pendekatan perilaku dalam hukum adminsitrasi. Tanggung jawab pribadi berkenaan dengan maladminsitrasi dalam penggunaan wewenang maupun pelayanan publik.
Pakar hukum adminsitrasi negara asal Flores Timur –NTT itu menegaskan pula bahwa  pembeda  antara tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi atas tindak pemerintahan membawa konsekuensi yang berkaitan dengan tanggung jawab pidana, tanggung gugat perdata dan tanggung gugat tata usaha negara (TUN). Tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. Dalam kaitan tindak pemerintahan, tanggung jawab pribadi seorang pejabat berhubungan adanya  maladministrasi. Sedang tanggung gugat perdata dapat menjadi tanggung gugat jabatan berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa atau pemerintah.  Tanggung gugat perdata menjadi tanggung gugat tata usaha negara (TUN) pada dasarnya merupakan tanggung jawab jabatan.
Memaknai pandangan P.M. Hadjon di atas, maka dalam menentukan apakah tindak pemerintahan/kebijakan pejabat daerah merupakan domain tindak pidana (korupsi),  maka  tentunya harus dicermati substansi perbuatannya sebagai landasan untuk mengungkap kebenaran materil dalam perkara pidana.
Dalam pandangan doktrinal, dimensi korupsi, kolusi dan nepotisme dimaknai sebagai segala aspek dan nilai-nilai kehidupan yang mempengaruhi  atau melatarbelakangi tinggi rendahnya tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme. Nilai-nilai budaya, nilai-nilai religi, status sosial, system kekerabatan, faktor ekonomi, tingkat kesadaran hukum bahkan gaya hidup sangat mempengaruhi tingkat Korupsi yang adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Kolusi yang dimaknai sebagai permufakatan atau kerja sama melawan hukum antar penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat atau negara, dan nepotisme yang dipandang sebagai setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam pasal 5  UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme disebutkan bahwa Penyelenggara negara dituntut menjalankan tugas dan fungsinya secara sungguh-sungguh, penuh rasa tanggung jawab, secara efektif, efisien, bebas dari korupsi, kolusi dan nepostisme.
Berangkat dari perangkat-perangkat aturan yuridis normatif di atas, bila dikonstatir dengan fakta penyerobotan sebagian tanah/lahan Famai, maka Penulis dapat katakan dalam proses pengadaan tanah/lahan untuk proyek pembangunan tempat pemrosesan akhir di Lembur Kabupaten Alor–NTT patut diduga terindikasi adanya maladministrasi pelayanan publik dan bermuara pada dugaan adanya tindak pidana korupsi jika dilihat dari perspektif pasal 5 UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepostisme.
Bahwa argumen Penulis itu berdasarkan pada asumsi pertama, tidak ada transparansi Pemerintah Kabupaten Alor terkait penentuan lokasi pembangunan tempat pemrosesan akhir. Bahwa berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Alor No.2/2013 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Alor Paragraf 4 tentang Sistem Prasarana Pengelolaan Lingkungan pasal 21 ayat (4) huruf a, disebutkan ada 3 lokasi tempat pemrosesan akhir, yaitu Mali di Kecamatan Kabola, Kecamatan Lembur dan Kecamatan Pantar. Penulis mengabaikan kecamatan Pantar, namun mempertanyakan atas dasar studi kelayakan terhadap dampak kesehatan dan sosial kemasyarakatan yang seberapa akurat dan akuntabel sehingga justru Kecamatan Lembur yang ditetapkan sebagai lokasi tempat pemrosesan akhir padahal lokasi tempat pemrosesan akhir itu hanya berjarak 400–600 meter dari kawasan permukiman warga, dan lebih fatal lagi menyerobot sebagian tanah/lahan Famai yang notabene adalah tanah perkebunan di mana di atasnya dia bergantung hidup? mengapa bukan di Mali Kecamatan Kabola di mana wilayahnya lebih merupakan wilayah kering dan cocok sebagai tempat pemrosesan akhir?  ini sungguh memprihatinkan.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2021/08/14/sengketa-lahan-proyek-tpa-lembur-diadukan-ke-dprd-alor/
Komisi I DPRD Alor gelar RDPU dengan pelapor Yafet Famai dan terlapor Efraim soal sengketa lahan di TPA Lembur. Hasil Rapat yang digelar pada Rabu (18/8/2021) di kantor DPRD, Kalabahi Kota itu DPRD merekomendasikan masalah itu dikembalikan ke Dewan Adat, pemerintah Desa dan Kecamatan untuk diselesaikan secara adat dan kekeluargaan. Namun hingga kini hasilnya ternyata tidak diselesaikan.
Komisi I DPRD Alor gelar RDPU dengan pelapor Yafet Famai dan terlapor Efraim soal sengketa lahan di TPA Lembur. Hasil Rapat yang digelar pada Rabu (18/8/2021) di kantor DPRD, Kalabahi Kota itu DPRD merekomendasikan masalah tersebut dikembalikan ke Dewan Adat, pemerintah Desa dan Kecamatan Lembur untuk diselesaikan secara adat dan kekeluargaan. Namun hingga kini hasilnya ternyata tidak terselesaikan.
Kedua, tidak adanya transparansi anggaran. Terlepas dari proyek pembangunan tempat pemrosesan akhir tersebut adalah proyek Dinas PUPR Propinsi NTT, Pemerintah Kabupaten Alor harus secara transparan mengumumkan besaran anggaran peruntukan pengadaan tanah/lahan tersebut serta secara transparan pula mempublikasikan realisasi anggaran untuk pengadaan itu. Ini menjadi penting bila kita merujuk pada pasal 5 UU.No 29/1999 seperti tersebut di atas. Ketiga, adanya perbuatan melawan hukum berupa perbuatan pidana penyerobotan sebagian tanah/lahan Famai yang merugikan dia secara materil dan imateril.
Berdasarkan bentangan ketiga logika pikir atau argumen di atas, Penulis cendrung memaknai langkah Pemerintah Kabupaten Alor dalam menentukan lokasi tempat pemrosesan akhir di Lembur sebagai suatu kebijakan. Namun kebijakan tersebut justru menimbulkan kerugian materil dan immateril bagi Famai dan dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum, terutama hukum pidana terkait penyerobotan sebagian tanah/lahan Famai.
Bahwa jika kita merujuk pada  perspektif hukum administrasi negara, pada dasarnya kebijakan diskresioner kepala daerah dalam suatu institusi publik merupakan suatu kebebasan kebijakan (beleidsvrijheid) atau freies ermessen dalam tugas publiknya yang memiliki ruang geraknya tersendiri. Jika kita merujuk pada prinsip separation of functions ataupun separation of orgnism, maka kebijakan yang dihasilkan oleh institusi publik tidak dapat dinilai oleh hakim pidana. Bahwa bilamana terjadi maladministrasi  yang dilakukan oleh pejabat publik  atau pun keputusan publik, maka kewenangan peradilan administrasi dan tata usaha negara yang dapat menilai ada tidaknya detournement de pouvoir atau abuse of power tersebut.
Hans G. Nilson menegaskan bahwa maladministrasi dari akibat adanya kebijakan diskresi kepala daerah/ pejabat publik dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana (korupsi) manakala dalam kebijakan kepala daerah tersebut mengandung unsur kecurangan (fraud), adanya unsur benturan kepentingan (conflict of interest), adanya unsur perbuatan melawan hukum (illegality), maupun mengandung unsur kesalahan yang disengaja (gross negligence).
Berkenaan dengan parameter yang dikemukakan oleh Nilson, Andi Nirwanto, mantan Jampidsus Kejagung RI, menegaskan bahwa terbukti dan tidak terbuktinya keempat parameter itu dalam kebijakan kepala daerah, maka  dapat memicu konsekuensi hukum berbeda, pertama, jika tidak terbukti, maka ia hanya merupakan kealpaan, keteledoran, tidak profesional atau perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 1365 KUH Perdata atau pelanggaran disiplin dalam hukum administrasi. Dan ini masuk pada domein administrasi, etik dan perdata; kedua, apabila parameter di atas dipenuhi, maka perbuatan tersebut sudah memenuhi unsur pidana karena seluruh parameter negatif di atas bernuansa kesengajaan jahat (dolus malus) dan menimbulkan atau memperkuat unsur sifat melawan hukum (wederrechttelijkeheid ) formil maupun materil dalam hukum pidana.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2021/09/09/gagas-spot-wisata-baru-di-alor-untrib-optimis-ada-lonjakan-wisatawan-pasca-pandemi/
Bagi Penulis, untuk dapat mengkualifikasikan apakah kebijakan Pemerintah Kabupaten  Alor sebagai suatu tindak pidana korupsi terlebih dahulu harus dicermati apakah  telah terjadi perbuatan/tindak pidana yang didahului oleh  sikap bathin jahat (mens rea) dari Pejabat Publik Pemerintah Kabupaten Alor yang bersangkutan.
Bahwa kemudian apakah sikap bathin jahat (mens rea) itu telah diikuti pula dengan adanya perbuatan tercela (actus reus) sehingga terbentuk syarat-syarat pemidanaan yang jadi  delictsbestanddelen dalam suatu rumusan delik? Semua yang terkait substansi rumusan delik harus dicermati dengan seksama, ini penting mengingat apa yang pernah di wantiwanti (bhs. Jawa = dingatkan) oleh alm. Prof. Muladi, bahwa kejahatan korupsi adalah low visibility yang pelakunya dinamakan professional fringe violate, artinya perbuatan itu sulit terlihat karena biasannya tertutup oleh kegiatan normal rutin, yang melibatkan keahlian profesional dengan sistem organisasi yang kompleks.
Bilamana terbukti  kebijakan  pejabat publik Kabupaten Alor dalam penentuan lokasi tempat pemrosesan akhir adalah guna mencari keuntungan pribadi dari selisih budged anggaran dengan realisasi anggaran pengadaan lahan/tanah termaksud, maka itu merupakan indikator telah terpenuhinya unsur tindak pidana korupsi sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bagi Penulis, bilamana permasalahan terkait penyerobotan tanah/lahan Famai tidak segera  diselesaikan, maka Penulis khawatir keseluruhan  organ proyek dengan penganggaran APBN dalam proyek tersebut, baik Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran /Pejabat Pembuat Komitmen, UPL dan pelaksana proyek/kontraktor dapat terseret ke  dalam dugaan tindak pidana korupsi karena pengadaan lahan/tanah belum tuntas, pelaksanaan proyek terancam  tidak selesai sesuai schedule dalam  masa kontrak yang berdurasi 240 hari kalender dan yang paling krusial dugaan adanya tindak pidana korupsi dalam proses pengadaan lahan/tanah termaksud.
Bercermin Pada Kasus  Gardu Induk 150 KVA di PLN
(Suatu analogi dalam tindak pidana  korupsi)
Komisi I DPRD Alor gelar RDP dengan Kepala Desa Lembur Timur, Camat Lembur, Kepala Pertanahan Alor, Kadis Perumahan Alor, Kabag Hukum Alor, pada Rabu (18/8/2021) di kantor DPRD, Kalabahi Kota. Rapat itu membahas sengketa lahan TPA Lembur yang diadukan Yafet Famai. Sejauh ini DPRD belum mengeluarkan rekomendasi politik kepada Pemda soal penyelesaian sengketa lahan di proyek TPA Lembur.
Komisi I DPRD Alor gelar RDP dengan Kepala Desa Lembur Timur, Camat Lembur, Kepala Pertanahan Alor, Kadis Perumahan Alor dan Kabag Hukum Setda Alor, pada Rabu (18/8/2021) di kantor DPRD, Kalabahi Kota. Rapat itu membahas sengketa lahan TPA Lembur yang diadukan Yafet Famai. Sejauh ini DPRD belum mengeluarkan rekomendasi politik kepada Pemda terkait penyelesaian sengketa lahan di proyek TPA Lembur.
Dalam perkara tindak pidana korupsi di Dirjen Ketenagalistrikan Kementrian ESDM pada 2015 DIPA 2011-2013, PT. Perusahaan Listriik Negara (Persero) memperoleh anggaran sebesar  Rp. 62.508.969.000,- untuk pembangunan  Gandu Induk 150 KVA  Jatiluhur Baru dan  Gardu Induk 150 KVA  Jatirangon II.  Dalam proyek pembangunan dua  Gardu Induk tersebut, PT.PLN (Persero) menggunakan dua model anggaran, pertama, pengerjaan jaringan ditopang oleh anggaran APBN dengan organ APBN sesuai Perpres 54/2010. Kedua, pengadaan tanah/lahan lokasi pembangunan kedua Gardu Induk dibiayai oleh dana korporasi PT. PLN (Persero), dengan waktu pelaksanaan 360 hari kalender. Dalam paktek Anggaran APBN  DIPA 2011-2-013 telah dikucurkan namun proses pembangunan terhambat proses pengadaan tanah/lahan oleh Pemerintah Daerah, sehingga mengakibatkan adanya addendum terkait dengan sistem pengerjaan material terpasang sesuai schedule pengerjaan menjadi material onside (material dibeli dan disimpan di gudang PLN dengan diskon 20% per item) termasuk perubahan waktu dari DIPA 2011-2013/ annual menjadi ijin multi years.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2021/09/05/badan-bahasa-merevitalisasi-bahasa-retta-di-pulau-ternate-alor/
Bahwa semua perubahan terkait kontrak karya tersebut terjadi karena Pemerintah Daerah setempat yang dibebani tanggung jawab pengadaan lahan tidak mampu melakukan tugas dan tanggung jawab pelayanan publik dan cendrung dikategorikan sebagai maladministrasi pelayanan publik dan mengakibatkan tertundanya proyek pembangunan kedua Gardu Induk tersebut. Realisasi pengucuran dana APBN DIPA 2011-2013 telah dibayarkan namun negara belum memperoleh prestasi sesuai dengan isi kontrak karya dan menyeret keseluruhan organ anggaran APBN ke dalam perkara tindak pidana korupsi, temasuk direktur PT. Hyfemerrindo Yakin Mandiri. Kejanggalan yang muncul dalam proses persidangan perkara tersebut, walaupun kedua klient penulis tidak pernah diangkat dalam organ anggaran APBN, tetap terseret dalam perkara tindak pidana korupsi, padahal keduannya adalah senior manager yang menjalankan tugas dan fungsi sesuai standar operasional PT. PLN (Persero) bertanggungjawab langsung ke Direksi  PT. PLN (Persero). Keduannya hanya bertugas menyiapkan dokumen-dokumen korporasi sesuai permintaan General Manager PT. PLN (Persero) guna mendukung penyerapan anggaran pada DIPA 2011-2013 di Kementrian ESDM.
Bercermin pada kasus korupsi dalam pembangunan Gardu Induk di  PT. PLN (Persero) tersebut, maka Pemerintah Kabupaten Alor sebagai pihak dalam pengadaan tanah/lahan untuk tempat pemrosesan akhir tidak bisa mengelak dari tanggung jawab baik dari sisi adminitrasi  pelayanan publik maupun hukum, apalagi keseluruhan pembiayaan adalah bersumber dari APBN. Walaupun Pemerintah Kabupaten Alor bukan merupakan organ anggaran APBN berdasarkan Perpres 54/2010,  namun dalam praktek telah menggunakan anggaran APBN dalam pengadaan tanah/lahan dan justru bermasalah saat ini.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2021/09/09/andreas-hugo-parera-bantu-mahasiswa-untrib-beasiswa-kip-senilai-rp-15-miliar/
Bahwa dari aspek penggunaan anggaran untuk pengadaan tanah/lahan jelas Pemerintah Kabupaten Alor bertanggungjawab untuk itu,  dan bilamana proses hukum berlanjut, maka bukan tidak mungkin secara hukum akan dimintakan pertanggungjawabannya.
Dalam proyek pembangunan tempat pemrosesan akhir di Lembur, Alor –NTT, keseluruhan dana APBN telah dikucurkan Kementrian PUPR namun dalam proses pengadaan tanah/lahan terkait, namun yang terjadi justru Pemerintah Kabupaten Alor telah melakukan maladministrasi dan  diduga mengandung  perbuatan melawan hukum yang merugikan Famai.  Kebijakan Pemerintah Kabupaten Alor yang tidak transparan dalam pengadaan lahan terkait  realisasi anggaran dengan budged anggaran tersedia, pelaksanaan  study kelayakan dari aspek sosial dan kesehatan masyarakat yang tidak transparan dan kurangnya sosialisasi ke publik justru membuka pintu bagi penyelidikan dan penyidikan dalam dugaan tindak pidana korupsi yang  merugikan negara  di dalam proses pengadaan lahan/tanah termaksud.
Catatan yang penting untuk keseluruhan pengambil kebijakan di Pemerintahan Kabupaten Alor, segera selesaikan permasalahan tersebut secara baik, karena bila tidak maka banyak yang akan terzalimi dalam permalasahan ini terutama Famai dan kedua PT. Araya Flobamora Perkasa, dan tentunya semua masyarakat Alor yang kita cintai.
*Penulis adalah advokat
tinggal di Semarang.