Jejak Tradisi Makan Daging Tikus Suku Abui di Alor NTT

Tokoh adat Atengmelang Elias Padamai sedang peragakan cara menangkap Tikus menggunakan alat tangkap busur panah, Sabtu (3/11/2020) di Atengmelang.
Tokoh adat Atengmelang Elias Padamai sedang peragakan cara menangkap Tikus menggunakan alat tangkap busur panah, Sabtu (3/11/2020) di Atengmelang.

Kalabahi –

Kampung Atengmelang, Desa Lembur Tengah, Kecamatan Alor Tengah Utara, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT), terkenal memiliki beragam budaya dan hasil perkebunan.

Kampung kecil yang berada di lembah pegunungan pulau Alor ini menjadi bagian dari Suku Abui. Mereka memiliki salah satu tradisi yang cukup unik yaitu, tradisi berburuh Tikus untuk dikonsumsi dagingnya.

Tradisi berburuh Tikus itu sendiri merupakan bagian mata pencaharian orang Atengmelang yang sudah lama diwariskan oleh nenek moyang mereka secara turun temurun.

Cukup unik, ternyata di Kabupaten Alor NTT ada masyarakat yang hidup berburu Tikus untuk dikonsumsi dagingnya.

“Kami orang Atengmelang sejak dulu hidup makan daging Tikus. Kalau orang Atengmelang katakanlah dia belum makan daging Tikus, itu artinya belum lengkap jadi orang Atengmelang,” begitu kata tokoh adat Atengmelang, Elias Padamai kepada wartawan, Sabtu (3/11/2020) di Atengmelang.

Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/11/23/lendola-menuju-desa-digital/

Elias mengatakan, semenjak dulu nenek moyang mereka hidup berburu Tikus untuk dikonsumsi dagingnya. Tradisi itu diwariskan hingga sekarang. Sebab daging Tikus rasanya gurih dan lesat dan menjadi pangan lokal masyarakat Atengmelang.

Mereka menangkap Tikus dengan perangkap buatan yang dinamai Dak dan Maikong. Alat-alat itu cukup sederhana. Terbuat dari bambu dan tali. Bentuknya seperti busur. Selain itu ada juga alat busur dan panah yang khsusus dipakai berburuh Tikus.

Pada musim panen (Maret-April), masyarakat Atengmelang ramai membuat Dak untuk dipasang di kebun. Dak-Dak itu akan dipasang persis di lorong-lorong kebun yang biasanya dilewati Tikus.

Mereka mengetahui jalur perjalanan Tikus karena binatang itu sering meninggalkan jejak setelah makan hasil tanaman perkebunan (ubi, jagung dan padi) yang siap panen. Masyarakat Atengmelang menganggap Tikus sebagai hama pemakan hasil perkebunan.

Dak akan dipasang berjejer di jalur Tikus. Sekali pasang biasanya antara 10-20 Dak per kebun. Hasil penangkapan biasanya berjumlah 10-11 ekor dalam sehari.

Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/11/22/thresher-shark-conservation-champion-membuka-pendaftaran-praktisi-konservasi-laut-di-alor/

Dak berfungsi tidak saja memudahkan mereka dalam menangkap Tikus untuk dikonsumsi namun sekaligus mengurangi populasi hama tikus di kebun.

Selain Dak, ada pula perangkap Tikus namanya Maikong. Alat ini hanya khusus dipasang di halaman rumah atau pekarangan. Alat lainnya yakni busur dan panah khusus untuk berburuh Tikus di kebun maupun di rumah.

Tokoh Adat Atengmelang, Elias Padamai sedang peragakan cara memasang perangkap Tikus dari alat tradisional (Dak), Sabtu (3/11/2020) di Atengmelang.
Tokoh Adat Atengmelang, Elias Padamai (kiri) sedang peragakan cara memasang perangkap Tikus dari alat tradisional (Dak), Sabtu (3/11/2020) di Atengmelang.

Setelah Tikus ditangkap, mereka akan bakar bersihkan bulu-bulunya dan veses Tikus. Kemudian ada yang langsung konsumsi dalam bentuk daging bakar, ada pula yang rebus untuk dijadikan santapan lauk. Rasanya gurih dan lesat seperti daging ayam.

“Daging Tikus rasanya seperti daging ayam. Enak dan gurih. Kalau ada yang bakar meskipun jaraknya jauh kita bisa tahu aromanya, oh ini Tikus anak atau Tikus mai (betina) yang dibakar. Jadi dari aromanya kita bisa tahu ini Tikus besar atau kecil yang dibakar,” tutur Elias Padamai.

Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/11/21/kpai-tiba-di-alor-pantau-korban-persetubuhan-anak-di-bmkg/

Selama berburu, populasi Tikus tak pernah berkurang karena rantai ekosistemnya masih terjaga dengan baik. Mereka mengatakan, populasi Tikus akan punah bila hutan adat dibabat.

Untuk itu mereka tetap melestarikan hutan dan alam sebagai bagian penting menjaga ekosistem agar tradisi menangkap Tikus tidak punah dan tetap diwariskan pada anak cucu.

Menurut warga setempat, tradisi berburuh dan makan daging Tikus juga menjadi atensi Antropolg Amerika, Cora Du Bois. Du Bois adalah seorang antropolog budaya Amerika dan tokoh kunci dalam studi budaya dan kepribadian dan dalam antropologi psikologis secara lebih umum.

Teori itu lahir ketika Du Bois melakukan riset di kampung Atengmelang sekitar tahun 1932-1935. Kini teori budaya dan kepribadian tersebut tersebar luas di hampir seluruh universitas ternama di dunia. Riset di Atengmelang diulas dalam bukunya berjudul: The people of Alor (1994).

Baca juga: https://tribuanapos.net/2020/11/21/kapolres-alor-launching-perpustakaan-keliling-polisi-sahabat-anak/
Kampung Atengmelang Desa Lembur Tengah, terletak di lembah pegunungan Alor Tengah Utara. Kampung ini memiliki sekitar 200 KK penduduk dan memiliki potensi pertanian dan perkebunan yang menjanjikan. Namun akses jalan ke Desa itu masih buruk karena belum mendapat perhatian pemerintah dan DPRD Alor. (Foto: tribuanapos.net).
Kampung Atengmelang Desa Lembur Tengah, terletak di lembah pegunungan Alor Tengah Utara. Kampung ini dihuni sekitar 200 KK penduduk dan memiliki potensi pertanian dan perkebunan (kemiri, kopi, vanili, sirih pinang, sayur-mayur) yang menjanjikan. Namun akses jalan ke Desa itu cukup buruk karena belum mendapat perhatian pemerintah dan DPRD Alor. (Foto: tribuanapos.net).

Masyarakat Atengmelang mengenal Du Bois karena hingga kini bekas fonadasi rumah Du Bois masih kokoh berdiri di Atengmelang meski tidak terawat. Masyarakat berharap bekas rumah itu dibangun kembali untuk dijadikan Museum Mini sekaligus menjadikan obyek wisata baru.

Camat Alor Tengah Utara, Sabdi Makanlehi membenarkan ada tradisi berburuh dan makan daging Tikus di kampung Atengmelang. Sabdi menyebut tradisi itu sudah ada semenjak dulu sehingga perlu dilestarikan.

“Kalau berburu dan makan daging Tikus itu tradisi orang Atengmelang dan Abui sejak dulu. Di Atengmelang dan beberapa kampung tadisi itu masih terpelihara sampai sekarang. Ini budaya yang mesti kita wariskan. Sama kayak di Manado ada tradisi makan daging Ular. Memang unik jadi harus kita wariskan,” katanya.

“Kalau untuk pengembangan bekas rumah Cora Du Bois, kemarin kami sudah rapat dengan Kepala-Kepala Desa dan masukan itu dalam salah satu asset wisata. Kita harap pemerintah desa bisa support melalui dana desa nanti,” pungkas Sabdi.

Video ini adalah cerita tokoh adat Atengmelang, Elias Padamai mengenai cara menangkap dan berburuh Tikus di Atengmelang.

(*dm).