
Kalabahi –
Ratusan masa yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Hukum dan Demokrasi Alor (FMPHDA) menggelar aksi unjuk rasa di kantor Kejaksaan Negeri Alor, Provinsi NTT, Senin (3/1/2022).
FMPHDA menyebut penetapan tersangka Kepala Dinas Pendidikan Alor Alberth N. Ouwpoly dalam kasus DAK Swakelola Tahun Anggaran 2019 bukan semata-mata murni masalah hukum melainkan sarat politik menuju Pilkada Alor 2024.
Sebab Alberth Ouwpoly disebut-sebut bakal Calon Bupati Alor yang cukup fenomenal di kalangan basis masyarakat, ditunjang sejumlah prestasi yang diukirnya selama berkarier di birokrat. Alberth juga disebut-sebut menjadi figure yang bakal didukung Bupati Alor Drs. Amon Djobo dalam Pilkada Alor tahun 2024.
Aksi itu FMPHDA mempertanyakan status penetapan tersangka Kepala Dinas Pendidikan Alor Alberth N. Ouwpoly selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam kasus dugaan korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) Swakelola Tahun Anggaran 2019 senilai Rp 27 Miliar.
Menurut FMPHDA, Alberth N. Ouwpoly tidak melakukan korupsi sesuai tuduhan Jaksa. Ada sejumlah alasan yang mereka utarakan bahwa Alberth Ouwpoly tidak korupsi, di antaranya;
FMPHDA menilai dari sisi kebijakan Anggaran, Alberth selaku KPA hanya berwenang mengusulkan pengalihan transferan DAK Swakelola Tahun 2019 senilai Rp 27 Miliar kepada Bendahara Umum Daerah pada Dinas PKAD agar dana itu dialihkan ke Rekening Bendahara Pengeluaran Dinas Pendidikan.
Usulan Albert tersebut disebutkan FMPHDA bahwa itu sudah sesuai tugas dan kewenangannya selaku KPA DAK Swakelola Tahun 2019.
Sebab usulan tersebut tentu mengacu pada program DAK yang dilaksakan atas dasar pedoman hukum serta petunjuk teknis serta petunjuk operasional terkait, di antaranya:
Perpres Nomor: 141 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis DAK Fisik TA 2019. Permendikbud Nomor: 1 Tahun 2019 tentang Petunjuk Operasional DAK Bidang Pendidikan. LKPP Nomor: 8 Tahun 2018 tentang Pedoman Swakelola.
Landasan hukum lainnya yaitu, Keputusan Bupati Alor Nomor: 318/HK/KEP/2019 tentang Penetapan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama Penerima DAK 2019. Kemudian, SK Bupati Alor Nomor: 031/HK/KEP/2019 Tentang Penunjukan Bank Tempat Penampungan Rekening Kas Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Alor Tahun 2019.
Lalu ada pula Keputusan Bupati Alor Nomor: 029/HK/KEP/2019 tentang Penunjukan/Penetapan Kuasa Pengguna Anggaran dan Bendahara Pengeluaran dan Bendahara Pembantu Tahun 2019. Juga SK Kepala Dinas tentang Penetapan PPK, Tenaga Fasilitator Pendamping, dan Tim Pengawas.
“Seharusnya Jaksa berkoordinasi dengan Pak Bupati Alor mengenai SK Bupati ini,” tanya aktivis FMPHDA Buche Brikmar dalam orasinya di kantor Kejaksaan Negeri Alor.
Selanjutnya, jika usulan pemindahan dana DAK swakelola senilai Rp 27 Miliar dari KPA ke BUD tersebut ternyata tidak sesuai ketentuan maka yang berwenang melakukan verifikasi dan menolak usulan KPA Dinas Pendidikan adalah tim verifikasi keuangan pada Dinas Keuangan dan Aset Daerah (PKAD).
Para demonstran pun mempertanyakan mengapa usulan Alberth Ouwpoly selaku KPA Dinas Pendidikan disetujui oleh Tim Verifikasi Dinas PKAD.
Seharusnya hasil verifikasi dokumen oleh Tim Verifikasi Keuangan Dinas PKAD jika ditemukan bertentangan dengan Juknis Swakelola DAK 2019 dan sejumlah regulasi termasuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, maka idealnya usulan tersebut ditolak tim Verifikasi BKAD.
Para demonstran meminta Jaksa perlu mendalami mengapa usulan Alberth Ouwpoly selaku KPA DAK Dinas Pendidikan Alor Tahun Anggaran 2019 dijawab tim Verifikasi Keuangan dan dana DAK senilai Rp 27 Miliar itu berhasil dialihkan dari Rekening Bendahara Umum Daerah (BAU) ke Rekening Bendahara Pengeluaran Dinas Pendidikan Alor.
Selain itu, demonstran juga mempertanyakan dasar transferan Dana DAK Swakelola senilai Rp 27 Miliar dari Rekening Bendahara Umum Daerah ke Bendahara Pengeluaran Dinas Pendidikan Alor oleh Dinas BKAD.
Jika mengacu pada sejumlah ketentuan tersebut di atas maka transferan tersebut sudah sesuai dengan landasan hukum program DAK yang dilaksanakan atas dasar pedoman hukum serta petunjuk teknis serta petunjuk operasional terkait. Namun jika transferan tersebut bertentangan dengan regulasi menurut versi jaksa maka Bupati Alor Drs. Amon Djobo yang mengeluarkan Perbup dan SK tersebut dan Kepala BKAD Alor serta tim verifikasi keuangan daerah juga harus turut diperiksa.
“Dasar penyalahgunaan wewenang KPA dalam kasus DAK Swakelola itu di mana?” sebut Buche Brikmar.
Penjelasan FMPHDA tersebut sekaligus membantah alibi jaksa yang menggunakan dasar rujukan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Keputusan Bupati Alor Nomor 029/HK/KEP/2019 tentang Penunjukan/Penetapan Kuasa Pengguna Anggaran dan Bendahara Pengeluaran dan Bendahara Pembantu Tahun 2019, untuk mentersangkakan Alberth Ouwpoly.
Berdasarkan rujukan itu maka Jaksa menyebut, Dana DAK Rp 27 Miliar itu seharusnya ditransfer dari Rekening Bendahara Umum Daerah (BUD) langsung ke Rekening Sekolah penerima DAK Swakelola Tahun 2019, tanpa harus melalui Rekening Bendahara Pengeluaran Dinas Pendidikan.
Menurut Jaksa, pemindahan dana DAK Swakelola dari Rekening BUD ke Rekening Bendahara Pengeluaran Dinas Pendidikan ini diduga sengaja dilakukan KPA Alberth Ouwpoly supaya ia bisa mengatur dan mengendalikan keuangan/proyek-proyek DAK tersebut. Terkait bukti KPA ikut mengendalikan keuangan/proyek-proyek tersebut jaksa belum bisa pastikan karena masih didalami.
Jaksa juga menyebut, berdasarkan penyidikan, ada indikasi Alberth Ouwpoly menerima ‘Fee’ senilai 5-10% dari penyedia proyek DAK 2019 namun hal itu pun masih didalami Jaksa.
Selain itu, FMPHDA juga mempertanyakan dasar alat bukti kerugian negara yang dipakai Jaksa mentersangkakan Alberth Ouwpoly dan PPK Khairul Umam.
Menurut FMPHDA, belum ada laporan hasil audit BPK selaku lembaga negara yang berkompeten melakukan audit kerugian negara, namun jaksa telah mengumumkan bahwa akibat kebijakan Anggaran dari Alberth Ouwpoly tersebut telah terbukti merugikan keuangan negara.
Sebelumnya Jaksa mengatakan hasil perhitungan tim ahli sementara menemukan ada indikasi kerugian Negara di proyek DAK Rp 27 Miliar.
“Dasar kerugian negaranya di mana? Yang berhak melakukan audit kerugian keuangan Negara itu adalah BPK. Ini BPK belum melakukan audit tetapi jaksa sudah mengumumkan kalau Alberth Ouwpoly terbukti korupsi. Ini yang janggal menurut kami karena pelaksanaan DAK 2019 dengan total anggaran 27 miliar tersebut telah diaudit oleh BPK RI, tuntas tanpa cela dan Alor mendapatkan status WTP,” ujar Buche Brikmar.
FMPHDA juga mempertanyakan dasar mengapa BAP tersangka Alberth Ouwpoly belum diberikan kepada yang bersangkutan, padahal itu merupakan hak hukum dari tersangka.
“Kami minta Jaksa bekerja harus dalam koridor KUHAP. Jangan mentersangkakan orang baru cari alat bukti. Buktinya BAP tersangka saja belum diberikan kepada yang bersangkutan,” lanjut Buche.
Korlap FMPHDA Jitro Botpada, mempertanyakan keadilan hukum bagi masyarakat Alor. Jitro menilai penetapan tersangka Alberth Ouwpoly ini diduga terburu-buru dan ada indikasi sarat kepentingan politik. Hal itu dianggap tidak memberikan keadilan bagi masyarakat Alor.
Jitro pun membandingkan ada sejumlah kasus-kasus hukum dugaan korupsi lain yang dilaporkan masyarakat ke Kejaksaan Negeri Alor namun Jaksa tidak memproses dan terkesan tebang pilih dalam penegakan hukum.
“Kasus BANGGAR tahun 2013 yang jelas-jelas sudah ada alat bukti tapi jaksa belum tetapkan tersangka (penerima suap),” katanya.
“Kasus sumur bor Anggota DPRD Alor dan kasus dana desa yang masyarakat datang lapor di kejaksaan tapi semua itu tidak diproses. Dan masih ada banyak kasus-kasus lain yang mandek sampai sekarang. Di mana keadilan hukum? Kami ingin ada keadilan hukum di negeri ini,” teriak Jitro dalam orasinya.
Jitro meminta jaksa tidak tebang pilih dalam penegakan hukum melainkan semua kasus yang dilaporkan masyarakat harus diproses tuntas dan diumumkan ke publik supaya ada keadilan hukum di tanah Alor.
“Kalau kasus-kasus ini tidak diproses tuntas maka kami minta copot Kejari Alor (Samsul Arif). Jangan datang buat gaduh di Alor sini,” tegas Jitro.
Kajari Apresiasi Kontrol Publik
