Kupang –
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia atau PGI menyelenggarakan sidang tahunan Majelis Pekerja Lengkap (MPL) di Tahuna, Sulewesi Utara, 28-31 Januari 2022. Gereja Masehi Injili di Sangihe Talaud (GMIST) menjadi tuan rumah persidangan.
Ketua MS GMIT Pdt. Dr. Mery Kolimon menyatakan bahwa sidang MPL PGI kali ini menekankan pikiran pokok tentang Spiritualitas Keugaharian: Membangun Keadaban Publik demi Pemeliharaan Bumi sebagai Sacramentum Allah.
“Sepanjang persidangan 3 hal ditekankan, yaitu: spiritualitas keugaharian, keadaban publik, dan pemeliharaan bumi sebagai sacramentum Allah. Ketiga hal ini berkaitan,” kata Pdt. Mery Kolimon, Rabu (2/2/2022) di Kupang setelah menghadiri sidang MPL di Tahuna.
Berikut penjelasan Pdt. Mery Kolimon mengenai sejumlah pokok-pokok pikiran yang dihasilkan dalam sidang MPL PGI, melalui tulisannya tentang refleksi sidang MPL di Sulawesi Utara.
SIDANG MAJELIS PEKERJA LENGKAP PGI
DI KOTA TAHUNA, PULAU SANGIHE, SULAWESI UTARA
Oleh: Pdt. Mery Kolimon
Sidang Hybrid di Masa Pandemi
Selama 4 hari, 28-31 Januari 2022, PGI menyelenggarakan sidang tahunan majelis pekerja lengkap (MPL). Gereja Masehi Injili di Sangihe Talaud (GMIST) menjadi tuan dan puan persidangan. Oleh karena ancaman pandemi yang belum usai, sidang diselenggarakan secara campuran (hybrid) antara onsite dan online. Umumnya yang hadir secara fisik adalah majelis pekerja harian (MPH), para pimpinan sinode, dan pimpinan PGI Wilayah (PGIW). Para peserta tiba di Tahuna tanggal 27 Januari dan pulang tanggal 1 Februari. Dalam sidang ini, saya hadir sebagai anggota MPL mewakili Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Pertemuan secara fisik ini kami rindukan sebab sudah dua tahun PGI selalu bersidang dan berapat secara online, terutama menggunakan media Zoom.
Untuk tiba di Kota Tahuna, semua peserta luar Sulawesi Utara mesti melalui Kota Manado. Selanjutnya peserta difasilitasi panitia menuju Tahuna, baik melalui laut maupun udara. Peserta bisa memilih ferry cepat yang waktu tempuhnya 5 jam, atau ferry lambat dengan waktu tempuh 10 jam. Sedangkan penerbangan ke sana memakai pesawat Wings Air dengan waktu tempuh 45 menit. Karena keterbatasan daya muat pesawat, sebagian peserta ke Tahuna melalui laut. Syukur cuaca saat itu teduh. Teman-teman yang berlayar menikmati perjalanan mereka.
Panitia mengatur agar peserta menginap di dua hotel di kota kecil itu. Sebagian menginap di hotel baru, yang namanya Dialoog, agak di luar kota, di tepi pantai yang indah. Yang lain menginap di hotel Nasional, hampir di tengah kota. Persidangan diselenggarakan di Jemaat Imanuel, Tahuna. Sedangkan pembukaannya di jemaat Betlehem Tahuna.
Nusa Utara yang Subur dan Indah
Pulau Sangihe, yang kadang-kadang disebut juga Pulau Sangir, merupakan salah satu pulau di gugusan pulau di bagian paling Utara Indonesia. Pulau Sangihe, Talaud, Siau dan pulau-pulau kecil lainnya di sana sering disebut Nusa Utara. Pulau-pulau itu sangat indah dan kaya sumber daya alam. Saat pesawat yang membawa kami dari Manado hampir mendarat di Pulau itu, kami melihat hamparan luas nyiur melambai. Terlalu indah. Ketika tiba di bandara Naha, kami disambut orkerstra musik bambu kebanggaan masyarakat di Pulau itu.
Selanjutnya kami menuju ke bis dan mobil-mobil lainnya yang mengantar kami ke Kota Tahuna. Perjalanan dari bandara ke Kota Tahuna sekitar 30 menit. Perjalanan ke sana mendaki gunung yang cukup terjal sampai ke puncak dan selanjutnya turun ke Kota Tahuna yang terletak di lembah, di tepi pantai. Sepanjang perjalanan itu kami melihat alam yang sangat subur: bambu, pala, cengkeh, durian, rambutan, kelapa, dan banyak tanaman buah lainnya tumbuh subur di sepanjang jalan. Tak ada sama sekali lahan kosong. Tak ada tanda-tanda pembakaran lahan. Bahkan sampai ke bukit dan gunung, semua areal ditumbuhi tanaman produktif, terutama kelapa. Namun di beberapa titik ada longsoran yang cukup menguatirkan.
Setiap pagi bersama beberapa kawan saya menyempatkan diri berjalan kaki sekitar 50 menit. Kami memperhatikan keadaan rumah dan linkungan hidup masyarakat. Saya mendapat kesan mereka hidup sejahtera. Rumah-rumah mereka tertata rapi, halaman mereka penuh pohon buah-buahan dan bunga segar. Anggrek bermekaran, rambutan dan jambu air kemerahan di pohon. Kopra, pala, dan cengkeh adalah penghasilan utama yang membuat hidup mereka berkecukupan.
Kami diajak kawan kami Pdt. Ratna Lesewengan mampir ke rumah orang tuanya. Pendeta GMIH yang sedang studi S-3 di STT Jakarta itu rupanya orang Sangihe. Letak rumah mereka di bukit, di tepi teluk Tahuna yang indah. Dari halaman depan rumah mereka kita dapat melihat kapal masuk keluar pelabuhan. Dari jauh gunung Awu kelihatan. Rangkaian pegunungan seperti memagari teluk yang teduh. Di rumah Pdt. Ratna, kami dijamu durian Pulau Sangihe. Belasan buah durian tergeletak di lantai. Kami sangat menikmati durian yang lezat. Setelah makan dua buah saya akhirnya menyerah.
Makan Besar
Sepanjang persidangan peserta dimanjakan dengan makanan yang lezat. Berbagai sajian yang terbuat dari ikan, ayam, maupun babi guling dan babi rica selalu terhidang di meja. Kami saling mengingatkan untuk berhati-hati dengan makanan yang sangat lezat, namun berkolesterol tinggi di ruang makan. Ibu Pdt. Ery Lebang mengatakan bagian dari spiritualitas ugahari adalah juga menahan diri untuk hanya mengambil apa yang dibutuhkan oleh tubuh dan tidak makan berlebihan.
Pada hari Minggu, 30 Januari 2022, sebagian besar peserta mendapat tugas untuk memimpin kebaktian di jemaat-jemaat GMIST di sekitar Kota Tahuna. Saya mendapatkan kesempatan untuk memimpin ibadah di Jemaat GMIST Bahtera Hayat Kelongan Beha Baru. Saya ke sana bersama dengan Ibu Vesna dari Dana Pensiun PGI. Hari itu teks yang ditentukan adalah Mazmur 44:1-9. Saya merefleksikan ketekunan umat memelihara iman dalam berupa kesesakan yang diungkapkan bani Korah dalam Mazmur itu. Kita semua belajar agar dalam berbagai tantangan hidup seperti pandemi global, maupun dalam tantangan hidup lain seperti bencana Seroja di NTT, tetap bertekun dalam iman dan harap kepada Tuhan. Iman dan harapan itulah yang membuat kita kuat dan tidak gampang putus asa, melainkan selalu optimis untuk berjuang bagi pemulihan hidup
Selesai kebaktian saya dan Ibu Vesna diminta memperkenalkan diri. Saya memperkenalkan diriku dan Gereja Masehi Injili di Timor. Juga kusampaikan salam dari jemaat-jemaat GMIT untuk saudara-saudaranya di GMIST. Selembar selendang tenunan Timor kusematkan di bahu Ibu Pendeta. Tanda salam kasih dan hormat dari jemaat-jemaat GMIT. Kujelaskan pula tiga pokok pikiran sidang MPL PGI dengan bahasa yang sederhana: spiritualitas ugahari, keadaban publik, dan pemeliharaan bumi sebagai sacramentum Allah.
Lalu kami dijamu dengan “makan besar”. Meja panjang di aula jemaat itu penuh dengan makanan yang dibawa dari rumah masing-masing jemaat. Berbagai menu ikan (bakar, rebus, goreng, rica, pepes), ayam, tahu, singkong, talas, ubi jalar, ketupat, es kelapa muda, bermacam sayur seperti tumis paku, kangkung, daun singkong, bunga pepaya, dan banyak kue serta kacang goreng terhidang di meja. Ditambah juga dengan berbagai buah, terutama pepaya dan pisang. Semua bergembira dalam sukacita sidang MPL PGI. Selesai makan, kami didaulat menari bersama. Grup paduan suara yang disebut masamper kaum bapak dan orkestra musik bambu di jemaat itu memeriahkan suasana. Ibu Pdt. Erna yang melayani di sana mengatakan persekutuan jemaat sangat baik di tempat itu. Mereka suka berkumpul dan makan bersama, menyanyi dan bergembira bersama. Kawan-kawan yang memimpin kebaktian di jemaat lain juga memiliki pengalaman yang kurang lebih sama.
Di ujung persidangan kami diundang untuk merayakan pesta adat Tulude bersama semua masyarakat Kepulauan Sangihe. Pesta Tulude sendiri adalah pesta syukur panen dan pesta memasuki tahun baru, sekaligus untuk merayakan HUT pulau itu. Tahun ini dirayakan HUT yang ke-597. Di alun-alun rumah jabatan bupati digelar berbagai atraksi adat. DI tenda-tenda, masyarakat dari berbagai kecamatan, membawa berupa makanan untuk dinikmati bersama. Sepanjang hari cuaca cerah, namun menjelang malam hujan turun deras. Sebagian atraksi tari dan lagu tidak dapat ditampillkan.
Tiga Pokok Pikiran Sidang
Sidang MPL PGI kali ini menekankan pikiran pokok: “Spiritualitas Keugaharian: Membangun Keadaban Publik demi Pemeliharaan Bumi sebagai Sacramentum Allah”. Sepanjang persidangan 3 hal ditekankan, yaitu: spiritualitas keugaharian, keadaban publik, dan pemeliharaan bumi sebagai sacramentum Allah. Ketiga hal ini berkaitan (Lihat Pesan Sidang MPL PGI di Tahuna).
Spiritualitas Ugahari
Sejak beberapa tahun terakhir gereja-gereja anggota PGI berkomitmen untuk menghidupi spiritualitas ugahari. Sidang ini mengingatkan bahawa Pandemi Covid-19 makin menyadarkan kita betapa pentingnya berugahari. Pandemi sepanjang dua tahun ini mendorong umat manusia makin hidup hemat, bertenggang rasa dengan sesama, berbagi sumber daya untuk mampu mengatasi dampak pandemi, dan tidak merusak keseimbangan alam melalui eksploitasi yang tak terkendali. Seorang teolog yang menyampaikan pendalaman Alkitab di Sidang MPL PGI menghubungkan keugaharian dengan spiritualitas mapalus dari Sulawesi Utara yang menegaskan nilai hidup saling menopang.
Sinode gereja-gereja anggota PGI bertugas untuk menjemaatkan pemahaman berugahari ini dan mengajak umat untuk menghidupinya. Keputusan-keputusan sidang tidak boleh hanya tinggal sebagai dokumen mati, namun perlu terus disuarakan dan dihidupi. Terutama dalam konteks ekonomi kapitalis dan kecenderungan gaya hidup hedonis, para pelayan gereja dan segenap jemaart terpanggil untuk menghidupi kesederhanaan sebagai laku hidup yang meneladani Kristus.
Keadaban Publik
