Ahli: Diduga Ada Penyelundupan Hukum Agraria Terkait Hak Milik Tanah WNA di Alor

Pakar Hukum Untrib, Rudi Lema Killa, SH.,M.Kn
Pakar Hukum Untrib, Rudi Lema Killa, SH.,M.Kn

Kalabahi, –

Pakar Hukum Untrib Rudi Lema Killa, SH.,M.Kn menjelaskan, Warga Negara Asing (WNA) tidak berwenang memiliki hak milik tanah di Indonesia. Apabila terbukti ada WNA yang memiliki tanah dalam status Hak Milik maka Rudi menduga itu adalah penyelundupan hukum Agraria.

“Jika menyimak pemberitaan ada orang asing memiliki Hak Milik atas tanah di Indonesia maka hemat saya ada dua kemungkinan. Pertama, bahwa dalam praktek telah terjadi penyelundupan hukum di bidang Agraria. Misalnya dalam praktek perjanjian nomine/nominee arrangement atau pinjam nama. Dimana WNA meminjamkan uang kepada WNI (dibuatkan perjanjian utang piutang) kemudian WNI membeli tanah dengan status Hak Milik dan diberikan penguasaan penuh. Karena perjanjian utang piutang kepada WNA. Sepanjang Izin tinggalnya di Indonesia belum berakhir, WNA tersebut bertindak seolah olah itu Hak Miliknya,” katanya.

Rudi menambahkan, jika benar sertifikat Hak Miliknya atas nama WNA maka perjanjian jual beli tanah tersebut harus batal demi hukum. Hal itu berdasarkan ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).

Perjanjian Tanah Tidak Bertentangan dengan UUPA

Ketentuan itu menyatakan, suatu perjanjian sah apabila memenuhi kata sepakat, kecakapan secara hukum, suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Berkaitan dengan sebab yang halal maksudnya adalah tidak bertentangan ketentuan pasal 21 UUPA. Bilamana bertentangan maka perjanjian itu batal demi hukum.

Pasal 26 Ayat (2) UUPA; perjanjian jual beli atau hibah/tukar menukar/wasiat dari WNI kepada WNA menjadi dasar terbitnya sertifikat Hak Milik WNA maka Perjanjian itu batal demi hukum. Tanahnya jatuh kepada negara.

“Jadi hak yang tepat bagi WNA dan Badan Hukum Asing yang berhubungan dengan tanah hanya Hak Pakai. Jika obyek tanahnya adalah tanah Hak Milik maka WNA dan WNI pemegang Hak Milik membuat perjanjian di Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dan wajib di daftarkan dalam buku tanah pada kantor pertanahan,” ujarnya.

Rudi menerangkan, berkaitan dengan tanah, sumber hukum utamanya ada dalam UU No 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria (UUPA). Di dalam ketentuan Pasal 4 Ayat 1, atas dasar konsepsi Hak Menguasai negara, negara telah mengatur macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai orang atau badan hukum.

Pemilaan Hak

Hak tersebut memberi wewenang kepada subyek hukum (orang atau Badan Hukum) untuk mempergunakan tanah bersangkutan. Termasuk tubuh bumi, air dan ruang angkasa yang ada di atasnya sekedar berhubungan dengan penggunaan tanah.

Ketentuan ini menjadi jelas di dalam Pasal 16 UUPA yang telah melakukan pembagian hak-hak atas tanah. Yakni hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil dan beberapa hak lainnya yang sementara.

“Khusus mengenai Hak Milik. Di dalam ketentuan Pasal 21 Ayat (1) menyebutkan bahwa hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai Hak Milik. Artinya bahwa subyek hukum yang dapat memperoleh atas Hak Milik hanya manusia (orang orang Indonesia),” ujarnya, Minggu (8/12/2019) di Kalabahi.

Selanjutnya, di dalam ketentuan Pasal 21 Ayat (2) pada prinsipnya melarang juga badan-badan hukum mendapatkan Hak Milik atas tanah. Terkecuali yang diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 38 Tahun 1963 Tentang penunjukan badan-badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah yakni, Bank-bank Negara (pada umumnya berbentuk PT), Perkumpulan Koperasi-koperasi Pertanian, Badan-badan Keagamaan, Badan-badan Sosial atau Yayasan.

Tanah Aset Wisata Alor Dikuasai Asing?

Rudi menjelaskan, ketentuan hukum ini secara jelas dapat menempatkan subyek hukum mana saja yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah di Indonesia. Ketentuan tersebut membatasi Warga Negara Asing memiliki Hak Milik tanah di Indonesia termasuk tanah-tanah yang menjadi aset Pariwisata di Kabupaten Alor.

“Berkaitan dengan orang asing atau warga negara asing (WNA) dalam ketentuan UUPA No. 5 Tahun 1960, hanya dapat dimungkinkan untuk mendapatkan Hak Pakai. Berdasarkan ketentuan Pasal 42 UUPA bahwa Hak Pakai dapat dipunyai oleh WNI, WNA yang berkedudukan di Indonesia, BH Indonesia dan BH Asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia,” kata Dosen Fakultas Hukum Untrib itu.

Sebelumnya diwartakan, sejumlah pengusaha asing dari berbagai negara yang selama ini mengontrak lahan dan berusaha di kepulauan Alor, Propinsi NTT, diduga tidak membayar retribusi ke kas daerah.

Plt Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Alor Bernad Gen Al menyebutkan, para warga asing tersebut bahkan ada yang sudah membeli lahan di pulau-pulau kecil menjadi Hak Milik untuk berusaha Homestay dan Diving.

“Java Toda itu kan (lahannya) sudah dibeli oleh yang sementara mengelola. Oleh investor (Asing). Sudah jadi milik personal. Di Alam Wolwal juga begitu. (Tanah) di bagian bawah itu kan dia (Max) sudah beli dan itu memang dia punya. Itu dia punya hak paten (milik pribadi). Jadi itu kontrak bukan dengan pemerintah daerah tapi dengan masyarakat,” terang Bernad. (*dm).