Kalabahi –
Dr Fredrik Abia Kande menyebutkan APBD Propvinsi NTT di sektor pendidikan hanya sebesar 7% dari total 20% anggaran yang diwajibkan Undang-undang. Fredrik menilai dana sebesar itu menunjukan rendahnya komitmen Pemprov dalam meningkatkan mutu pendidikan menengah di wilayah 3T, NTT.
Hal itu dikemukakan Dr Fredrik usai ujian disertasinya dengan judul: Model Proses Kebijakan Pendidikan Menengah Berbasis Daerah Tertinggal. Fredrik studi doktoral di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Program Studi Manajemen Pendidikan. Ujian disertasinya disiarkan langsung dari kampus Untrib Kalabahi, Rabu (3/6).
Dr Fredrik menyebut angka 7% anggaran pendidikan ditemukan berdasarkan penelitian disertasinya di Provinsi NTT sejak tahun 2018. Mantan Rektor Untrib itu menilai kebijakan besaran dana 7% APBD NTT menunjukan bahwa Pemprov dan DPRD belum berniat memajukan pendidikan menengah di wilayah 3T khususnya di NTT.
“Murni APBD I itu sekitar 7 koma sekian persen. Jadi sebenarnya dari segi komitmen pendanaan pemerintah untuk bidang pendidikan ini masih rendah,” kata Fredrik usai ujian terbuka promosi doktor yang disiarkan langsung melalui aplikasi zoom, Rabu (3/6) di Kampus Untrib Kalabahi.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/06/03/fredrik-kande-raih-doktor-pertama-untrib-rektor-untrib-juga-bisa/
Menurutnya, Pemprov selama ini hanya mengklaim anggaran pendidikan dari pemerintah pusat yang dikucurkan ke NTT. Akumulasi klaim anggaran pusat tersebut disebutnya terbaca dalam dokumen APBD sebesar 17%. Namun demikian, bila dicermati maka sebenarnya anggaran Pemprov sendiri untuk pendidikan hanya sebesar 7% saja.
“Belum 20%. Sebenarnya yang murni dari APBD I itu tidak mencapai 17 koma sekian persen. Dia hanya bergeser 7%. Sisanya itu diklaim dari dana pusat. Jadi misalnya BOS yang sudah diklaim oleh kementerian itu sampai di Provinsi diklaim ulang lagi sehingga diakumulasi dengan APBD I mencapai 17 koma sekian persen. Padahal murni APBD I itu hanya sekitar 7 sekian % saja. Jadi sebenarnya kalau pusat sudah hitung ya tidak perlu dihitung lagi oleh Provinsi,” jelasnya.
Fredrik mengakui kebijakan APBD di sektor pendidikan sangat mempengaruhi peningkatan mutu pendidikan wilayah 3T di NTT. NTT sendiri ada 9 kabupaten/kota yang masuk kategori daerah berkembang dan mandiri, 13 lainnya masuk daerah tertinggal.
Penelitiannya itu juga ia menemukan bahwa kebijakan anggaran Pemprov belum spesifik pada kultur karakteristik wilayah di NTT. Pemprov kata Fredrik selama ini hanya mengadopsi kebijakan pendidikan dari pemerintah pusat.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/05/23/gmit-apresiasi-sejumlah-prestasi-rektor-untrib/
“Penelitian awal saya menunjukan bahwa alasan anggaran menjadi faktor yang mempengaruhi karena tidak ada kebijakan-kebijakan yang spesifik. Semuanya itu diadopsi atau diintrodisir dari pemerintah pusat. Padahal sebenarnya otonomi daerah memberikan kewenangan kepada Pemprov untuk membuat kebijakan-kebijakan yang bertumbuh pada karakteristik daerah. Nah ini yang belum muncul,” katanya.
Oleh sebab itu dirinya menyarankan Pemrov bisa mengembangkan model pendidikan yang berbasis pada spesifikasi dan keunggulan wilayah NTT, misalnya bidang perikanan dan kelautan, peternakan, pariwisata, pertanian lahan kering dan pengembangan budaya lokal.
Alumnus S1 FKIP UKAW itu menambahkan, informasi yang diperolehnya, saat ini Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat sudah membuka delapan sekolah baru namun itu bukan diistilahkan sekolah unggul.
“Memang Gubernur yang baru menurut informasi, sudah coba mengembangkan delapan sekolah tapi istilahnya bukan sekolah unggul, sekolah imbas. Baru berjalan setahun. Kita belum tahu intervensi dari segi ketenagaan, anggaran, kurikulumnya seperti apa. Apakah ada yang spesifik dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang non imbas itu kan kita belum tahu. Tapi saya kira baik kalau dia bisa memunculkan keunggulan-keunggulan NTT,” katanya.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/02/02/dirjen-risbang-nobatkan-untrib-kampus-terbaik-di-ntt/
“Jadi bisa ditambah satu lagi, pengembangan budaya local. Kita di NTT ini kan budayanya sangat multicultural. Saya kira model pengembangan sekolah yang berbasis budaya local ya budaya multicultural itu. Karena kita tidak ada satu budaya yang mayor. Kita sedikit-sedikit tapi banyak. Ini yang perlu dikembangkan,” ungkapnya.
Fredrik mengakui konsepnya itu sangat mustahil dilakukan sendiri oleh pemerintah. Karenanya ia mengajak komponen pemerintah, swasta dan masyarakat turut berperan membangun kemitraan berjejaring, melibatkan masyarakat local membuka sekolah berbasis keunggulan local.
“Model jaringan seperti ini kita belum punya. Itu juga masuk dalam saran disertasi saya. Justru Portugal sangat berhasil dalam mengembangkan pendidikan yang berbasis pada jaringan aktor-aktor atau masyarakat local. Tentu dari segi karakteristik masyarakat kita beda, tetapi musti ada jaringan yang dibuat untuk bisa memfasilitasi itu,” tutur Fredrik.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/05/23/dilantik-jadi-rektor-untrib-alvons-gorang-fokus-peningkatan-mutu-sdm/
Fredrik mengungkapkan di NTT ada dua daerah mempunyai peran sector swasta yang mendukung pendidikan, membuka sekolah unggulan baru. Kedua kabupaten/kota tersebut adalah Kota Kupang dan Sumba Barat Daya. Untuk Alor dan kabupaten lain di NTT, Fredrik mengakui peran sector swasta belum begitu maksimal membuka sekolah baru.
Selain itu, salah satu variabel yang menggambarkan pendidikan 3T di NTT adalah faktor ekonomi keluarga. Faktor ekonomi disebutnya juga sangat berpengaruh dalam pendidikan anak.
Penelitiannya, Fredrik menemukan tingkat partisipasi pendidikan anak ekonomi menengah ke atas lebih besar ketimbang anak ekonomi rendah.
Disinggung kebijakan Merdeka Belajar di sekolah dari Menteri Nadiem, Fredrik mengakui semangat tersebut tak bisa diterapkan sepenuhnya di semua daerah. Sebab ada daerah tertentu yang bisa disiplin menerapkannya, ada pula yang diberi kebebasan justru malah semakin tak terkendalikan. (*dm).