44 Juta Rakyat Indonesia Tidak Percaya Covid-19 Ada

Dr HANDRAWAN NADESUL
Dr HANDRAWAN NADESUL

Oleh: Dr HANDRAWAN NADESUL

Zaman Pak Harto dulu, ada kelompok yang tidak percaya kalau astronot Yuri Gagarin, maaf koreksi, Neil Amstrong, sudah menginjakkan kakinya di Bulan. Sekarang tak kepalang tanggung, 44 juta rakyat kita tidak percaya Covid-19 ada. Bukti gambar astronot turun ke Bulan masih bisa dilihat di televisi waktu itu sebagai bukti. Tapi tetap dianggap rekayasa. Apalagi virus Covid-19 yang perlu mikroskop berkekuatan besar untuk bisa melihatnya.

Sejatinya virus Covid-19 memang tidak terlihat mata telanjang. Bukti ilmiah, bahwa sosok Covid-19 ada, dan sudah diketahui pula sifat dan jenisnya, bisa saja ada masyarakat awam yang tetap tidak percaya Covid-19 ada, padahal ilmu pengetahuan tidak bisa bohong.

Menurut saya ini membahayakan, dan perlu segera diputar anggapan salah begini, karena masyarakat yang tidak percaya Covid-19 ada akan terjebak bersama kelompok fatalistik, kelompok yang tahu Covid-19 ada tapi cuek. Merasa yakin tidak bakal terkena.

Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/10/06/tentang-vaksin-covid-19/

Tetangga saya orang berpendidikan, strata ekonomi tinggi, tetap saja melakukan aktivitas normal lama, bukan normal baru, seolah bukan sedang pandemi Covid-19. Tak seorang angota keluarga bisa mengingatkan, atau menegurnya, bahkan tidak pula istrinya. Dan ini contoh buruk bagi yang sudah tidak percaya Covid-19 ada. Mereka semakin meyakini, walaupun cuek, buktinya sampai hari ini masih belum kena Covid-19. Tetangga saya itu sendiri setelah sekian bulan melakoni kehidupan normal lama, bukan normal baru, belum juga terkena, menambah keyakinannya, bahwa pilihan aktivitas hidupnya ternyata tidak membuatnya tertular Covid-19. Ia semakin yakin dengan menganggap benar pilihan salahnya.

Anggapan tersebut tentu tidak boleh ada. Tidak kena Covid-19 walau bersikap cuek, abai pada protokol kesehatan, bukan berarti selamanya tidak akan terkena Covid-19. Belum saja. Belum saja ketemu (batunya) kontak dengan pembawa Covid-19. Kita tahu pembawa Covid banyak berkeliaran di tempat publik, yang juga sama-sama belum tentu kasat mata selama belum sakit, atau tergolong OTG. Pembawa Covid-19 selama jangkitan belum mereda, ada di mana-mana. Bukan mustahil, bisa saja suatu hari ke depan tetangga saya itu berada di dekat mereka yang sama-sama berpikir Covid-19 tidak ada, atau yang sama-sama fatalistik itu.

Covid-19
Covid-19
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/10/06/meluruskan-persepsi-keliru-soal-covid/

Di antara yang fatalistik, yang merasa yakin tidak bakal tertular kendati tanpa mengindahkan protokol kesehatan, ada pula yang yakin, sangat yakin, kalau Yang Maha Pelindung, pasti melindunginya terhadap ancaman penularan Covid-19. Yakin kalau Yang Maha Welas Asih menjaganya dari risiko tertular Covid-19. Keyakinan ini sama berbahayanya,= bila tidak dilakukan koreksi anggapan salahnya.

Orang tertular Covid-19 itu berjenjang risikonya. Makin sering orang berada di luar rumah, di tempat publik, di area banyak pasien Covid-19, di zona merah, makin tinggi risiko tertularnya. Makin lama durasi orang berada di area terdampak, makin tinggi pula risiko tertularnya. Makin tidak mengindahkan protokol kesehatan, makin tinggi pula risiko tertularnya.

Persepsi risiko ini yang semua rakyat perlu insyafi. Kalau setelah sekian lama tanpa bermasker, tanpa menjaga jarak, dan tidak rajin cuci tangan, beranggapan tidak tertular, itu pasti bukan sebab yang lain, yang mungkin mereka kira, melainkan sebab kebetulan saja belum kena. Bahwa menjadi tertular itu soal probabilitas. Kebetulan saja belum terkena. Tapi risiko tertular tetap saja menghadang. Bahkan mereka yang serba berhati-hati, serba patuh protokol kesehatan, dan membatasi tidak keluar rumah pun masih bisa kena, misal apabila ada orang keluar masuk rumah, entah sopir, asisten rumah tangga, atau sekadar tukang sayur, atau pengantar paket di depan rumah. Ini yang dimaksud perlu menyamakan persepsi risiko. Bahwa penularan Covid-19 belum tentu semua bisa menduga.

Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/10/01/viral-ratusan-massa-membludak-di-expo-alor/

Bahwa seyogianya semua masyarakat perlu menginsyafi persepsi risiko yang merata sama. Bahwa sekadar melepas masker sejenak saja pun di ruang publik sebut di restoran atau warung makan, masih ada celah Covid-19 memasuki tubuh, misalnya. Sekadar makan bersama kendati dengan orang yang dikenal, dengan kerabat sendiri saja pun. risiko tertular tetap ada. Anak pulang bekerja menularkan orangtuanya di rumah, bukan kejadian yang jarang. Masih sangat banyak celah Covid-19 menganga di balik kelalaian masyarakat melindungi diri. Pilihan masker yang tidak tepat, cara pakai masker yang tidak benar, cara melepas masker, memadai jugakah jaga jarak di ruang tertutup kalau terbang aerosols bisa menempuh seradius 10 meter lebih?

Rakyat sebanyak 44 juta yang tidak percaya Covid-19 ada ini, kendala besar menyelesaikan pandemi di negeri kita. Jangankan sebanyak itu, puluhan orang yang masih abai protokol kesehatan, penularan masih akan terus berjangkit, sebagaimana awal Covid-19 berjangkit, dalam hitungan minggu sudah berderet ukur kenaikan kasusnya. Apalagi kalau puluhan juta yang abai, berarti mereka yang akan menjadi kluster akbar di masyarakat. Maka harap ini menjadi pemikiran pemerintah, perhatian Pak Luhut yang sekarang menjadi konduktor yang diminta Pak Jokowi untuk melakukan satu komando menyelesaikan Covid-19.

Salam sehat.

*Penulis adalah dokter senior, motivator kesehatan dan penulis buku kesehatan. Ia tinggal di Jakarta.