Oleh: Dr HANDRAWAN NADESUL
Saya bisa memahami kalau ada masyarakat kita, atau bahkan kalangan terdidik, atau siapa pun, yang masih belum bulat benar persepsinya terhadap hal-ihwal Covid-19.
Sahabat Daisy Irawan mengutip persepsi keliru itu bahkan dari seorang mahasiswa jurusan Biologi, dan saya menurunkan tulisannya di sini, dengan maksud meluruskan supaya tidak menambah kebingungan masyarakat. Misinformasi dan disinformasi ihwal Covid-19 bagaimanapun tidak menguntungkan derap sikap langkah kita menghadapi Covid-19. Kita memerlukan kebersamaan, untuk itu persepsinya tidak boleh keliru. Keberhasilan mengatasi Covid-19 butuh partisipasi penuh semua masyarakat, bukan sebagian.
Saya kutip postingan sahabat Daisy Irawan di bawah ini:
Temanku mendapat tulisan seperti ini dari mahasiswanya. Ini mahasiswa Biologi kalau nggak salah. Tulisan ini penuh dengan kesalahpahaman mendasar dari ujung sampai ujung.
Pertanyaanku, apakah ada yang dapat merekomendasikan textbook virologi, immunologi, dan medical diagnostic dasar, dalam Bahasa Indonesia, yang bisa dibaca anak ini (dalam bentuk pdf misalnya)? Kemungkinan yang salah paham begini bukan cuma 1 mahasiswa, tetapi banyak. Masyarakat umum apalagi.
Jika salah mohon dikomentari ya man teman supaya kita saling bertukar informasi… Dapat info dari teman mahasiswa tulisan ini …..
Apa iya kah?
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/10/02/anggota-dprd-ntt-rocky-winaryo-apresiasi-bupati-alor-gelar-expo-di-tengah-pandemi/
PENTING DI BACA
1. Rapid tes itu cek darah.. sedangkan covid-19 gak masuk ke darah
Rapid tes cuma cek antibodi reaktif / muncul atau non reaktif..
Bukan cek virus.
Jika antibodi muncul/reaktif dianggap ada virus atau bakteri.. Tapi gak tau itu virus/bakteri apa.. Itu sdh dianggap hasilnya positif.
Org flu kalo ikut rapid tes hasilnya kemungkinan positif krn antibodinya muncul..
Jd hasil rapid tes positif blm tentu kena corona.
Itu hanya menunjukkan antibodinya reaktif/muncul.
2. PCR tes pun hanya menunjukkan keberadaan/adanya virus tp gak bisa tunjukkan itu virus apa dan juga gak bs membedakan antara virus hidup dan virus mati akibat sdh di bunuh sama antibodi kita.
Tes PCR akan memberikan hasil positif jika ada virus, entah itu virus hidup atau virus mati..
Gak ada yang meninggal disebabkan MURNI HANYA krn virus corona..
Disebabkan krn terlalu bnyk bermacam² virus yg ada dlm tubuh shg antibodi kalah dan tidak mampu kalahkan virus yg terlalu bnyk dan bermacam² itu..
Jika ada ribuan yg meninggal itu menunjukkan sebelum adanya covid-19 banyak ribuan org sdh terjangkit virus..
Sehingga ketika kena covid kondisi semakin parah.. antibodi gak ngatasi lagi..
Jadi kemungkinan yg kata media bertambah bnyk yg kena diliat dari hasil rapid tes itu belum tentu kena covid-19.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/10/02/potong-kebun-jadi-alasan-bupati-percepat-tutup-expo-alor/
Sekali lagi rapid tes cuma mendeteksi antibodi seseorang muncul/reaktif apa gak..
Sedangkan orang flu aja antibodinya pasti muncul/reaktif..
Jika di rapid tes hasilnya juga bisa positif..
Jadi waspada boleh..
Takut juga boleh..
Tapi gak perlu berlebihan sampai ketakutan akut/depresi..
Sebab itu akan mempengaruhi imun kita..
Semisal Cotoh kasus:
Bbrp hari yg lalu ada org, wkt mlm tubuhnya panas.. besoknya sesak trs meninggal..
Ternyata org ini kena typus (makanya tubuhnya panas)
Tp dipikir pikir takut kena corona.. dia panik.. jatungnya berdebar kencang… sesak trs meninggal..
Jd meninggalnya krn serangan jantung
Hasil tes medis tidak ada virus corona maupun virus/ penyakit menular lainnya..
Meninggal krn serangan jantung.. kalo sakitnya kena typus..
Semoga seluruh rakyat indonesia semakin paham ttg covid-19 ini shg mindset/pola pikirnya berubah menjadi tenang dan positif.
#Tetap_tenang
#jangan_mudah_percaya_dg_medsos.
blokir semua postingan postingan menakutkan yg anda lihat.
smga semua di beri keselamatan.
Photo tes swab
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/10/02/kapolres-alor-minta-maaf-atas-insiden-dugaan-intimidasi-jurnalis-dailyklik/
Ini komentar saya:
1. Betul tes rapid itu yang diperiksa darah, walaupun dalam darah belum tentu ada virusnya, oleh karena yang diperiksa antibodi yang ada lantaran sudah terbentuk dalam darah sebagai akibat masuknya Covid-19 ke dalam tubuh.
Antibodi yang diperiksa bukan sembarang antibodi, melainkan antibodi spesifik terhadap Covid-19. Itu maka cara pemeriksaannya pun harus memakai zat khusus yang hanya dapat mengenali antibodi Covid-19, bukan terhadap antibodi yang lain, yang mungkin ada dalam darah tubuh yang diperiksa.
Dasar pemeriksaan ini bertolak dari kenyataan biologi bahwa setiap kali tubuh dimasuki oleh bibit penyakit apapun, akan terbentuk antibodi spesifik untuk menumpasnya. Ini bagian dari kerja sistem kekebalan (immune system). Maka kita mengenal ada pemeriksaan untuk tes DB, chikungunya, kuman lambung helicobacter pylori, dan banyak lagi tes untuk menguji apakah hadir antibodi atau zat immunoglobulin (Ig) terhadap infeksi tertentu yang hendak kita ketahui. Untuk keperluan itu dalam permintaan pemeriksaan darahnya ditulis IgM dan atau IgG terhadap infeksi apa, bukan antibodi Ig terhadap segala infeksi apa saja. Fakta biologi bahwa tubuh senantiasa merespons setiap kali dimasuki bibit penyakit (microbiologi) benda renik yang menginspirasi dilakukan imunisasi atau vaksinasi.
Dalam imunisasi, tubuh secara disengaja dimasukkan bibit penyakit supaya tubuh terpicu membuat antibodi terhadap bibit penyakit yang sengaja dimasukkan itu lewat vaksinasi, entah suntikan, atau diminum. Tentu bukanlah bibit penyakit utuh dan dalam jumlah sebagaimana terjadi kalau orang terinfeksi, melainkan bibit penyakit yang sudah dilemahkan (attenuated) atau bahkan sudah dimatikan, sehingga tidak sampai menjadikan orang yang dimasukinya menjadi terinfeksi, melainkan hanya terpicu memproduksi antibodi terhadapnya.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/10/01/kapolda-ntt-minta-expo-alor-ditutup/
Imunisasi menjadi fakta lain bahwa antibodi yang ingin kita bentuk dalam tubuh memang bersifat spesifik untuk penyakit tertentu apa, bukan untuk segala penyakit. Demikian pula nanti, vaksin Covid-19 diproduksi untuk memicu tubuh agar membuat antibodi terhadap Covid-19.
Tubuh kita setiap hari barang tentu bolak-balik sengaja atau tidak sengaja dimasuki aneka jenis bibit penyakit. Ada ratusan jenis virus, kuman, rickettsia, parasit yang berada di alam, di lingkungan, di hewan pembawa bibit penyakit, dan yang berada di tubuh orang lain. Tergantung seberapa banyak bibit penyakit memasuki tubuh, seberapa tangguh kekebalan tubuh, maka tubuh apakah akan jatuh sakit infeksinya, atau tidak jatuh sakit, namun tubuh hanya sebatas terpicu membuat antibodi terhadapnya. Baik tubuh yang sudah jatuh sakit maupun yang tidak sampai jatuh sakit, tubuhnya sama-sama membuat antibodi terhadap bibit penyakit yang memasuki tubuhnya itu. Demikian pula yang terjadi bila tubuh dimasuki virus Covid-19.
Ada antibodi yang umurnya pendek beberapa tahun saja, ada yang tetap ada sepanjang hayat. Cacar, campak (measles) sekali kena tidak bakal kena lagi atau kekebalan terhadapnya bersifat seumur hidup. Tapi yang lainnya hanya bertahan beberapa tahun saja. Itu maka kita mengenal imunisasi ulang pada DPT (difteria pertussis tetanus), TBC, Polio, karena kekebalannya tidak seumur hidup. Kekebalan yang diperoleh terhadap Covid-19 kita belum tahu berapa lama bertahan.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/10/01/viral-ratusan-massa-membludak-di-expo-alor/
Ihwal kekebalan terhadap suatu penyakit yang sama juga bisa berbeda kalau bibit penyakitnya berasal dari turunan (strain) yang berbeda. Misal apabila bibit penyakitnya ada beberapa strain, atau sudah berubah sifat (mutasi). Itu maka pembuatan vaksin pun terkendala oleh fakta ini, tergantung vaksin apa diproduksi berdasarkan bibit penyakit turunan yang mana. Bila terserang virus Covid-19 sudah muncul strain yang ganas seperti diberitakan di Malaysia (Strain D614G ditemukan Juli 2020), vaksin yang sedang diproduksi tidak mampu untuk mengebalkan tubuh terhadap turunan Covid-19 yang ganas ini.
Fakta biologis lainnya, bahwa tubuh yang sudah dimasuki bibit penyakit apapun, sistem kekebalannya menyimpan semua memori untuk mengenali siapa saja bibit penyakit yang pernah memasuki tubuhnya. Sehingga ini menerangkan apabila bibit penyakit yang sama kembali memasuki tubuhnya, dengan mudah tubuh segera membuat antibodi terhadapnya, dan orang batal jatuh sakit alias kebal terhadapnya. Semakin beragam bibit penyakit yang memasuki tubuh seseorang, semakin lengkap kekebalan tubuh yang terbentuk terhadap beragam infeksi yang pernah menyerangnya. Semakin sering terinfeksi, semakin banyak kekebalan pernah terbentuk dalam tubuhnya, sehingga orang ini ke depan semakin kebal terhadap sekian banyak infeksi. Namun kekebalan di sini tidak terhadap infeksi yang belum pernah dialami. Bila belum pernah terkena Covid-19 tentu belum kebal terhadap Covid-19, karena antibodi spesifik terhadap Covid-19 belum ia kenali. Bahwa orang yang hidupnya tidak higienis, tentu lebih sering terpapar bibit penyakit, sehingga untuk setiap bibit penyakit yang pernah masuk tubuhnya itu, terbentuk antibodi. Apakah ketika bibit penyakit memasuki tubuhnya membuatnya jatuh sakit atau tidak, antibodi akan terbentuk. Tergantung hukum biologis seberapa banyak bibit penyakitnya yang memasuki tubuh, seberapa ganas, dan seberapa tangguh kekebalannya, begitu status penyakit yang akan dialaminya.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/09/28/jelang-pembukaan-expo-hasil-swab-1-pasien-di-alor-masih-positif/
Apabila bibit penyakitnya yang memasuki tubuh berjumlah banyak dan ganas, tentu orang akan langsung jatuh sakit, dan bisa saja jiwanya terenggut. Orang dari negara yang bersih dan kehidupan tubuhnya steril, bila bertandang ke negara yang masih kotor, mereka mudah terserang infeksi perut kalau makan sembarangan, karena memang kekebalan tubuhnya yang steril terhadap bibit penyakit kurang bersih tidak mengenal paparan aneka bibit penyakit dari makanan-minuman (fecal-oral borne). Orang Singapura misalnya, bahkan hanya minum air mineral saja pun bisa diare, tapi kebanyakan orang kita makan nasi padang tanpa cuci tangan mungkin masih ada yang belum sampai diare lantaran sudah sering terinfeksi berulang. Namun tentu tidak demikian halnya tubuhnya terhadap Covid-19.
Kekebalan tubuh orang yang hidupnya jorok sekalipun, kekebalan tubuhnya belum mengenal virus Covid-19, sehingga belum terlindung terhadapnya. Hanya apabila orang pernah dimasuki Covid-19 saja, antibodi IgG yang akan melindungi tubuhnya terhadap Covid-19, kecuali apabila turunan Covid-19-nya dari strain yang berbeda. Itu pula dasar “terapi plasma” yang sekarang menjadi alternatif pengobatan pasien Covid-19, yakni memberikan infus plasma darah pasien yang sudah Covid-19, yang dalam darahnya sudah ada antibodi terhadap Covid-19 yang sudah berhasil menumpas Covid-19 yang pernah membuatnya jatuh sakit, sehingga menjadi sembuh.
Jadi sudah barang tentu tes rapid Covid-19 memang khusus untuk menangkap apakah dalam tubuh yang diperiksa sudah ada antibodi terhadap Covid-19 atau IgM, ataukah belum. Antibodi IgM menunjuk bahwa masuknya virus baru untuk pertama kali, sedangkan antibodi IgG menunjuk sudah pernah dimasuki virus. IgM Covid-19 bertahan sampai 21 hari setelah virus memasuki tubuh, sedang IgG sudah mulai terbentuk setelah 14 hari virus masuk. Itu berarti setelah 21 hari virus masuk, antibodi IgM sudah tidak ada lagi maka tes rapid IgM sudah negatif, yang ada antibodi IgG. Tes rapid positif setelah harike-21 itu positif terhadap antibodi IgG. Itu maksudnya pemeriksaan darah test rapis IgM selain IgG untuk menganalisis status infeksinya sudah sampai di mana. Apabila pemeriksaan dilakukan antara hari 14-21 setelah virus masuk, bila hasilnya positif, maka IgM maupun IgG keduanya positif. Baru setelah hari ke-21 hanya IgG saja yang positif.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/09/27/expo-di-tengah-pandemi-ujian-visi-alor-sehat/
Bila orang yang diperiksa hasil tes rapidnya negatif atau non-reaktif, berarti memang tubuhnya tidak dimasuki virus, sehingga tubuhnya tidak membuat antibodi. Masalahnya apabila tes rapid dilakukan sebelum hari ke-7 masuknya Covid-19, antibodi belum terbentuk lengkap untuk memberikan reaksi positif atau reaktif, sehingga apabila orang yang diperiksa memang sudah ada Covid-19 di tubuhnya, hasil tes rapid-nya masih negatif, dan ini yang disebut negatif palsu (false negative). Baru positif pada orang ini bila diperiksa setelah hari ke-7 masuknya Covid-19. Ini kelemahan tes rapid. Untuk itu perlu diperiksa PCR untuk menemukan langsung Covid-19-nya.
2. Tes PCR bertujuan menemukan langsung Covid-19 di tenggorokan dan atau rongga hidung karena di situ Covid-19 banyak hadir. Betul tes PCR tidak bisa membedakan apakah yang ditemukan Covid-19 atau jenasahnya saja. Tapi ini tidak penting secara klinis, oleh karena hanya merupakan pemeriksaan tambahan saja. Bila ini terjadi pada orang yang sudah positif Covid-19 setelah 14 hari rata-rata Covid-19 sudah mati, bila tes PCR masih positif itu menunjukkan bahwa PCR positifnya oleh jenasah Covid-19. Beberapa hari setelah klinis pasien Covid-19 sudah sembuh dan bila PCR masih positif, kemungkinan bukan oleh Covid-19 yang masih hidup, apabila secara klinis pasien sudah sembuh.
Kelemahan tes PCR masih perlu waktu sehingga tidak langsung memberikan hasil, dan itu tidak menunjukkan kondisi pada saat pengambilan spesimen apus swab itu atau real time (rt), maka bukan lagi sejatinya rt-PCR, melainkan baru beberapa waktu kemudian. Apa artinya ini? Bisa berbeda hasilnya bila pada saat diambil swab dengan hasil beberapa jam setelahnya, oleh karena orang yang diperiksa bisa saja sudah terpapar Covid-19 selama beraktivitasnya. Kecuali orang selama menunggu hasil PCR diisolasi. Dan kelemahan lain PCR, baru memberikan hasil positif paling cepat setelah 2 hari Covid-19 memasuki tubuh, setelah Covid-19 cukup banyak berbiak untuk memberikan hasil positif.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/09/27/sejumlah-fraksi-dprd-alor-tolak-expo/
Fakta ihwal Covid-19 masih tetap sebagian besar pasien menyembuh sendiri (self limitting). Hanya sebagian kecil menjadi sakit berat, dan kritis. Status sakit ringan, sedang, berat atau kritis ditentukan oleh seberapa banyak virus yang masuk (viral load) seberapa ganas virusnya, berapa lama durasi orang berada dalam area terpapar Covid-19 yang bukan saja ditulari lewat droplet cukup berjarak 2 meteran, melainkan microdroplets yang menjadi aerosols berjarak radius lebih 10 meter apabila ada pembawa Covid tidak bermasker, dan seberapa tangguh sistem kekebalan tubuh orangnya. Makin banyak dosis Covid-19 yang masuk, makin ganas Covid-19nya, dan makin lama durasi berada di area terpapar, dan semakin lemah kekebalan, semakin berat status sakitnya. Makin sedikit Covid-19 yang masuk, makin kurang ganas, makin sejenak berada di area terpapar, dan semakin tangguh kekebalan, makin ringan atau mungkin status tanpa gejala penyakit Covid-19nya. Matematikanya seperti itu.
Sebagian kecil saja, kasus Covid-19 mungkin kurang dari 5 persen yang berstatus sakit berat, dan kritis. Dan itupun dihuni oleh mereka yang sudah lanjut usia oleh karena sel orang lanjut usia (senescence cell) lebih rentan terhadap Covid-19, sehingga lebih banyak dan cepat sel tubuh yang runtuh dan tumbang oleh Covid-19 pada kelompok lansia, selain pada kelompok dengan penyakit penyerta (comorbid), serta mereka yang sudah ada masalah dengan sistem kekebalan tubuhnya.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/09/26/aktivis-kesal-30-anggota-dprd-alor-ke-luar-daerah-di-masa-wabah-virus/
Bahwa kematian yang terjadi akibat Covid-19, case mortality rate juga masih tetap di bawah 5 persen saja. Bahwa terkesan yang tewas begitu besar akibat Covid itu karena pemberitaan yang melebih-lebihkan dan melihat kasus Covid secara kurang proporsional, tidak menghitung ratio jumlah pasien dibagi yang tewas. Angka Covid di Indonesia juga kalau dibandingkan dengan populasi 271 jiwa, masih tidak lebih memprihatinkan dibanding negara Spanyol, Italia yang kecil populasinya, bahkan Amerika, yang jauh lebih banyak kasusnya. Dampak media sosial, dan kurang terang bulatnya informasi, menimbulkan kepanikan Covid tersendiri.
Serangan Covid-19 sendiri pada tubuh yang normal, dan status kesehatannya normal, akan menyembuh sendiri alih-alih sampai mematikan. Kematian Covid-19 lebih sebab komplikasi yang ditimbulkan. Orang depresi karena Covid, sehingga jantung berdebar kencang tentu tidak pernah terbukti dan masuk nalar medis bikin serangan jantung orang yang jantungnya normal.
Yang dapat kita lakukan selain protokol kesehatan dipatuhi teguh, pelihara dan rawatlah tubuh agar sekurangnya kekebalan tubuh kita tetap tangguh. Hidup sehat, hidup tertib-teratur, menu seimbang nutrisi lengkap, cukup bergerak, dan berpikir positif.
Bahwa kematian yang dilabel disebabkan oleh Covid-19 bisa saja kasus tumpang tindih dengan kasus lain, atau bisa jadi ada kenakalan pihak-pihak yang memancing di air keruh, untuk alasan yang memanfaatkan kehadiran Covid-19 untuk dalih lain.
Demikian yang bisa saya komentari termasuk sanggahan saya dari ilmu yang saya ketahui. Salam sehat. (*)
*Penulis adalaha dokter senior dan motivator kesehatan, sekaligus penulis buku kesehatan. Ia tinggal di Jakarta.