Kalabahi –
Dr. Fredrik Abia Kande dipercaya menyampaikan orasi ilmiah pada acara wisuda 259 Sarjana Universitas Tribuana (Untrib) Kalabahi angkatan IX tahun 2020, Rabu (28/10) di Aula Gereja Pola, Kalabahi. Judul orasi ilmiahnya: Model Proses Kebijakan Pendidikan Menengah Berbasis Daerah Tertinggal di Nusa Tenggara Timur.
Berikut ini materi orasi ilmiah Dr. Fredrik Abia Kande yang menggambarkan tantangan dan solusi pendidikan menengah di daerah 3T khususnya di NTT.
MODEL PROSES KEBIJAKAN PENDIDIKAN MENENGAH BERBASIS DAERAH TERTINGGAL DI NUSA TENGGARA TIMUR
A. PENGANTAR
Saya menyampaikan terima kasih kepada Rektor Universitas Tribuana Kalabahi (UNTRIB) atas kepercayaan bagi Saya untuk menyampaikan Orasi Ilmiah dalam Rapat Terbuka Luar Biasa Senat Universitas Tribuana Kalabahi (UNTRIB) dalam rangka Wisuda Sarjana Angkatan IX tahun 2020. Tentu ini merupakan suatu kehormatan bagi Saya dari inzan pendidikan di UNTRIB atas capaian studi dalam bidang manajemen pendidikan. Sesuai permintaan Rektor, penyampaian orasi ini berkaitan dengan substansi disertasi, yang mana telah Saya pertahankan dalam ujian akhir pada Juni 2020 lalu, juga telah ditulis dalam bentuk artikel dan dipublikasi pada salah satu Jurnal Internasional terindeks Scopus yakni pada International journal of advanced science and technology.
Oleh karena itu dengan senang hati Saya menerima kepercayaan tersebut untuk menyampaikan orasi ilmiah dalam kesempatan ini. Semoga orasi ilmiah ini memiliki nilai kontributif bagi pembangunan pendidikan di Indonesia pada umumnya dan Provinsi Nusa Tenggara Timur serta Kabupaten Alor pada khususnya.
B. RASIONAL
Negara merupakan entitas yang dihadirkan bagi rakyat melalui tanggung jawab politik. Tanggung jawab politik negara dilihat dari penggunaan kewenangan (authority) dan kekuasaan (power) untuk mewujudkan keadilan (justice) dan kesejahteraan (prosperity) bagi rakyat. Penggunaan kewenangan dan kekuasaan secara bijaksana merupakan manifestasi dari politik negara.
Di bidang pendidikan, penggunaan kewenangan dan kekuasaan negara untuk mewujudkan keadilan (justice), kesetaraan (equivalence), kualitas (quality), dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan politik pendidikan. “Politik pendidikan juga diharapkan dapat menghadirkan proses dialectica, liberating, empowering, proactive, dan imagination” (Suyanto, 2017). Nilai-nilai yang disebutkan terakhir memiliki keutamaan bagi kelompok masyarakat yang masih tertinggal dan belum berkesempatan memperoleh pendidikan yang layak.
Apalagi negara Indonesia yang termasuk ke dalam negara berkembang yang masih terus berjuang untuk mewujudkan keadilan dalam pembangunan, khususnya pembangunan pendidikan, juga yang menjadi perhatian dunia hingga saat ini. Sebagaimana Psacharopoulos & Woodhall pernah mengajukan pertanyaan tentang isu keadilan dalam konteks investasi pendidikan, “The question is whether the costs and the benefits are equally distributed among regions, and whether males and females, and different social, economic or groups, have equal access to education facilities?” (1986). Terutama di negara-negara berkembang yang masih sulit diatasi.
Itulah sebabnya politik pendidikan harus hadir untuk tujuan nan mulia itu. Terkait dengan politik pendidikan di Indonesia, Slamet (2014: 327) mengatakan, “Pendidikan di Indonesia di abad 21 dihadapkan pada pilihan-pilihan akibat perubahan-perubahan lingkungan strategis. yang kompleks, sukar diprediksi, komplikatif, labil, tidak pasti, turbulen, interconnected, hyperconnected dan bahkan interdependent, dan keterbatasan sumberdaya pendidikan. Oleh karena itu politik pendidikan harus hadir agar pendidikan Indonesia tidak terbawa arus perubahan lingkungan strategis yang tidak menguntungkan Indonesia. Untuk Indonesia Pancasila merupakan ideologi dan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan konstitusi sehingga politik pendidikan pun harusnya berpijak pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.”
Apa yang dikatakan Slamet terkait dengan tujuan dan dasar politik pendidikan, tentu membutuhkan penjabaran-penjabaran strategis dan operasional, apalagi pendidikan dihadapkan pada perubahan-perubahan global, antara lain dengan beragam penetrasi teknologi. Itulah sebabnya upaya mengejawantahkan politik pendidikan yang beradab memerlukan kebijakan-kebijakan yang tepat pula, yang dapat mengartikulasikan tujuan pembangunan bangsa dan negara.
Bangsa Indonesia pada satu sisi harus menampilkan jati diri ke-Indonesia-an dan di sisi lain harus menghadapi tuntutan globalisasi sehingga diperlukan rebalancing (seimbangulangkan). Caranya antara lain melalui kebijakan pendidikan yang jelas, tepat, dan terukur.
Kebijakan yang jelas, tepat, dan terukur tidak saja dilihat dari niat yang baik, akan tetapi harus baik juga dari segi rumusan dan implementasinya sehingga dapat memiliki dampak yang positif bagi kemajuan pendidikan. Harapan yang demikian memiliki makna imperatif untuk menjembatani pada dimensi praksis dengan memperhatikan derajat keefektivan, keefesienan, dan kepraktisan suatu proses kebijakan sehingga dapat memberikan manfaat bagi rakyat Indonesia.
Pemerintah sebagai regulator memiliki tanggung jawab menyiapkan kebijakan-kebijakan untuk mengatur jalannya pembangunan. Dalam bidang pendidikan, pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan mutu melalui berbagai kebijakan. Jika dahulu dikenal ungkapan “education for all”, namun sekarang dikenal ungkapan “quality education for all”. Tidak sekedar pendidikan untuk semua, tetapi juga kualitas pendidikan bagi semua. Pembangunan pendidikan yang menomorsatukan kualitas akan dapat mengakselerasi pembangunan manusia yang seutuhnya.
Harapan untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dan merata dalam pemenuhannya masih memperlihatkan disparitas antara pendidikan di wilayah perkotaan dan di wilayah pedesaan, antara pendidikan di Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), atau antara pendidikan di wilayah Jawa dan luar Jawa. Padahal secara nasional diharapkan kebijakan pendidikan dapat menjamin pemerataan kualitas pada satu sisi dan dapat memunculkan keunggulan pada sisi lain atau boleh dibaca sebagai kespesifikan yang berdaya saing nasional dan global. Itulah sebabnya dengan memperhatikan kondisi wilayah dan daerah di Indonesia yang sangat beragam dan spesifik membutuhkan sensivitas dalam melahirkan kebijakan pendidikan yang tepat secara nasional maupun lokal.
Oleh karena setiap daerah di Indonesia memiliki karakteristik dan kespesifikan maka kebijakan pun tidak bisa satu untuk semua. Dibutuhkan proliferasi kebijakan, terutama pada daerah yang termasuk dalam kategori tertinggal dari segi perekonomian; sumberdaya manusia, sarana prasarana; keuangan, aksesibilitas dan resiko kebencanaan.
Ketersebaran daerah tertinggal di Indonesia lebih banyak berada di Kawasan Timur Indonesia dibandingkan dengan Kawasan Barat Indonesia. Jumlah daerah tertinggal di Kawasan Timur Indonesia mencapai 88,70%, atau 55 dari 62 daerah tertinggal di Indonesia, dan Provinsi NTT menempati urutan kedua daerah tertinggal terbanyak setelah Provinsi Papua Barat. Dari 22 Kabupaten/Kota di NTT sebanyak 13 kabupaten masih dalam ketegori daerah tertinggal, yakni Kab. Manggarai Timur, Kab. Kupang, Kab. Rote Ndao, Kab. Lembata, Kab. Alor, Kab. Belu, Kab. Timor Tengah Selatan, Kab. Sumba Timur, Kab. Sumba Barat, Kab. Sumba Barat Daya, Kab. Sumba Tengah, Kab. Malaka, dan Kab. Sabu Raijua. Sedangkan 9 kabupaten/kota yang masuk dalam kategori daerah berkembang dan mandiri, terdiri dari Kab. Sikka, Kab. Ngada, Kab. Flores Timur, Kab. Nagakeo, Kab. Manggarai, Kab. Manggarai Barat, Kab. Ende, Kab. Timor Tengah Utara sebagai daerah berkembang, dan satu daerah mandiri yakni Kota Kupang.
Karakteristik daerah tertinggal di NTT merupakan “suatu fenomena yang bersifat multi-variabel, yaitu secara geografis (terisolasi dan sukar dijangkau), terserak sebagai konsekuensi daerah kepulauan, tertinggal karena rendahnya kemampuan ekonomi (pada level pendapatan PDRB dan PDRB per kapita, ketergantungan keuangan daerah yang tinggi dan tingkat produktivitas yang rendah), politik-pemerintahan (orbitasi) yang sulit dan kompleks dan rawan bencana, dan daerah perbatasan (Pandie, 2019).
Karakteristik daerah tertinggal memiliki penetrasi terhadap pendidikan baik akses maupun mutu. Indikator-indikator seperti Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM), Angka Partisipasi Kasar (APK), Jumlah anak putus sekolah, Harapan Lama Sekolah, Rata-rata lama sekolah, dan persentase SMA/SMK terakreditasi minimal B masih menunjukkan kondisi yang belum baik. Kondisi ini berkorelasi positif dengan pemenuhan Indeks Pembangunan Manusia NTT yang baru mencapai 63,73 poin (2017), masih berada di bawah IPM nasional.
Aspek tata kelola pun masih menunjukkan kondisi yang memerlukan perbaikan serius. Alih kelola SMA dan SMK dari kabupaten/kota ke provinsi tahun 2016 sebagai implementasi Undang-Undang Nomor: 23 tahun 2014 dan perubahannya), telah membawa implikasi pada pembebanan atau penambahan tugas pemerintah provinsi. Di sisi lain kebijakan pendidikan terkait dengan restrukturisasi OPD terkait oleh Provinsi NTT dalam kenyataannya belum dapat menjamin pelaksanaan urusan pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan menengah secara efektif.
Fenomena ini dijelaskan oleh Peters (2004: 51) bahwa, “Most governments do not use all the “tools” available in their tool kit. In addition, there is very little theory to guide governments trying to decide what tools they should use. Thus, a great deal of policy formulation is done by inertia or by intuition.”
Sebagian besar pemerintah tidak menggunakan semua “alat” yang tersedia dalam perangkat pemerintah. Selain itu, ada sangat sedikit teori untuk membimbing pemerintah dalam memutuskan alat apa yang harus mereka gunakan. Dengan demikian, banyak perumusan kebijakan dilakukan dengan terkesan asal-asalan atau hanya dengan intuisi.
Menyangkut anggaran pendidikan, sebagaimana dalam Neraca Pendidikan (2018) alokasi dari APBD murni Prov. NTT sebesar 17,75% dan dana transfer daerah sebesar 23,23% (minus BOS). Namun dari penelusuran peneliti ditemukan bahwa, data Neraca Pendidikan tersebut ternyata tidak menggambarkan angka riil APBD. Secara riil Pemerintah Provinsi NTT baru mengalokasikan 2,7% (T.A. 2016), dan di pihak lain mengklaim sudah mencapai 17,75%, karena mengikuti aturan yang dibuat Kemendagri yang mengklaim dana BOS dan Tunjangan-tunjangan Guru sebagai bagian dari alokasi 20% APBN/D. Sebenarnya jika telah dihitung di pusat maka tidak boleh dihitung 2 (dua) kali di daerah karena terjadi doble deeping. Jadi, secara riil belum ada komitmen pembiayaan yang kuat dari Pemerintah Provinsi NTT untuk urusan pendidikan.
Selain hal-hal yang dianalisis di atas, kondisi geografis dan topografis Provinsi NTT yang merupakan daerah kepulauan dan pegunungan juga menyajikan tantangan dan karakteristik tersendiri. Itulah sebabnya pembangunan pendidikan di daerah dengan karakteristik seperti ini perlu didekati dengan model kebijakan pendidikan yang spesifik pula.
Daerah dengan karakteristik tertinggal sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia juga dapat dikembangkan keunggulannya melalui kebijakan publik yang spesifik dan unggul. Tentu pendidikan sebagai bagian dari urusan publik (public goods) dapat mengembangkan keunggulannya melalui kebijakan yang unggul pula. Kebijakan yang unggul yakni “tidak satu kebijakan untuk semua, atau semua untuk satu, karena semua tidak satu” (Slamet, 2017).
Berdasarkan pada pemetaan dan analisis di atas maka penulis terdorong untuk mengembangkan suatu model proses kebijakan pendidikan menengah berbasis daerah tertinggal di Provinsi NTT. Dengan membatasi kajian pada: (1) Proses kebijakan yang mencakup tahap-tahap, dimulai dari penetapan agenda kebijakan, perumusan kebijakan, pengesahan kebijakan, sosialisasi kebijakan, pelaksanaan kebijakan, pengendalian kebijakan, dan keberlanjutan kebijakan pendidikan menengah berbasis daerah tertinggal di NTT. (2) Lingkup kebijakan meliputi jenjang kebijakan Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, Keputusan Gubernur, dan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan terkait pendidikan menengah berbasis daerah tertinggal di NTT. (3) Pendidikan menengah menunjuk kepada SMA dan SMK yang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (4) Proses kebijakan dimaksudkan untuk mengakselerasi peningkatan akses, mutu, relavansi, tata kelola, dan daya saing pendidikan menengah berbasis daerah tertinggal di NTT.
C. KEBIJAKAN PENDIDIKAN SEBAGAI KEBIJAKAN PUBLIK
Kebijakan pendidikan merupakan bagian dari kebijakan publik, atau merupakan public goods, karena pendidikan terkait dengan hajat hidup orang banyak. Pendidikan merupakan hak setiap warga negara untuk mendapatkannya. Itulah sebabnya kebijakan yang kena-mengena dengannya merupakan bagian dari kebijakan publik.
Menurut Kraft & Furlong (2005: 31), “kebijakan publik adalah tindakan yang diambil pemerintah sebagai respons terhadap masalah sosial.” Menurut Torjman
(2015: 1), “pertanyaan apa itu kebijakan? Tidak ada jawaban sederhana untuk pertanyaan ini. Namun kebijakan (publik) berkaitan dengan apa yang bersifat sehari-hari; makan, minum dan bernafas. Bagaimana menjaga kelangsungan itu, maka kebijakan publik harus hadir. Intinya kebijakan publik adalah bagaimana mengatur hal-hal yang mempengaruhi semua aspek kehidupan kita.” Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDCP), “Policy is a law, regulation, procedure, administrative action, incentive, or voluntary practice of governments and other institutions.
Definisi kebijakan publik bidang pendidikan menurut Slamet (2014: 2) adalah, apa yang dikatakan (diformulasikan, diputuskan/diadopsi) dan apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan. Yang dikatakan bisa berbentuk regulasi (Peraturan Menteri, Keputusan Direktur Jenderal, Peraturan Daerah, dan sejenis), perintah tertulis, perintah lisan, maklumat, dan sejenis).
Berdasarkan berbagai pengertian di atas dapat disintesakan bahwa, kebijakan adalah apa yang dipikirkan, dipertimbangkan, diputuskan (diadopsi), diucapkan, diperintahkan, dan dijalankan oleh pemerintah berupa peraturan, keputusan, prosedur, maupun praktek dengan tujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat agar terciptanya kepastian, kemanfaatan, keadilan, dan keberlanjutan hidup.
Kebijakan pendidikan dapat didefinisikan sebagai apa yang dipikirkan, dipertimbangkan, diputuskan (diadopsi), diucapkan, diperintahkan, dan dijalankan oleh pemerintah berupa peraturan, keputusan, prosedur, perintah, maupun praktek dengan tujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia Indonesia yang Pancasilais dan seutuhnya.
Sementara konsep proses kebijakan dapat dijelaskan bahwa, the term “policy process” suggests that there is some sort of system that translates policy ideas into actual policies that are implemented and have positive effects (Birkland, 2011: 25). Dikatakan pula bahwa, “policy process describes how policy is shaped by social, institutional, political, economic, and other contexts”. Menurut Jordan & Adelle (2012: 8) proses kebijakan dikonseptualisasikan sebagai serangkaian bagian atau tahapan yang meliputi: (1) problem emergence, (2) agenda setting, (3) consideration of policy options, (4) decision-making, (5) implementation, and (6) evaluation. Sementara Shiffman (2008) memahami proses kebijakan sebagai serangkaian tahapan yang meliputi: agenda setting, formulation, implementation, and evaluation.”
Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat disintesakan bahwa, proses kebijakan (policy process) adalah serangkaian tahapan kebijakan yang dimaksudkan untuk menghasilkan perubahan yang positif dalam masyarakat.
Selanjutnya dalam studi ini dilakukan kajian terhadap model-model proses kebijakan yang berguna sebagai kerangka konseptual dalam menjelaskan dan menglasifikasi proses kebijakan, baik pada level perumusan, implementasi maupun evaluasi. Menurut Gass dan Sisson (Dunn, 2008: 86), policy model are simplified representations of a problem situation. Policy model are constructions and reconstructions of reality (Dunn, 2008: 86).
Oleh karena yang dimaksud dalam studi ini adalah model proses kebijakan, sehingga konstruksi maupun rekonstruksi aspek-aspek dimaksud menunjuk kepada proses, atau rangkaian tahapan kebijakan. Itulah sebabnya dalam studi ini merujuk kepada 7 model proses kebijakan teoritik, yaitu model dari Dunn, Model Leoveanu, Model Dye, Model Nugroho, Model dari Lembaga Administrasi Negara, model sirkular dari Jann & Wegrich, dan model proses kebijakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011. Sementara yang menjadi grand theory dalam pengembangan model proses kebijakan pendidikan menengah berbasis daerah tertinggal adalah model The policy-making process has multiple cycles dari William N. Dunn, Understanding public policy dari Thomas Dye, dan model proses kebijakan lengkap dari Riant Nugroho.
Berdasarkan analisis grand theory dimaksud dapat disintesakan bahwa, model Dunn yang terdiri dari 5 tahapan selain dipandang cukup lengkap juga prosesnya melibatkan aktivitas auditing dan akunting dalam konteks pemerintahan, tidak cukup dengan fase evaluasi tetapi juga perlu didukung dengan proses auditing dan akunting. Kelemahan model Dunn adalah, saat kebijakan diimplementasikan tidak dikendalikan, yang ada justru pemantauan sebagai bagian dari prosedur analisis kebijakan, bukan proses kebijakan. Sehingga perlu dilengkapi atau diisi dengan mekanisme lain seperti pengendalian.
Sementara model dari Dye kelebihaannya mengikuti alur yang sistematis dan runtut sehingga sangat membantu pelaku kebijakan dalam melaksanakan proses kebijakan. Selain itu ada ruang partisipasi publik pada hampir semua tahapan proses kebijakan. Namun kelemahan model ini adalah belum nampak adanya implementasi uji coba (tanpa sanksi) untuk mengetahui kelebihan maupun kelemahan dalam pemahaman dan dalam implementasi suatu kebijakan. Selain itu belum terlihat bagaimana mekanisme untuk membuat suatu kebijakan bisa sustainable, terutama kebijakan yang berkaitan dengan agenda-agenda spesifik. Terutama untuk mengafirmasi daerah dengan karakteristik disadvantages area. Itulah sebabnya perlu diisi atau dilengkapi dengan mekanisme tambahan seperti implementasi uji coba sebelum dilaksanakan implementasi penuh dan perlu ditambahkan sustainability policy.
Begitu pula model dari Nugroho cocok diterapkan di Indonesia karena cocok dengan sistem ketatanegaraan yang ada. Namun kelemahan dari model ini adalah, kurang akomodatif terhadap proses kebijakan pada daerah-daerah khusus, atau daerah tertinggal. Bagaimana mengadvokasi daerah dengan karakteristik tertinggal (disadvantaged areas) yang memiliki permasalahan jauh lebih sulit dan rumit. Itulah sebabnya ketiga model ini dipilih sebagai grand theory dalam studi ini.
Bidang pendidikan sebagai bagian dari sektor publik juga diharapkan memiliki model proses kebijakan yang baik, tidak saja prosedur yang benar akan tetapi juga memiliki tujuan dan manfaat yang baik adanya. Misalnya untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dalam bahasa kebijakan secara nasional, sering digunakan istilah pemerataan (aksesibilitas). Istilah ini sekalipun memiliki kelemahan, di mana hanya dilihat dari pentingnya penyebaran pendidikan secara merata pada semua wilayah dan daerah dan belum sampai pada pemerataan kualitas pendidikan, akan tetapi tuntutan untuk memenuhi hak warga negara untuk menjangkau pendidikan yang layak harus direalisasikan. Dengan perkataan lain tidak sekedar education for all, tetapi juga quality for all.
D. KONSEP DAERAH TERTINGGAL
Daerah tertinggal (disadvantaged area) menunjuk kepada “people who are disadvantaged or live in disadvantaged areas live in bad conditions and tend not to get a good education or have a reasonable standard of living. “…the educational problems of disadvantaged children” (Collins Dictionary). Menurut Bratausumah (2016: 2) daerah tertinggal adalah “daerah yang memiliki indikator sosial ekonomi yang lebih rendah dari rata-rata nasional. Dokumen Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (Peraturan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 07/PER/M-PDT/III/2007), menjelaskan bahwa daerah tertinggal adalah “daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional.
Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat disintesakan bahwa daerah tertinggal merupakan bagian wilayah dalam suatu negara yang memiliki kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang kurang berkembang atau berada di bawah standard nasional.
Indikator daerah tertinggal meliputi: Indeks Pembangunan Manusia (IPM), ketersediaan sarana dan prasarana, tingkat pertumbuhan ekonomi, indikator sosial ekonomi lainnya (Bratausumah, 2006: 2). Sementara Berdasarkan pada Peraturan
Pemerintah Nomor 78 tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, terdapat 6 kriteria dan 29 indikator daerah tertinggal, meliputi:
(1) Perekonomian masyarakat dengan indikator persentase penduduk miskin, pengeluaran konsumsi per kapita. (2) Sumber daya manusia, dengan indikator angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah, dan angka melek huruf. (3) Sarana dan prasarana, dengan indikator persentase desa dengan jenis permukaan jalan utama terluas aspal/beton, persentase desa dengan jenis permukaan jalan utama terluas diperkeras, persentase desa dengan jenis permukaan jalan utama terluas tanah, persentase desa dengan jenis permukaan jalan utama terluas lainnya, persentase rumah tangga pengguna telpon, persentase rumah tangga pengguna listrik, persentase rumah tangga pengguna air bersih, persentase desa yang mempunyai pasar tanpa bangunan permanen/semi permanen, jumlah sarana dan dan prasarana kesehatan per
1.000 penduduk, Jumlah dokter per 1.000 penduduk, jumlah SD dan SMP per 1.000 penduduk. (4) Kemampuan keuangan daerah dengan indikator kemampuan keuangan daerah. (5) Aksesibilitas dengan indikator rata-rata jarak dari kantor desa ke kantor kabupaten yang membawahi, persentase desa dengan jarak ke pelayanan kesehatan > 5 km, rata-rata dari desa ke pelayanan pendidikan dasar. (6) Karakteristik daerah dengan indikator persentase desa gempa bumi, persentase desa tanah longsor, persentase desa banjir, persentase desa bencana lainnya, persentase desa di kawasan lindung, persentase desa lahan kritis, persentase desa konflik satu tahun terakhir.
Terdapat 3 kriteria dengan 4 indikator yang merupakan bagian dari pembangunan pendidikan, yakni kriteria sumber daya manusia dengan indikator rata-rata lama sekolah, angka harapan lama sekolah, dan melek huruf, kriteria sarana prasarana dengan indikator jumlah SD dan SMP per 1.000 penduduk, dan kriteria aksesibilitas dengan indikator rata-rata dari desa ke pelayanan pendidikan dasar. Ketiga kriteria dengan 4 indikator tersebut belum dipenuhi secara keseluruhan oleh daerah-daerah tertinggal tersebut. Sekalipun diakui bahwa kriteriakriteria tersebut baru berkaitan dengan aspek pemerataan dan akses pendidikan.
Mengapa terhadap kondisi daerah tertinggal perlu didekati dengan kebijakan pendidikan? Keberadaan suatu negara apalagi negara berkembang selalu memperlihatkan sisi ekstrim lain yakni tentang keberadaan daerah-daerah tertinggal (disadvantaged areas). Daerah tertinggal merupakan bagian wilayah suatu negara yang memiliki kondisi sosial, ekonomi, dan insfratruktur yang masih jauh tertinggal. Oleh karena faktor geografis dan berbagai kerentanan alam maka wilayah-wilayah tersebut disebut sebagai daerah tertinggal. Tak pelak dengan kondisi sosial budaya dari wilayah tersebut.
Sebagaimana studi yang dilakukan Lupton (2004) tentang School in disadvantaged area: Recognising context and raising quality, menunjukkan bahwa konteks daerah tertinggal memiliki dampak terhadap organisasi sekolah dan proses yang berlangsung, yang berbeda secara signifikan antara satu daerah dengan daerah lain. Manajer sekolah merespons dengan mengadaptasi desain dan proses organisasi. Namun, mereka terkendala dalam meresponsnya oleh karena dana yang terbatas dan hanya bersifat jangka pendek. Konteks yang menantang tersebut dan kendala pada respons sekolah secara bersama-sama ikut menurunkan kualitas. Itulah sebabnya peningkatan sekolah di daerah tertinggal tidak akan dicapai hanya dengan cara-caranya yang umum, tetapi hanya dengan kebijakan yang dirancang untuk daerah tertinggal dan peka terhadap kespesifikan daerah-daerah ini. Oleh karena itu disarankan agar kebijakan peningkatan sekolah dapat dikontekstualisasikan.
Penelitian di atas menjustifikasi pendapat Slamet (2017), bahwa tidak satu kebijakan untuk semua, karena semua tidak satu. Kebijakan merupakan instrumen yang sangat diandalkan untuk mengubah potret pendidikan pada daerah tertinggal.
Menurut Sutomo (2013: 70):
Pada dasarnya, masyarakat dalam suatu komunitas tertentu, walaupun dapat digeneralisasi beberapa karakteristik secara umum, akan tetapi tetap dapat dilihat variasi dan perbedaannya. Variasi yang ada dapat berupa perbedaan kondisi geografis, potensi yang dimiliki, dan perkembangan sosial ekonominya. Sehingga pendekatan pembangunan masyarakat dapat dibedakan menjadi dua: yang lebih menekankan pada generalisasi dan keseragaman di satu pihak dan yang lebih menekankan adanya perbedaan dan variasi yang ada pada lain pihak. Pada prinsipnya, kedua kutub pendekatan tadi didasarkan pada tingkat toleransi dan kesediaan mengakomodasi variasi yang ada terutama pada tingkat masyarakat lokal.
Suatu negara yang memiliki sistem pemerintahan terpusat dengan mengandalkan otoritas dan kewenangan pemerintah pusat tentu akan cenderung memilih pendekatan yang lebih seragam, apalagi kondisi geografis, serta sosial ekonomi dan politik negara tersebut cenderung relatif sama, one size for all. Namun tidak demikian bagi negara dengan sistem pemerintahan yang kebalikan dari yang di atas, tentu pendekatan keberagaman atau yang lebih variatif dipilih untuk digunakan.
E. BERBAGAI PENELITIAN TERKAIT
Persoalan kebijakan pendidikan tidak cukup dilihat pada konsep maupun teori yang mendasarinya, namun perlu dilacak pada hasil-hasil penelitian yang relevan. Oleh karena itu pada bagian ini akan dijelaskan dan dikaji hasil-hasil riset sebagai berikut.
Banyak penelitian tentang kebijakan pendidikan, namun pada umumnya penelitian kebijakan berkaitan dengan implementasi kebijakan baik secara global, nasional maupun di tingkat daerah. Untuk keperluan orasi ini penulis meringkas saja beberapa penelitian terkait. Aksakal & Kazub (2015), dalam penelitian tentang Comparison of adult education policies in Turkey and European Union, menemukan bahwa, tujuan umum dan arah kebijakan pendidikan di semua negara relatif sama, namun perbedaan substansial dapat dilihat pada skala prioritas dan pendekatan, metode dan instrumen yang digunakan untuk mencapai tujuan. Colclough & De
(2010), dalam penelitiannya tentang The impact of aid on education policy in India, menemukan bahwa adanya bantuan internasional cukup besar dan memengaruhi aspek implementasi kebijakan dan manajemen pendidikan, namun prioritas kebijakan pendidikan India tetap ditentukan sendiri. Pemerintah India – meski kurang mendapatkan pendidikan universal untuk anak-anaknya – berhasil menggunakan sumber daya dan keahlian eksternal dengan cara yang sesuai dengan tujuannya sendiri, sekaligus meminimalkan dampak eksternal pada pengembangan kebijakan.
Begitu pula Dias & Tomás (2012: 1092) dalam penelitiannya tentang Education and equity in semi-peripheral countries: Current trends in the field of priority education in Portugal, yang menemukan bahwa dua program dalam membantu sekolah-sekolah di Portugal mengatasi masalah aksesibilitas, yakni program “Domains for priority intervention” (TEIP), sebuah usaha publik yang menggambarkan pengembangan kemitraan dengan aktor lokal yang berbeda (otoritas lokal, asosiasi, perusahaan, lembaga sosial); dan Program EPIS (Entrepreneurs for social inclusion), semacam upaya mewadahi para pengusaha untuk kegiatan sosial), yang mendukung sekolah-sekolah dengan tingkat anak putus sekolah yang tinggi.
Aspek kebijakan pendidikan dapat dilihat juga pada dampak kebijakan, sebagaimana dalam studinya,“The Impact of education policy to country economic development” Dumciuvienea (2014) menemukan bahwa arah kebijakan pendidikan Eropa sangat terkait dengan tujuan strategis Uni Europe (UE): pertumbuhan ekonomi, kohesi sosial dan ekonomi, ekonomi berbasis pengetahuan dan daya saing. Perkembangan pengetahuan masyarakat membutuhkan cara baru terhadap penemuan kebijakan pendidikan Eropa dan menggabungkan cara-cara baru dalam memasok pengetahuan terkait dengan kebijakan lainnya. Penelitian ini memperlihatkan adanya kebutuhan akan formulasi kebijakan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat saat ini.
Merujuk kepada studi-studi yang diuraikan di atas, belum ditemukan penelitian yang secara khusus menfokuskan pada model proses kebijakan pendidikan bagi daerah-daerah tertinggal (disadvantaged areas). Itulah sebabnya studi ini ingin mengkaji dan mengajukan model proses kebijakan yang dapat memberikan alteratif baru, yakni bagaimana model proses kebijakan yang dipandang cocok untuk daerah tertinggal dengan karakterik yang unik tersebut.
F. PENDEKATAN DAN METODE
Kajian ini menggunakan pendekatan penelitian kebijakan dengan metode penelitian dan pengembangan (Research & Development Method) yakni ingin mengembangkan suatu model proses kebijakan pendidikan menengah berbasis daerah tertinggal di NTT. Model yang digunakan yakni model penelitian dan pengembangan dari Borg and Gall (2007).
- Pengumpulan Data dan Informasi
Tahap awal dilakukan pengumpulan data, informasi, teori, dan hasil penelitian terkait yang diperlukan dalam mengembangkan model proses kebijakan pendidikan menengah berbasis daerah tertinggal di NTT.
- Perencanaan dan Perancangan Model Awal
Tahap kedua dilakukan perencanaan dan perancangan model awal (preliminary of product) berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari kajian literatur dan hasil kajian terhadap model proses kebijakan pendidikan menengah di NTT.
- Validasi Model dan Revisi ke-1
Sesudah rencana penelitian dan rancangan model lengkap, tahap ketiga dilakukan validasi pakar (expert) dan revisi model awal. Validasi model menggunakan teknik Delph, yakni kepada pakar sebanyak 5 orang, yakni ahli kebijakan pendidikan, ahli manajemen pendidikan dasar dan menengah, ahli sosiologi pendidikan, ahli hukum tata negara, dan ahli administrasi publik (UNY dan Undana Kupang).
- Uji Coba Lapangan dan Revisi ke-2
Setelah rancangan model direvisi kemudian dilakukan uji coba model proses kebijakan pendidikan menengah berbasis daerah tertinggal. Uji coba dilaksanakan dengan cara uji pendapat dari para praktisi pendidikan pada level pemerintahan, yaitu dari pihak eksekutif dan pihak legislatif melalui forum Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan praktisi pendidikan pada level pemerintahan (eksekutif dan legislatif) dan pemangku kebijakan pendidikan. Hasil revisi dibawa ke FGD II bersama praktisi pendidikan pada level satuan pendidikan termasuk pengawas pendidikan menengah. Prosesnya sama seperti pada FGD I. Hasil FGD II selanjutnya direvisi untuk mendapat model akhir
- Implementasi Model dan Evaluasi
Sebenarnya model yang telah melalui uji pakar (expert judgement) dan uji praktisi harus segera diimplementasikan di lapangan. Namun mengingat model yang dikembangkan peneliti belum menjadi suatu instrumen resmi Pemerintahan Provinsi NTT yang memiliki dasar hukum, sehingga untuk tahap implementasi model tidak dapat dilakukan dalam pengembangan ini. Hal ini didukung oleh pendapat Sugiyono (2016: 40), “penelitian dan pengembangan dapat pula dilakukan dengan posisinya adalah melakukan penelitian tetapi tidak dilanjutkan dengan membuat produk dan tidak melakukan pengujian lapangan, hanya menghasilkam rancangan produk yang divalidasi secara internal berdasarkan pendapat ahli dan praktisi tetapi tidak dilakukan pengujian lapangan.”
- Penyebarluasan (disemination)
Penyebaran atau diseminasi hasil pengembangan Model “PRO JADI MERATA” dibagi dua kegiatan yaitu diseminasi kepada para pemangku kebijakan dan diseminasi kepada komunitas akademik.
G. PROSES KEBIJAKAN PENDIDIKAN MENENGAH DI NTT (MODEL EKSISTING)
Proses kebijakan pendidikan menengah (Model eksisting) di NTT menunjukkan bahwa, pada tahap penetapan agenda kebijakan, Perumusan kebijakan, sosialisasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan telah berjalan, akan tetapi masih terdapat berbagai kelemahan dan kendala.
Proses kebijakan pendidikan menengah di NTT berlangsung dalam 4 (empat) jenjang kebijakan. Pertama, proses kebijakan pada jenjang kebijakan Peraturan Daerah (Perda). Kedua, proses kebijakan pada jenjang kebijakan Peraturan Gubernur (Pergub). Ketiga, proses kebijakan pada jenjang kebijakan Penjelas seperti Keputusan Gubernur. Keempat, proses kebijakan pada jenjang kebijakan penjelas lainnya, yakni Keputusan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang model proses kebijakan pendidikan menengah di Provinsi Nusa Tenggara Timur di lingkungan: (1) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT, (2) Biro Organisasi Setda NTT, dan (3) Komisi V DPRD NTT, dengan menggunakan wawancara, observasi, dokumentasi, dan FGD ditemukan model eksisting (model yang telah ada). Model tersebut diberi nama model pertama (01), model kedua (02), dan model ketiga (03) yang masing-masing dapat dideskripsikan berikut ini.
1). Model pertama (01), yakni model proses kebijakan pada jenjang kebijakan peraturan daerah di bidang pendidikan. Model ini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang mencakup tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
2). Model kedua (02), proses kebijakan pada jenjang kebijakan Peraturan Gubernur terkait bidang pendidikan menengah, dimulai dari perumusan kebijakan, pengesahan yang terlebih dahulu harus melalui persetujuan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri RI), sosialisasi, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Penyusunan Rancangan Peraturan Gubernur tentang Pendidikan Menengah, dimulai dengan peran Biro Organisasi dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Pemkrasa membentuk Tim Penyusun Rancangan Peraturan Gubernur yang berasal dari unsur OPD.
3). Model ketiga (03), proses kebijakan pada jenjang kebijakan penjelas seperti Keputusan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Dimulai dari perumusan kebijakan, pengesahan, sosialisasi kebijakan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pelaksanaan. Model ini terlihat dalam proses kebijakan di tingkat Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Secara normatif model eksisting sebagaimana yang digambarkan di atas, akan tetapi secara empiris tidak selalu berbanding lurus. Oleh karena kerapkali masih mengabaikan dimensi proses dan hukum publik, kurang efisien, dan kurang mengakomodir social capital, dan karakteristik daerah tertinggal.
Berdasarkan model eksisting tersebut maka dibuat kerangka pikir untuk pengembangan model proses kebijakan pendidikan menengah sebagaimana pada Gambar 1.
H. MODEL AKHIR (MODEL TERUJI)
Pengembangan model dalam studi ini menghasilkan model akhir (model teruji/model temuan. Nilai-nilai kebaruan (novelty) dari model ini tidak terdapat pada model-model sebelumnya maupun model eksisting. Model baru memiliki spesifikasi sebagai berikut:
Nama | : Model Proses Kebijakan Pendidikan Menengah Berbasis Daerah Tertinggal, atau disebut juga dengan model “PRO JADI MERATA”. Akronim dari judul: Model Proses Kebijakan Pendidikan Menengah Berbasis Daerah Tertinggal, dengan 7 (tujuh) nilai kebaruan (novelty), yakni: tahapan proses kebijakan, input kebijakan, deskripsi tugas, agenda kebijakan afirmatif, implementasi ujicoba, pelibatan stakeholder, dan rekognisi satuan pendidikan. |
Konten | : Model proses kebijakan dengan tahapan meliputi: Penetapan agenda, perumusan kebijakan, pengesahan kebijakan, sosialisasi kebijakan, pelaksanaan kebijakan, pengendalian kebijakan, keberlanjutan kebijakan. |
Kegunaan | : Digunakan sebagai model alternatif untuk proses kebijakan pendidikan di daerah tertinggal. |
Perangkat | : Panduan Implementasi Model Proses Kebijakan Pendidikan Menengah Berbasis Daerah Tertinggal. |
Karakteristik | : 1) Model “PRO JADI MERATA” dikembangkan berdasarkan pada prinsip affirmative action dan prinsip acceleration. Prinsip affirmative action, yakni berupaya memromosikan kesetaraan individu dan masyarakat yang berada di daerah tertinggal melalui perlakuan istimewa. Prinsip acceleration, yakni percepatan pembangunan pendidikan pada daerah tertinggal melalui kebijakan-kebijakan spesifik. |
Visual dari model akhir sebagaimana pada Gambar berikut.
Model akhir (teruji/temuan) disebut berbasis daerah tertinggal mengandung pemahaman bahwa, dari 7 (tujuh) tahap proses kebijakan terdapat 6 (enam) tahap yang mendasari pada kespesifikan daerah tertinggal yakni, (1) tahap penetapan agenda, (2) perumusan kebijakan, (3) sosialisasi kebijakan, (4) pelaksanaan kebijakan, (5) pengendalian kebijakan, dan (7) keberlanjutan kebijakan. Pada Gambar 1 di atas, keenam tahap tersebut diberi kotak hitam.
I. NOVELTY MODEL AKHIR
Model proses kebijakan pendidikan menengah berbasis daerah tertinggal (“Model PRO JADI MERATA”) hasil uji coba ini memperlihatkan hasil yang berbeda dibandingkan dengan model awal (model hipotetik), model empiris (model yang dipraktikan), dan model teoritis (model yang dikembangkan para ahli). Model akhir memiliki 7 (tujuh) nilai kebaruan (novelty) yang dapat diterapkan dalam rangka mengakselerasi peningkatan akses, mutu, dan daya saing pendidikan di daerah tertinggal, sebagai berikut:
1. Tahapan proses kebijakan, untuk menjamin sustainability kebijakan pendidikan menengah di daerah tertinggal. Jika pada model empiris dan teoritis terdapat tahap penetapan agenda, perumusan kebijakan, pengesahan, sosialisasi, implementasi, monitoring dan evaluasi, dan penghentian maka pada model yang ditemukan mengalami pengembangan, yakni pada tahap monitoring dan evaluasi diganti dengan tahap pengendalian yang mencakup sub tahap pemantauan/pengawasan, pengevaluasian, dan pengganjaran. Selanjutnya pada tahap penghentian (termination) diganti dengan tahap keberlanjutan (sustainability) oleh karena mempertimbangkan karakteristik dan kespesifikan daerah tertinggal. Tahap ini sebagai anti tesis dari tahap penghentian kebijakan mengingat karakteristik permasalahan pendidikan di daerah tertinggal membutuhkan suatu kontinuitas kebijakan, terutama dari segi agenda-agenda kebijakan afirmatif sampai daerah tersebut dapat dientaskan dari tertinggal menjadi berkembang dan mandiri. Pengembangan tahapan ini semata-mata dimaksudkan untuk mengafirmasi pendidikan di daerah tertinggal.
2. Input kebijakan, untuk mengakomodir kespesifikan permasalahan dan potensi daerah tertinggal. Di mana dari 3 (tiga) input yang umumnya dirujuk sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor: 23/2014, seperti kewenangan urusan daerah, Perintah Peraturan Perundang-Undangan (PUU), dan aspirasi masyarakat, namun peneliti menambahkan 2 input baru yakni kespesifikan daerah tertinggal dan kinerja kebijakan sebelumnya. Sekalipun menurut anggota Komisi V DPRD NTT, selama ini yang lazim dipraktikan yakni hanya kewenangan urusan dan perintah PPU.
3. Deskripsi tugas tim perumus di lingkup pemerintahan, yakni untuk meningkatkan sensitivitas dan tanggung jawab pemerintahan provinsi terhadap permasalahan pendidikan di daerah tertinggal. Di mana pada tahap penetapan agenda dan tahap perumusan kebijakan. Deskripsi tugas pada tahap penetapan agenda, dimulai dari tim perumus pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, di mana pada jabatan Kepala Bidang Pembinaan SMA dan SMK ditambah dua tugas, yakni “Bertanggung jawab sebagai pemrakarsa ide kebijakan (keputusan) di bidangnya”; dan tugas “Perencanaan operasional, pengendalian dan pembinaan sekolah menengah hendaknya memperhatikan kespesifikan daerah tertinggal”. Pada Biro Organisasi Setda NTT ditambah satu tugas, yakni “Bertanggung jawab atas penyusunan, pemantauan, dan pengendalian kebijakan pemerintah daerah di bidang organisasi”. Pada wewenang ditambah “Penyusunan kebijakan pemerintah daerah di bidang organisasi perlu mempertimbangkan kespesifikan daerah tertinggal”; wewenang “pelaksanaan koordinasi dengan organisasi perangkat daerah (OPD) untuk penyusunan kebijakan di bidang organisasi.”
4. Agenda kebijakan afirmatif, yakni untuk Mengafirmatifkan kebijakan pada daerah tertinggal dalam rangka mempercepat akses, mutu, dan daya saing pendidikan menengah. Di mana, dalam hal akses pendidikan ditambah tiga agenda yakni, berkaitan dengan PPDB yang menetapkan zonasi menggunakan jumlah SMP pendukung selain menggunakan wilayah kecamatan yang diatur oleh pemerintah. Selanjutnya pengembangan indikator dari kriteria aksesibilitas pada Perpres RI Nomor 131 tahun 2015, pasal 1 dan 2, yang menyebutkan bahwa, “daerah tertinggal adalah daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional, dari segi perekonomian, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, keuangan daerah; aksesibilitas; dan karakteristik kebencanaan. Pada kriteria aksesibilitas disebutkan dengan indikator: “rata-rata dari desa ke pelayanan pendidikan dasar”. Bagian ini ditambah “rata-rata dari desa ke pelayanan pendidikan menengah”, dalam rangka mengafirmasi pendidikan menengah di daerah tertinggal.
Menyangkut aspek mutu pendidikan ditambah agenda “pengangkatan dan pengelolaan guru kontrak provinsi berbasis daerah tertinggal (afirmasi); kesejahteraan pendidik (kontrak daerah) (afirmasi); bantuan operasional sekolah daerah (BOSDA Provinsi) (afirmasi); dan Pendidikan Profesi Guru (PPG) Berbasis Daerah Tertinggal (afirmasi). Menyangkut aspek daya saing pendidikan ditambah agenda “Ketersediaan sekolah berbasis kespesifikan dan keunggulan lokal daerah tertinggal, seperti pertanian, perikanan dan kelautan, pariwisata, peternakan, dan pengembangan budaya lokal; dan keselarasan bidang studi SMK dengan kegiatan utama ekonomi di daerah tertinggal.”
Menyangkut aspek tata kelola ditambah agenda “Restrukturisasi kelembagaan birokrasi pemerintah agar memenuhi niliai keefektivan, keefisienan, dan kesinergisan sesuai dengan konteks daerah tertinggal, di antaranya penetapan UPT atau Cabang Dinas Pendidikan dan Kabudayaan di Kabupaten; partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan publik; dan deregulasi peraturan daerah yang mengafirmasi kespesifikan daerah tertinggal (afirmasi)”; serta kemitraan dan sinergi berbasis aktor (masyarakat) daerah tertinggal (otoritas lokal, asosiasi, lembaga sosial) dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan (afirmasi).
5. Implementasi uji coba (tanpa sanksi), yakni untuk mengetahui kelemahan dalam pemahaman dan pelaksanaan suatu kebijakan pendidikan menengah. Di mana, implementasi kebijakan tanpa sanksi (masa uji coba) dengan jangka waktu selama 6 bulan sampai 1 tahun. Pada model empiris langkah ini tidak ada, oleh karena pemerintah berpandangan bahwa, suatu kebijakan telah didahului dengan kajian, selain itu oleh karena tidak ada rujukan peraturan perundang-undangan yang mewajibkan dilaksanakannya “uji coba tanpa sanksi”. Langkah ini dimaksudkan untuk mengetahui kelemahan dalam pemahaman dan pelaksanaan suatu kebijakan.
Langkah implementasi uji coba dilanjutkan dengan langkah penyempurnaan kebijakan (policy refinement), dilaksanakan dengan perbaikan atau penyempurnaan kebijakan apabila diperlukan sebagai hasil dari implementasi percobaan. Setelah langkah implementasi uji coba baru dilanjutkan dengan tahap implementasi penuh, yakni implementasi kebijakan pendidikan dengan sanksi dilakukan setelah masa uji coba selesai disertai pengawasan dan pengendalian.
6. Pelibatan stakeholder kebijakan dalam perumusan kebijakan pendidikan, yakni untuk mendemokratiskan proses kebijakan, dan mencegah praktik “korupsi kebijakan”. Di mana, ada penambahan pihak LPMP Provinsi, Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah Provinsi, Perguruan Tinggi LPTK, Lembaga swadaya masyarakat yang konsern di bidang pendidikan; dan unsur Yudikatif. Sebelumnya pada model empiris telah ada beberapa stakeholder yang dilibatkan namun belum melibatkan pihak-pihak yang disebutkan di atas. Pelibatan pihak-pihak dimaksudkan bertujuan untuk membangun pemahaman publik (public awareness) terhadap rencana munculnya peraturan daerah pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, serta dalam rangka mendapatkan verifikasi secara sosial, politik, dan hukum dari kelompok masyarakat yang terkait langsung. Khusus untuk pelibatan unsur yudikatif untuk menghindari apa yang oleh Hartono (2016: 211) disebut sebagai “korupsi kebijakan atau dalam perspektif kriminologi termasuk kualifikasi “kejahatan kera putih” (white collar crime).
7. Adanya rekognisi dari satuan pendidikan, yakni mendemokratiskan proses kebijakan dan meningkatkan rasa memiliki terhadap kebijakan pendidikan menengah. Di mana, model proses kebijakan yang dikembangkan peneliti telah mendapatkan pengakuan dari pihak kepala sekolah dan komie sekolah melalui metode Delphi dan FGD.
Berdasarkan penjelasan ketujuh nilai kebaruan di atas maka dapat disimpulkan bahwa model “PRO JADI MERATA” merupakan suatu model yang memiliki tingkat keefektivan, keefesienan, dan kepraktisan. Sebagaimana telah disajikan pada bagian sebelumnya. Model “PRO JADI MERATA” memadukan (assembling) antara teori proses kebijakan dengan karakteristik atau kespesifikan daerah tertinggal dan tuntutan akselerasi pendidikan di daerah tertinggal. Hasil pemaduan tersebut memperlihatkan nilai-nilai kebaruan meliputi: kebaruan tahapan, kebaruan input, kebaruan uraian tugas, kebaruan agenda, kebaruan cara implementasi, kebaruan unsur stakeholder, dan rekognisi satuan pendidikan.
J. KAJIAN MODEL AKHIR “PRO JADI MERATA”
Model proses kebijakan pendidikan menengah merupakan suatu pendekatan problem solving untuk mengatasi kompleksitas permasalahan pendidikan di daerah tertinggal. Sebab potret pendidikan menengah di daerah tertinggal di NTT yang merefleksikan kondisi sukar sulit dengan fenomena yang bersifat multi-variabel membutuhkan tindakan afirmasi dan akselerasi. Kondisi sukar sulit tersebut memiliki penetrasi terhadap pendidikan antara akses dan mutu.
Pertanyaan penting pernah diajukan oleh Marton, yakni “What social justice issues arise as the state restructures education policy? (Peters & Pierre, 2006: 231). Artinya, apa masalah keadilan sosial yang memunculkan restrukturisasi kebijakan pendidikan oleh negara? Pertanyaan ini berkaitan dengan hal-hal yang melatarbelakangi munculnya kebijakan pendidikan atau membutuhkan restrukturisasi kebijakan pendidikan. Isu keadilan sosial (social justice) terkait dengan banyak bidang, terutama dalam bidang pendidikan, yakni bagaimana warga negara dari berbagai lapisan dapat mengakses pendidikan yang layak dan bermutu.
Pendidikan sebagai bagian dari urusan publik (public goods) menjadi sarana untuk mewujudkan keadilan sosial. Itulah sebabnya pendidikan dapat dipacu perkembangannya melalui kebijakan yang spesifik dan unggul pula. Menurut Slamet (2017), “kebijakan yang unggul bukan satu kebijakan untuk semua, atau semua untuk satu, karena semua tidak satu.” Tesis yang demikian bertindih tepat dengan karakteristik pendidikan di daerah tertinggal. Pada level teoritis dan konseptual diperlukan kerangka alternatif bahkan variatif untuk menjelaskan, memprediksi, dan mengantisipasi fenomena problematis yang bersifat multi-variabel tersebut. Itulah sebabnya tujuan dari penelitian dan pengembangan ini menempati nilai urgensi di tengah-tengah keranjingan pembuatan kebijakan yang cenderung “menyamaratakan” semua daerah dan menyeragamkan kebijakannya.
Model ““PRO JADI MERATA”, sebagai suatu produk dari proses penelitian dan pengembangan ini merupakan suatu kerangka penghampiran teoritis untuk menjembatani kesenjangan pendidikan menengah antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia, atau antara daerah mandiri maupun berkembang dan daerah tertinggal di Indonesia khususnya di NTT. Jika tidak berlebihan dapat dikatakan bahwa Model ““PRO JADI MERATA” adalah “ragamnya Indonesia”. Dalam teorema kebijakan, model “PRO JADI MERATA” merupakan proliferasi kebijakan, oleh karena ada sesuatu yang “hilang”, karena dengan kebutuhan masyarakat serta karakteristik wilayah yang bervariasi membutuhkan proliferasi kebijakan. Proliferasi kebijakan dibutuhkan untuk dapat menjembatani upaya-upaya meningkatkan aksesibilitas pembangunan dan kualitas hidup masyarakat. Proliferasi kebijakan adalah suatu pendekatan untuk mengembangbiakan kebijakan atau penjamakkan kebijakan pendidikan.
Proses uji coba model telah melewati uji ahli, uji praktisi (baik di level pemerintahan maupun di tingkat satuan pendidikan), dan didukung oleh dua kali pelaksanaan FGD yang melibatkan para praktisi maupun pemangku kebijakan pendidikan pada level provinsi. Paling tidak model ini dibuat dengan suatu niat yang baik, niat afirmatif. Sebagaimana dikatakan Page (Moran, Rein, & Goodin, 2015: 263364) “Kebijakan dapat dianggap antara lain sebagai niat. Niat relatif luas, bisa berbentuk ideologi, prinsip-prinsip, maupun tujuan-tujuan, atau garis-garis kebijakan”. Dari segi tujuan model ini dimaksudkan untuk menghasilkan model proses kebijakan pendidikan menengah yang memenuhi nilai keefektivan, keefisienan, dan kepraktisan sebagai model alternatif.
Implementasi model ini hanya dapat berlangsung apabila memiliki landasan hukum dalam bentuk Peraturan Daerah. Sebagaimana dikatakan oleh Delaney (2017: 4), elemen-elemen utama yang terkandung dalam definisi kebijakan antara lain (1) sebagai tindakan yang diformalkan; (2) memiliki tujuan yang disepakati; dan (3) disetujui atau disetujui oleh badan atau otoritas institusional.” Dalam FGD dengan Praktisi Kebijakan oleh mantan Ketua dan Anggota Komisi V DPRD NTT mengatakan bahwa, “tetapi apakah itu merupakan suatu sistem yang melembaga, di DPRD atau di Dinas Pendidikan? Belum tentu! Kalau ini belum dijadikan sebagai sebuah model proses kebijakan yang diatur dalam instrumen kebijakan pemerintah daerah.”
Model ini hanya dapat diimplementasi apabila telah menjadi suatu model resmi yang berlaku dalam lingkup pemerintahan Provinsi NTT. Bisa melalui Keputusan DPRD atau Peraturan Gubernur. Payung hukum dibutuhkan sebagai dasar dalam mengimplementasikan model proses kebijakan yang mengafirmasi karakteristik daerah tertinggal di NTT. Dengan tersedianya payung hukum tersebut maka pemerintah dapat mengambil tindakan yang terukur dalam rangka mengafirmasi pendidikan di daerah tertinggal.
Implementasi yang terukur melalui tindakan Pemerintah Provinsi NTT sedang ditunggu oleh masyarakat. Mengapa? Menurut Page (Moran, Rein, & Goodin, 2015: 263 “Kebijakan dapat dianggap sebagai tindakan berupa langkah-langkah yang memberi efek pada garis-garis kebijakan yang berbeda. Tindakan juga berupa praktik yang adalah perilaku pejabat yang biasanya diharapkan melaksanakan langkahlangkah kebijakan.” Tentu dalam konteks ini adalah bagaimana pemerintah provinsi dapat mengadopsi cara beroperasi kebijakan sesuai tahap-tahap sebagaimana dalam model “PRO JADI MERATA”. Mulai dari penetapan agenda, perumusan kebijakan, pengesahan kebijakan, sosialisasi kebijakan, pelaksanaan kebijakan, pengendalian kebijakan, dan keberlanjutan kebijakan.
Implementasi model proses kebijakan pendidikan menengah berbasis daerah tertinggal berdasarkan pada landasan hukum menjadi entry point dalam membangun tata kelola pendidikan menengah yang semakin relevan dan memiliki nilai keefektivan. Kalau melihat pada RPJMD Provinsi NTT 2018-2023 untuk bidang pendidikan hanya fokus pada dua hal yakni akses dan mutu. Sepertinya dalam rencana pembangunan bidang pendidikan melupakan tata kelola, padahal aspek ini sebagai “driving machine” untuk meningkatkan akses, mutu, dan daya saing pendidikan menengah. Itulah sebabnya penting untuk menetapkan kebijakan (Peraturan Daerah) terkait model ini. Sebagaimana Hogwood dan Gunn (Parson, 2014: 15) memberi definsi antara lain, “kebijakan yakni sebagai teori atau model.”
Selain memerlukan landasan hukum bagi model “PRO JADI MERATA”, dalam implementasi model dipengaruhi oleh berbagai faktor, sebagaimana dikemukakan oleh Knoepfel, et al. (2007), yakni (1) General institutional rules, di mana aturan umum (berlaku untuk semua kebijakan publik) dan aturan spesifik (khusus untuk suatu kebijakan). (2) Actors. Segitiga dasar yang terdiri dari otoritas politik-administrasi, kelompok sasaran dan penerima manfaat akhir. (3) Resources. sumber daya. hukum, personel, kekuatan, uang, informasi, organisasi, konsensus, dukungan politik, waktu, dan infrastruktur. (4) Substantive and institutional. Isi produk kebijakan. Definisi politik dari masalah publik, politik-administrasi.
Secara empiris dalam riset ini, model proses berada dalam dua arena, yaitu arena politik dan arena administrasi. Dalam dua arena tersebut, aktor kebijakan berbeda, arena pertama melibatkan DPRD, Gubernur, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Media, Pemerhati Kebijakan, Komunitas Pendidikan, dan lain-lain. Proses mendorong isu pendidikan yang partikulatif menjadi isu publik membutuhkan suatu mekanisme dialog dan perdebatan. Ada begitu banyak masalah pendidikan, tetapi apa yang menjadi masalah substansial pendidikan menengah di daerah tertinggal perlu digali dalam mekanisme deliberatif sebagai cerminan demokratisasi dalam penyusunan agenda pendidikan. Arena kedua melibatkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, dan Satuan Pendidikan. Dua arena dimaksud sekaligus juga melibatkan aktor-aktor yang berbeda baik yang berperan pada arena politik maupun yang berperan pada arena administrasi. Meminjam teori Knoepfel, et al. “actors” menunjuk kepada segitiga dasar yang terdiri dari otoritas politik-administrasi, kelompok sasaran, dan penerima manfaat akhir.
K. KETERBATASAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Penelitian dan pengembangan dalam rangka menghasilkan Model “PRO JADI MERATA” telah dilaksanakan sesuai langkah-langkah yang telah direncanakan. Sekalipun demikian model yang telah dihasilkan ini memiliki keterbatasan, yakni belum sampai pada tingkat implementasi, hanya terbatas pada uji pendapat (ahli dan praktisi). Oleh karena alasan keabsahan, di mana belum ada suatu dasar hukum bagi pelaksanaan model ini, sehingga belum dapat diimplementasi. Selain itu data kualitatif dari pihak birokrat masih terbatasnya. Oleh karena tingkat kesibukan pejabat menjadi kendala bagi peneliti dalam menggali semua data dan informasi yang diperlukan.
L. IMPLIKASI DAN SARAN
- Untuk Pemerintah Pusat
a. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Disarankan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk dapat mengadopsi agenda-agenda kebijakan afirmatif dalam rangka mengakselerasi peningkatan akses dan mutu pendidikan di daerah tertinggal di Indonesia, seperti (1) PPDB SMA/SMK yang menetapkan zonasi menggunakan jumlah SMP pendukung; (2) Pengangkatan dan pengelolaan guru kontrak provinsi berbasis daerah tertinggal; (3) Pendidikan Profesi Guru (PPG) Berbasis Daerah Tertinggal.
b. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
Disarankan kepada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi agar dapat merevisi Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penentuan Indikator dalam Penetapan Daerah Tertinggal Secara Nasional, antara lain dalam Pasal 7 huruf c, yaitu kriteria aksesibilitas “rata-rata dari desa ke pelayanan pendidikan dasar”, dapat ditambah ke pelayanan pendidikan menengah. Oleh karena saat ini pendidikan menengah sudah banyak tersebar pada tingkat kecamatan maupun beberapa desa dalam satu kecamatan.
- Untuk Pemerintahan Provinsi NTT
Berdasarkan hasil pengembangan model “PRO JADI MERATA” maka disarankan kepada DPRD NTT untuk:
1). Mempelajari model “PRO JADI MERATA” sebagai input untuk meningkatkan fungsi-fungsi kedewanan dalam mendorong peningkatan mutu proses kebijakan pendidikan menengah di Provinsi NTT.
2). Mengadopasi agenda-agenda kebijakan afirmatif antara lain (a) Deregulasi peraturan daerah yang mengafirmasi kespesifikan daerah tertinggal, antara lain sebagaimana amanat PP 78 tahun 2014; (b) Memberi perhatian terhadap agenda-agenda seperti: (i) tata kelola kelembagaan OPD Dinas Pendidikan dan Kebudayaan agar lebih efektif dan relevan dengan konteks daerah tertinggal, di antaranya penetapan UPT atau Cabang Dinas Pendidikan dan Kabudayaan di Kabupaten. Atau dalam situasi pendemik dapat menjadi trigger untuk mempercepat pembangunan sistem e-governance, e-surat, e-report, e-pangkat, dan e-performance, apalagi sebagai provinsi kepulauan; (ii) Ketersediaan sekolah berbasis kespesifikan dan keunggulan lokal daerah tertinggal seperti pertanian, perikanan dan kelautan, pariwisata, peternakan, dan pengembangan budaya lokal; (iii) Keselarasan bidang studi SMK dengan kegiatan utama ekonomi di daerah tertinggal; (iv) Diversifikasi kurikulum sesuai potensi, minat dan kecerdasan individu, dan kespesifikan lokal; dan (v) Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA Provinsi).
3. Untuk Pemerintah Kabupaten Alor
Disarankan kepada Pemerintah Kabupaten Alor PT perlu (a) menfasilitasi pembangunan kemitraan dan sinergi berbasis aktor lokal (masyarakat lokal, otoritas lokal, asosiasi, lembaga sosial termasuk yayasan) dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan; (b) Menerapkan proliferasi (penjamakkan) kebijakan menurut jalur, jenjang, jenis, dan model pendidikan agar dapat memunculkan kespesifikasi dan keunggulan pendidikan di daerah. (c) Peran birokrasi pendidikan juga perlu dimaksimalkan. Karena pada umumnya sekolah melaksanakan kebijakan dari atas maka peran birokrasi pendidikan dalam mewujudkan kepemimpinan ideokrasi menjadi penting agar dapat mempromosikan ide-ide kreatif dan unggul untuk mendorong akselerasi pendidikan di daerah.
4. Untuk Perguruan Tinggi (UNTRIB)
Disarankan agar PT perlu meningkatkan kajian dan riset terhadap isu-isu kebijakan pendidikan di Provinsi NTT dan di Kawasan Timur Indonesia, sehingga dapat dipertimbangan untuk mendirikan pusat studi kebijakan, UNTRIB (Centre for Policy Studies). Terima kasih. God bless us!
DAFTAR PUSTAKA
Aksakal, B. & Kazub, I. Y. (2015). Comparison of adult education policies in Turkey and European Union.
Procedia – Social and Behavioral Sciences 177 ( 2015 ) 235 – 239.
Badan Pusat Statistik. Provinsi NTT. (2016). NTT dalam angka 2016.
Bratausumah, D.S. (2006). Daerah tertinggal. Kementerian PAN bidang Pemerintahan dan Otonomi Daerah.
Birkland, A. T. (2011). An Introduction to the policy process. Theories, concept, and models of public policy making. Third edition. London & New York: Toutledge. Taylor & Francis Group.
Bogdan, R., & Biklen, S. (2007). Qualitative research for education: An Introduction to Theories and Methods. Boston: Pearson Allyn & Bacon.
Borg, W.R., & Gall, M.D. (2007). Educational research: An introduction (5rded.). New York: Longman.
Cambridge dictionary. cambridge dictionary. Cambridge University Press) Diambil dari: https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/accessibility.
Dale, B. G. (2003). Managing quality. Fourth edition. USA: Blackwell Publishing Ltd.
Definition of ’disadvantaged’. Diambil dari: https://www.collinsdictionary.com/. Pada tanggal 24 Januari 2020.
Definition of disadvantaged. Diambil dari: https://www.merriam–webster.com/. Pada tanggal 20 Januari 2020.
Delaney, J. G. (2017). Education policy. Bridging the divide between theory and practice. Second Edition. Canada: Brush Education Ink.
de Macedo, C. M. S.,& Ulbricht, V. R. (2012). Accessibility guidelines for the development of learning objects. Procedia Computer Science 4 (2012) 155 – 162.
Dias, M., & Tomas, C. (2012). Education and equity in semi-peripheral countries: Current trends in the field of priority education in Portugal. Procedia – Social and Behavioral Sciences 47 (2012) 1092 – 1096.
Dumciuvienea, D. (2014), The impact of education policy to country economic development. Procedia – Social and Behavioral Sciences 191 ( 2015 ) 2427 – 2436.
Dunn, W. N. (2008). Public policy analysis. Fourth edition. Pearson Prentice–Hall. Inc. Upper Saddel River, New Jersey.
Dye, T. R. (2013). Understanding public policy. New Jersey: Prentice Hall.
Fischer, F., Miller, G. J., & Sidney, M. S. (2007). Handbook of public policy analysis. Theory, politics, and methods.CRC Press Taylor & Francis Group.
Gubernur NTT. (2016). Peraturan Gubernur NTT Nomor: 56 tahun 2016 tentang kedudukan, susunan organisasi, tugas dan fungsi serta tata kerja unit pelaksana teknis dinas dan badan Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Gubernur NTT. (2018). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi NTT 2018-2023.
Jordan & Adelle. (2015). Environmental policy: Protection and regulation. International Encyclopedia of the social & behaviour sciences (second edition).
Kraft, M., & Furlong, S.R. (2004). Public policy. politics, analysis, and alternative, Washington: Congres Quarterly Press.
Lembaga Adminsitrasi Negara Republik Indonesia. (2008). Analisis kebijakan publik. Modul pendidikan dan pelatihan kepemimpinan tingkat III.
Leoveanu, A. C. Rationalist model in public decision making. Faculty of public administration national university of political studies and public administration bucharest, Romania. Journal of Public Administration, Finance and Law.
Lupton, R. (2004). School in disadvantaged area: Recognising context and raising quality. The London School of Economic and Political Science.diambil dari:
https://www.researchgate.net/publication/4808543.
Menteri Republik Indonesia. (2007). Peraturan menteri negara pembangunan daerah tertinggal nomor : 040/Per/M-Pdt/Ii/2007 tentang pedoman umum dan penetapan alokasi dana stimulan penyusunan strategi daerah percepatan pembangunan daerah tertinggal dan penyusunan rencana aksi daerah percepatan pembangunan daerah tertinggal provinsi dan kabupaten tertinggal.
_________________________. (2015). Rencana strategis (renstra) direktorat jenderal pembangunan daerah tertinggal Tahun 2015-2019. Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah tertinggal, Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal.
_________________________. Peraturan menteri desa, pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi Republik Indonesia nomor 3 tahun 2016 tentang petunjuk teknis penentuan indikator dalam penetapan daerah tertinggal secara nasional.
_________________________. (2018). Data pokok pendidikan dasar dan menengah semester genap 2017/2018. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Moran, M., Rein, Martin., & Goodin, E.R. (2015). Handbook kebijakan publik. (Terjemahan Imam Baehaqie). New york. Oxford University Press. (Buku asli diterbitkan tahun 2006).
__________. (2017). Public policy. Dinamika kebijakan, analisis kebijakan, manajemen kebijakan public, etika kebijakan, kimia kebijakan. Edisi 6. Jakarta. PT Elex Media Komputindo. Kompas Gramedia.
Pandie, D.B.W. (2019). Paper kebijakan publik. Kupang: Universitas Nusa Cendana.
Pearsons, W. (1999). Public policy. London: Edward Elgar. UK.
___________ (2005). Public policy. An introduction to the theory and practice of policy analysis. (Terjemahan Triwibowo & Budi Santoso). London: Edward Elgar Publishing, Ltd. (Buku asli diterbitkan tahun 2001).
Pearson. (2014). The learning curve. Educational and skill for life. Developed by The Economist
Intelligence Unit.
Peters, B. G., & Pierre, J. (2006). Handbook of public policy. London: SAGE Publication.
Peters, B. G. (2004). American public policy: Promise and performance, 11th Ed. New Jersey: Chatam Hause.
Presiden Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Nomor: 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
_______________________. (2005). Undang-Undang Nomor: 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen.
Presiden Republik Indonesia. (2005). Peraturan Presiden RI Nomor 78 tahun 2005 tentang pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.
_______________________. (2012). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
_______________________. (2014). Undang-Undang Nomor: 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah.
_______________________. (2014). Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2014 tentang percepatan pembangunan daerah tertinggal.
_______________________. (2015). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 131 tahun 2015 tentang penetapan daerah tertinggal tahun 2015-2019.
_______________________. (2020). Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal tahun 2020-2024.
Psacharopoulos, G., & Woodhall, W. (1986). Education for development. An analysis of investment choices. Oxford University Press.
Psacharopoulos, G. (2006). World bank policy on education: A personal account. International Journal of Educational Development 26 (2006) 329–338.
Slamet, (2014). Kebijakan pendidikan kejuruan: Refleksi kritis dan koreksi. Makalah seminar dengan judul ”refleksi kritis kebijakan pendidikan nasional dan daerah” yang diselenggarakan oleh Program Studi Kebijakan Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta pada Tanggal 30 April 2014. Diambil dari: staff.uny.ac.id/sites/…/files/pendidikan/slamet…/2-kebijakanok.pdf.
__________. (2014). Politik pendidikan di Indonesia dalam abad ke-21. Cakrawala Pendidikan, Jurnal Ilmiah Pendidikan. Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPPMP) Universita Negeri Yogyakarta. Oktober 2014, Th.XXXIII, No. 3. ISSN: 0216-1370.
__________.(2019). Melesatkan mutu pendidikan tinggi di era terpori. Pidato Pelepasan Guru Besar UNY. 16 April 2019.
Shiffman, J. (2008). Agenda setting in public health policy. In international encyclopedia of public health.
Sugiyono. (2016). Metode penelitian & pengembangan. Untuk bidang: Pendidikan, manajemen, sosial, teknik. Bandung: Penerbit Alfabeta.
________., (2017). Metode penelitian kebijakan. Pendekatan kuantitatif, kualiatif, kombinasi, R & D dan penelitian evaluasi. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sutomo. (2013). Pembangunan masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suyanto. (2017). Politik pendidikan. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Torjman, S. (2005). What is policy. Otawa: Caledon institute of social policy.