Kecam Kekerasan Seksual 6 Anak Alor, LPA NTT: Penyidik Perlu Penambahan Pasal UU TPKS

Ketua LPA Provinsi NTT Veronika Ata, SH., M. Hum. (Foto: doc tribuanapos.net).
Ketua LPA Provinsi NTT Veronika Ata, SH., M. Hum. (Foto: doc tribuanapos.net).
Kalabahi –
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi NTT mengecam keras tindakan kekerasan seksual yang dilakukan tersangka Vikaris GMIT SAS (36th) terhadap 6 anak di Kabupaten Alor. LPA NTT meminta penyidik Unit PPA Polres Alor perlu penambahan pasal 12 dan 15 Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) karena pasal tersebut belum diterapkan penyidik.
Ketua LPA Provinsi NTT Veronika Ata, SH., M. Hum mengatakan, perlunya penyidik menerapkan pasal 12 dan pasal 15 UU TPKS terhadap berkas perkara pelaku SAS, selain penerapan UU Perlindungan Anak dan KUHP yang sudah diterapkan penyidik.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2022/09/05/vikaris-sas-mengaku-khilaf-dan-meminta-maaf-pada-gmit-dan-keluarga-korban/
“Selain KUHP dan hukuman kebiri yang diatur oleh UU Perlindungan Anak, pelaku dapat dikenakan pasal 12 UU TPKS tentang eksploitasi seksual, dengan hukuman maksimum 15 tahun. Bahkan ketentuan pasal 15 UU TPKS bahwa pidana ditambah 1/3 jika dilakukan terhadap lebih dari satu orang. Pidana tambahan terkait pengumuman identitas pelaku,” kata Veronika melalui rilis pers yang diterima wartawan, Rabu (7/9) di Kalabahi.
LPA ikut prihatin atas kasus yang menimpa 6 anak PAR Gereja GMIT di Kabupaten Alor. Kasus itu terjadi pada bulan Mei 2021 hingga Maret 2022 ketika sang Vikaris SAS masih aktif menjalankan tugas vikariatnya di salah satu gereja GMIT di Kabupaten Alor. Tak terima perilaku pelaku, korban dan keluarganya kemudian melapor kasus tersebut di Polres Alor pada awal September 2022.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2022/09/06/buka-ordik-rektor-pesan-maba-harus-sukses-studi-di-untrib/
LPA NTT mengecam tindakan tersangka SAS tersebut karena di tengah perjuangan pemerintah, LSM, lembaga keagamaan dan masyarakat untuk menghentikan kasus kekerasan seksual, malah terjadi korban anak secara berkelompok yang dilakukan calon pendeta (vikaris).
“Kami mengecam kejahatan seksual yang terjadi pada 6 orang anak di Alor,” ujar Veronika Ata.
LPA meminta pelaku wajib diproses secara hukum dan dikenai pasal berlapis, mendapatkan hukuman maksimal agar memberikan rasa keadilan bagi korban, selain efek jera bagi pelaku maupun orang lain.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2022/09/06/polisi-tetapkan-vikaris-gereja-tersangka-pemerkosaan-anak-ahli-hukum-kebiri/
Selain itu, LPA NTT berharap anak-anak yang menjadi korban bisa di dampingi secara hukum, psikologis, rohani maupun layanan kesehatan. Sedangkan pelaku, wajib proses hukum, dikenakan pasal berlapis dan hukuman maksimal.
“Demi perlindungan terhadap korban, maka anak-anak perlu mendapatkan layanan psikologis dan di dampingi agar mereka memperoleh kekuatan dan pemulihan. Anak-anak yang menjadi korban tersebut harus dilindungi identitasnya dan tidak persalahkan mereka,” pinta Veronika.
Sementara itu, Ketua Komunitas Suara Perempuan (SUPER) Alor Novi Lailang mengatakan pihaknya saat ini bersama Rumah Harapan GMIT, konsen melakukan pendampingan hukum dan psikologi pada korban. Novi meminta aparat penegak hukum memproses kasus tersebut sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2022/09/06/kmk-tribuana-kutuk-keras-tindakan-kekerasan-seksual-pada-6-anak-di-alor/
“Sebagai pendamping kami serahkan proses hukum ke Penyidik Polres Alor biar diproses sesuai hukum yang berlaku,” ujarnya.
Kepolisian Resort Alor Polda NTT telah menetapkan Vikaris GMIT SAS (36th) tersangka kasus dugaan pemerkosaan 6 anak di Kabupaten Alor. Penetapan tersangka itu dilakukan pada hari Selasa 6 September 2022 setelah penyidik gelar perkara.
“(SAS) sudah (ditetapkan) tersangka,” kata Kapolres Alor AKBP Ari Satmoko, Selasa (6/9) di Kalabahi.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2022/09/07/pemuda-gmit-imbau-masyarakat-lindungi-identitas-korban-kekerasan-seksual-6-anak-alor/
Kepada tersangka penyidik menerapkan pasal 81 ayat (5) jo pasal 76d UU Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menjadi UU, jo pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
“Ancaman hukuman pidana mati, seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun,” kata Kasat Reskrim Polres Alor Iptu Yames Jems Mbau. (*dm).