Denny Lalitan: WNA Kontrak Tanah di Alor Sesuai Prosedur

Denny Lalitan
Denny Lalitan

Kalabahi –

Denny Lalitan mengatakan Warga Negara Asing (WNA) yang mengontrak tanah di Kabupaten Alor, Propinsi NTT untuk membangun bisnis Pariwisata, sudah sesuai prosedur hukum Indonesia. Hal itu dikatakan Denny sekaligus membantah polemik WNA memiliki tanah dalam status hak milik yang ramai di beritakan media ini sebelumnya.

Denny selaku pihak yang memfasilitasi kelancaran investasi asing di Kepulauan Nusa Kenari itu menegaskan, para pemodal asing (WNA) tidak memiliki tanah dalam status hak milik tetapi Hak Guna Bangunan (HGB).

Ia menjelaskan, sistem kepemilikannya adalah, tuan tanah menjual tanah dan dibeli oleh Perusahaan (PT). PT itu sendiri dibentuk atas kesepakatan antara WNA bersama Denny Lalitan. Saham PT tersebut adalah kumpulan Denny Lalitan selaku WNI dan WNA yang ada di dalam PT.

“Tuan tanah jual dia punya tanah. Kalau Bule datang, sebagai warga negara asing, dia tidak bisa beli itu tanah dengan status hak milik. Jadi dibentuklah PT. Jadi tuan tanah jual tanah ke PT. Dorang (WNA) bikin PT itu kan boleh. Dulu kita kenal dengan Penanaman Modal Asing. Ini sama dengan Freeport. Kita negara terbuka dan itu tidak ada masalah,” kata Denny, Senin (16/12/2019) di Kalabahi.

Bukan Hak Milik

Ketua Partai Demokrat Alor itu menerangkan, kepemilikan tanah oleh PT tersebut bukan dalam status Hak Milik atau HGU, tetapi kepemilikannya berstatus Hak Guna Bangunan (HGB) sesuai sertifikat yang dikeluarkan Badan Pertanahan. Sebab, Hak Milik tidak boleh untuk WNA. Kalau HGU maka tentu ada syarat-syarat yang harus terpenuhi. Salah satunya, kepemilikannya tersebut bisa diambil alih oleh negara jika sistemnya menyalahi ketentuan Undang-undang.

Selain itu HGU juga interval masa kontraknya dibatasi selama 30 tahun, kemudian diperpanjang sesuai ketentuan. Itu sebabnya, para WNA membentuk PT berbadan hukum bersama Denny Lalitan menguasai tanah tersebut dalam status HGB dan menanamkan saham agar menghindari sistem HGU.

“Misalnya kita beli itu tanah Hak Guna Usaha (HGU). Jadi kepemilikannya itu tetap negara punya. HGU itu kan ada dia punya syarat-syarat di bawah situ. Umpama kalau lu bikin tidak betul negara bisa ambil alih, atau setelah 30 tahun harus daftar ulang kembali. Begitu,” ujar Denny yang mengaku membantu memfasilitasi investasi WNA di Alam Wolwal dan Java Toda itu.

HGU yang Bisa Miliki Badan Hukum

Ia menambahkan, yang bisa memiliki HGU adalah Badan Hukum. Sehingga pihaknya membentuk PT berbadan hukum, lalu mengusai tanah. Sebab, kalau WNA secara personal dibatasi UU memiliki status Hak Milik tanah maupun HGU. PT yang dibentuk tersebut pun ada sahamnya Denny Lalitan, sehingga legalitas dan pengelolaannya bisa dilakukan sesuai ketentuan Undang-Undang.

“Yang bisa beli HGU itu apa? Ya Badan Hukum. Karena mereka asing, tidak boleh (HGU). Nah, saya juga tidak mau pakai sistem yang kamu ada baku omong itu (sistem HGU). Bule yang datang, dia yang usaha, kita jadi boneka di depan. Saya tidak mau begitu. Akhirnya dibikinlah PT ikut saya punya mau-mau. Dibikin PT, kemudian kami berapa orang itu bagi saham di situ. Mereka (WNA) yang operasi (menjalankan bisnis Pariwisata),” katanya lagi.

Terkait Direktur PT, Denny mengaku, Direktur PT dipegang Warga Negara Asing. Sebab, saham mereka lebih besar di perusahaan itu. Denny juga membantah dirinya yang menguasai tanah tersebut secara personal maupun memegang jabatan Direktur, kemudian pihak asing yang mengelola usahanya.
Direktur PT

“Kalau benar bahwa Denny Lalitan yang dipakai namanya yang baku akal seperti itu, itu berarti saya yang Direktur PT. Buktinya kan tidak ada. Dorang (WNA) yang Direktur Utama (PT). Dorang (WNA) yang pemilik saham yang besar. Tetapi PT Badan Hukum Indonesia yang tercatat di Depkumham, baru orang bisa kasih izin lokasi ko tidak. Sehingga mereka beroperasi atas nama PT itu. Jadi tidak ada Hak Milik. Semua HGU yang saya tahu,” tegasnya.

“Persoalan kontrak. Ada yang bilang wah kontrak ko lama? Ya kontrak kan maksimum bisa 30 tahun. Contoh; Bos (Alam) Wolwal (Max, WNA) ini ada pigi ambil lagi (tanah) di Irang (Kecamatan ABAD), itu tidak beli. Itu kontrak. Sedrik (WNA) di Pulau Kepa, itu juga mereka kontrak. Ibu Liem Odja punya adik pakai AJ (Bupati Amon Djobo) punya Vila (di Ruilak), itu kontrak AJ 30 tahun. Boleh, kenapa tidak? Kecuali mereka langgar aturan,” jelas eks Anggota DPRD Alor itu.

Tentang kewajiban WNA atau PT kepada daerah, Denny Lalitan menjelaskan, PT selama ini membayar kewajibannya kepada pemerintah. Kewajiban tersebut yakni, pajak PPH PPN, kemudian retribusi masuk taman laut dan pajak restoran dan penginapa.

“Kewajiban, pajak pasti. PPH PPN, pasti (dibayar kepada negara). Kemudian, retribusi masuk taman laut yang dibayar ke Dinas Pariwasata (Alor), meskipun itu sekarang sedang dipermasalahkan karena retribusi sekarang nomenklatur baru SAP Pantar (masuk wewenang Pemprov). Nah, terus legalitas di Pariwisata bagaimana? Ini yang sedang dibahas teman-teman di Kantor Cabang DKP NTT. Kemudian pajak restoran dan penginapan, masuk ke Dispenda Alor. Begitu,” pungkas Denny.

WNI Tidak Berhak Memiliki Hak Milik Tanah

Sebelumnya diberitakan, Pakar Hukum Universitas Tribuana Kalabahi Rudi Lema Killa, SH.,M.Kn menjelaskan, Warga Negara Asing (WNA) tidak berwenang memiliki hak milik tanah di kepulauan Alor, Provinsi NTT. Apabila terbukti ada WNA yang memiliki tanah dalam status Hak Milik maka Rudi menduga itu ada penyelundupan hukum Agraria di Alor.

Menurut Rudi, ketentuan kepemilikan atau penguasaan tanah ini menjadi jelas di dalam Pasal 16 UUPA yang telah melakukan pembagian hak-hak atas tanah yakni, hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil dan beberapa hak lainnya yang sementara.

“Khusus mengenai Hak Milik, di dalam ketentuan Pasal 21 Ayat (1) menyebutkan bahwa hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai Hak Milik. Artinya bahwa subyek hukum yang dapat memperoleh atas Hak Milik hanya manusia (orang orang Indonesia),” ujarnya, Minggu (8/12/2019) di Kalabahi.

Regulasi Kepemilikan Tanah Membatasi WNA

Selanjutnya, di dalam ketentuan Pasal 21 Ayat (2) pada prinsipnya melarang juga badan-badan hukum mendapatkan Hak Milik atas tanah. Terkecuali yang diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 38 Tahun 1963 Tentang penunjukan badan-badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah yakni, Bank-bank Negara (pada umumnya berbentuk PT), Perkumpulan Koperasi-koperasi Pertanian, Badan-badan Keagamaan, Badan-badan Sosial atau Yayasan.

Rudi menjelaskan, ketentuan hukum ini secara jelas dapat menempatkan subyek hukum mana saja yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah di Indonesia. Ketentuan tersebut membatasi Warga Negara Asing memiliki Hak Milik tanah di Indonesia termasuk tanah-tanah yang menjadi aset Pariwisata di Kabupaten Alor.

“Berkaitan dengan orang asing atau warga negara asing (WNA) dalam ketentuan UUPA No. 5 Tahun 1960, hanya dapat dimungkinkan untuk mendapatkan Hak Pakai. Berdasarkan ketentuan Pasal 42 UUPA bahwa Hak Pakai dapat dipunyai oleh WNI, WNA yang berkedudukan di Indonesia, Badan Hukum Indonesia dan Badan Hukum Asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia,” kata Dosen Fakultas Hukum Untrib itu.

Wacana kepemilikan tanah oleh asing di Alor sebelumnya dihembuskan Plt Kadispar Bernad Gen AL. Ia menyebut, ada sejumlah pengusaha asing dari berbagai negara yang selama ini mengontrak lahan dan berusaha di kepulauan Alor, Propinsi NTT, diduga tidak membayar retribusi ke kas daerah. Para pemodal asing tersebut bahkan ada yang sudah membeli lahan di pulau-pulau kecil menjadi hak milik untuk berusaha Homestay dan Diving.

“Java Toda itu kan (lahannya) sudah dibeli oleh yang sementara mengelola. Oleh investor (Asing). Sudah jadi milik personal. Di Alam Wolwal juga begitu. (Tanah) di bagian bawah itu kan dia (Max, WNA) sudah beli dan itu memang dia punya. Itu dia punya hak paten (milik pribadi). Jadi itu kontrak bukan dengan pemerintah daerah tapi dengan masyarakat,” terang Bernad. (*dm).