Oleh: Yanri Erastus Maunaben
Perhelatan Pesta Demokrasi akan kembali di gelar pada 9 Desember 2020 secara serentak di seantero Indonesia setelah beberapa kali mengalami penundaan dikarenakan wabah Covid-19.
Adapun sebanyak 270 daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota di Indonesia.
Di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sendiri terdapat 9 kabupaten yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah. Yakni; Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat dan Ngada di pulau Flores; Sumba Timur, Sumba Barat di pulau Sumba; Sabu Raijua, Belu, Malaka dan Timor Tengah Utara (TTU).
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/12/08/pilkada-ttu-gmki-dan-alumni-skpp-bawaslu-sosialisasi-pengawasan-pemilu/
Provinsi NTT yang notabene menyandang predikat daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar) dapat berpontensi melahirkan praktek politik uang pada Pilkada serentak 9 Desember ini.
Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum.
Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum.
Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai atau kandidat yang bersangkutan. (wikipedia.org).
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/12/07/tandon-air-untuk-cor-jalan-secara-swadaya-di-desa-luba-dirusak-otd/
Praktek Money Politik ini tentu sangat bertentangan dengan Pasal 187A ayat 1 UU Pilkada No. 10 Tahun 2016. Ayat itu dijelaskan bahwa:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Keadaan ekonomi di NTT merupakan fakta utama yang berpotensi akan terjadi politik uang. Praktek ini tentu sudah bukan hal baru dalam perjalanan demokrasi kita. Money Politik atau yang lebih familiar di tengah masyarakat ialah beli suara, sogok atau suap menyuap ini sudah sering terjadi pada setiap kali perayaan pesta demokrasi.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/12/06/bulan-ini-bupati-alor-lantik-pejabat-struktural-ini-pejabat-yang-akan-dilantik/
Hal ini biasa terjadi karena adanya sebuah anggapan bahwa siapa-siapa saja yang menjadi pemimpin tidak akan ada perubahan-perubahan yang berarti. Malah yang ada hanya kepentingan oknum para pejabat publik yang selalu terakomodir.
Selain itu juga Money Politik sering muncul dikarenakan politik uang sangat sulit diberantas. Kondisi ini dapat disebabkan pada kenyataan bahwa adanya saling keterkaitan antara kemiskinan dan praktik politik uang. Jadi selama kemiskinan belum berhasil teratasi maka politik uang akan terus berlanjut.
Penelitian terakhir BPS pada tahun 2018, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 2.695 juta orang (9,82 persen). Sedangkan di NTT sendiri pada bulan Maret 2020 pada BPS merilis angka kemiskinan NTT tembus 1,63 juta. Angka ini kemudian menjadikan NTT masuk dalam daftar 5 besar angka kemiskinan tertinggi di Indonesia.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/12/06/akui-medan-sulit-bupati-alor-minta-tenaga-farmasi-buat-mukjizat-kesembuhan/
Berangkat dari kenyataan tersebut, potensi Money Politik akan terjadi sejalan dengan kebutuhan primer masyarakat kita. Kebutuhan primer selalu berkisar di antara tiga hal yaitu, menyangkut sandang, pangan dan papan. Jika ketiga kebutuhan dasar tersebut telah terpenuhi, maka kebutuhan sekunder akan menjadi tujuan selanjutnya. Kemudian pada gilirannya, kebutuhan primer inilah yang menjadi sasaran penting dalam politik uang.
Pada dasarnya, masyarakat ekonomi rendah menginginkan sembako murah, upah kerja layak, ketersediaan lapangan kerja, biaya pendidikan rendah, biaya kesehatan murah dan ketersediaan modal usaha kecil. Sehingga Money Politik dalam prakteknya lebih cenderung menyasar ke masyarakat ekonomi rendah. Karena politik uang mampu melihat langsung pada apa yang menjadi prioritas sekaligus permasalahan yang sering dihadapi masyarakat kita dengan ekonomi lemah.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/12/06/pemerintah-larang-masyarakat-jual-dan-konsumsi-obat-antibiotik-secara-bebas/
Pada titik ini dapat dipastikan bahwa politik uang di NTT tak akan terhindarkan. Di satu sisi kita juga akan tetap sepakat bahwa kepastian akan terjadinya politik uang ini tidak bisa dihapuskan atau dihilangkan. Tapi ada baiknya kita memulai kebiasaan baru mengajak masyarakat dari keterbatasan untuk memulai kampanye, Yuk Tolak Politik Uang di NTT.
Jika kita membiarkan politik uang terus terjadi maka secara langsung kita sedang mewarisi hal buruk untuk generasi kita dan berusaha mengabaikan usaha para pejuang reformasi demokrasi yang telah bersusah payah mengubah wajah demokrasi Indonesia. Kita kembali melihat sejarah peristiwa 22 tahun silam (pelengseran rezim orde baru 1998) yang menelan bayak korban jiwa yang kemudian melahirkan wajah baru dari Demokrasi Indonesia dan kewenangan daerah otonomi.
Hal lainnya, dengan terus membiarkan praktik politik uang maka secara langsung kita juga sedang berusaha melahirkan pemimpin yang minim kapasitas, kapabilitas, kreativitas dan inovasi dalam memajukan suatu daerah. Bila pemimpin buruk yang kita hasilkan maka tentu akan berujung pada semakin diperpanjangnya ruang kesenjangan pembangunan dalam kehidupan sosial. Selain itu daerah kita pun akan menambah daftar maraknya kasus korupsi yang menimbulkan kerugian negara.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/12/05/pengurus-persatuan-ahli-farmasi-indonesia-cabang-alor-resmi-dilantik/
Memberikan politik uang secara langsung juga kita merendahkan harkat dan martabat kita dalam berdemokrasi. Sebagai generasi milenial, sudah sepantasnya kita menjaga eksistensi nilai demokrasi bangsa ini dari praktek Money Politik.
Maka itu mari mengawal dan menolak praktek Money Politik yang berpotensi melahirkan pemimpin-pemimpin minim kemampuan dan korup agar tercapainya sistem demokrasi bangsa ini yang katanya DARI RAKYAT, OLEH RAKYAT DAN UNTUK RAKYAT.
Mari terus mengajak dan memulai dari keterbatasan untuk masa depan kita. Anda pemilih milenial? Yuk, Tolak Money Politik di NTT.
* Penulis adalah mahasiswa ekonomi pembangunan Unimor yang juga aktivis GMKI Cabang Kefamenanu. Tinggal di Kota Kefamenanu, TTU.Â