
Kalabahi – Yayasan Pendidikan Kristen (Yapenkris) Pingdoling kembali mengangkat 6 Guru Misionaris untuk ditugaskan di sekolah-sekolah GMIT yang tersebar di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur.
Acara perhadapan dan pengutusan Guru Misionaris GMIT tersebut dilakukan di Gedung Kebaktian Jemaat Mail Eheng Mali, Klasis Teluk Kabola, Minggu (4/8).
Acara perhadapan dan pengutusan guru misionaris angkatan kedua ini dilaksanakan dalam kebaktian Minggu yang dipimpin oleh Pdt. Febriyane Jella-Balo, S.Th.
Kotbahnya yang terambil dari bacaan Kitab 1 Samuel 2: 27-36, Pdt. Febriyane mengingatkan pentingnya belajar dari keteladanan hidup Imam dalam mendidik dan mendisplinkan anak, agar kelak mereka tidak berlaku yang tidak patut dan tidak menghormati Tuhan.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2024/08/03/pemuda-milenial-alor-deklarasi-politik-dukung-melki-laka-lena-johanis-asadoma-di-pilkada-ntt/
“Sama seperti Imam Eli yang tidak mendidik anak-anak sehingga kedua anak, Hofni dan Pinehas tidak mengindahkan Tuhan maupun batas hak para Imam terhadap umat. Akibatnya mereka harus dihukum oleh Tuhan,” katanya.
Itulah sebabnya Pdt. Febriyane menekankan bahwa peristiwa perhadapan dan pengutusan Guru Misionaris ini juga menjadi bagian dari tanggung jawab kita sebagai gereja dan jemaat untuk mengedepankan pendidikan bagi anak-anak.
“Kewajiban kita orang dewasa adalah mendidik anak-anak kita. Kita harus mendukung guru-guru yang mengajar anak-anak. Begitu pula Guru Misionaris GMIT,” ujarnya.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2024/08/03/wisudakan-308-sarjana-rektor-untrib-minta-sarjananya-harus-berinovasi-dan-berdampak/
Guru misionaris yang diutus sebanyak 6 orang ini ditugaskan di sekolah; TK Artha Asih 18 Angkasa Mali, SD GMIT Pulelang Mali, SD GMIT Palibo, SD GMIT 03 Kalabahi dan SD GMIT Aimoli.
Ketua Pengurus Yapenkris Pingdoling Dr. Fredrik Abia Kande dalam sambutannya mengatakan, gereja dan sekolah GMIT merupakan dua saudara kembar yang sudah semestinya mendapat perhatian yang sama dan setara dalam pelayanan.
“Bagi orang tua, bila memiliki anak kembar, lazimnya perhatian kepada dua saudara kembar sama, namun bila salah satu diabaikan tentu ia akan cemburu dan itu akan mempengaruhi tumbuh kembangnya,” kata Fredrik mengibaratkan pendidikan dan gereja seperti dua saudara yang lahir kembar.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2024/08/03/pj-bupati-alor-harap-308-sarjana-untrib-jadi-berkat-dan-jaga-keamanan-di-pilkada-alor-2024/
Sekalipun demikian, menurut Fredrik, patut diakui bahwa, dalam sejarah kedua saudara kembar tersebut kerapkali tidak beriringan bahkan saling menjauh, sehingga butuh perhatian yang sama.
“Itulah sebabnya diperlukan kesadaran kolektif dan semangat komunal untuk membangun kembali semangat yang sama agar perhatian terhadap sekolah GMIT tidak ketinggalan daripada pelayanan di dalam gereja sendiri,” jelasnya.
Dr. Fredrik menerangkan bahwa, faktor guru memegang peran yang sangat sentral dalam sistem persekolahan, sehingga kebutuhan guru di sekolah GMIT ini sudah harus mendapat perhatian serius dan segera ditanggulangi.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2024/07/27/semarak-hut-ke-17-untrib-ratusan-mahasiswa-jalan-pagi-dan-senam-aerobik/
Ia mengakui bahwa, sejak tahun 60-an setelah ada perbantuan tenaga guru dari pemerintah, gereja melalui badan penyelenggara seperti Pengurus Am Persekolahan GMIT dan Yupenkris tidak lagi menyiapkan guru sendiri.
“Situasi ini sudah berlangsung sangat lama hingga hari ini. Itulah sebabnya seiring dengan adanya pembatasan distribusi dan redistribusi tenaga PNS ke sekolah swasta termasuk sekolah GMIT termasuk ketiadaan guru P3K di sekolah GMIT maka Yayasan sudah harus menyiapkan gurunya sendiri,” ujarnya.
