Kalabahi, –
Sejumlah pengusaha asing dari berbagai negara yang selama ini mengontrak lahan dan berusaha di kepulauan Alor, Propinsi NTT, diduga tidak membayar retribusi ke kas daerah. Para pemodal asing tersebut bahkan ada yang sudah membeli lahan di pulau-pulau kecil menjadi hak milik untuk berusaha Homestay dan Diving.
Catatan redaksi media ini, pengusaha Asing yang diketahui kontrak lahan di Pulau Kepa bernama Sedrik dari Prancis. Ia dan istrinya sudah lama berusaha di Pulau mungil nan cantik itu. Di Wolwal, ada pengusaha asing bernama Max Howard dari Amerika. Max juga mengontrak lahan dan membuka usaha Homestay dan Diving bersama istrinya.
Kemudian di Java Toda ada satu orang pengusaha asing yang belum diketahui identitasnya, juga mengontrak lahan di sana. Mereka sudah lama tinggal di Java Toda yang dikenal memiliki keindahan alam laut terindah di dunia setelah kepulauan Karibia, Amerika Selatan.
Selanjutnya ada lagi satu orang pengusaha asing asal Australia yang kontrak lahan di Alor Kecil. Lalu, satu pria Manado bernama Can dan istrinya orang Asing juga kontrak lahan di Sebanjar. Ia dan istrinya diketahui sudah lama mengontrak lahan tersebut dan berusaha di sana.
Kontrak Lahan Tidak Ada Retribusi ke Daerah
“Kontrak lahan itu tidak ada retribusi (yang masuk) ke kami,” kata Plt. Kadis Pariwisata Kabupaten Alor Bernad Gen Al saat dikonfirmasi wartawan terkait penarikan retribusi atau pajak kontrak lahan oleh pengusaha asing di kepulauan Alor yang masuk ke kas daerah.
Bernad menjelaskan, pihaknya selama ini sulit mengontrol para pengusaha asing yang berusaha di kepulauan Alor karena dari sisi regulasi, ia tidak berwenang.
Selain itu hal yang sulit bagi pemerintah daerah untuk menarik retribusi ke kas daerah yaitu, para investor asing tersebut melakukan kontrak lahan milik masyarakat secara personal. Mereka bukan kontrak lahan milik Pemkab Alor.
“Persoalan adalah soal kepemilikan lahan. Kalau lahan itu sudah menjadi milik pemerintah ya mungkin (kita bisa tarik retribusi). Selama ini kan menjadi milik perseorangan. Jadi kami tidak bisa (tarik pajak retribusi),” terang dia.
Kadis Bernad mengakui jika lahan-lahan yang sudah ditetapkan pemerintah pusat sebagai zona konservasi SAP Alor Pantar dan laut sekitarnya serta zona pariwisata itu bahkan ada yang sudah dibeli para pengusaha asing. Kepemilikannya pun kini berstatus milik pribadi atau perseorangan.
“Java Toda itu kan (lahannya) sudah dibeli oleh yang sementara mengelola. Oleh investor (Asing). Sudah jadi milik personal. Di Alam Wolwal juga begitu. (Tanah) di bagian bawah itu kan dia (Max) sudah beli dan itu memang dia punya. Itu dia punya hak paten (milik pribadi). Jadi itu kontrak bukan dengan pemerintah daerah tapi dengan masyarakat,” terang Bernad.
Kadis Bernad menambahkan, selama ini pemerintah daerah hanya menarik retribusi dari usaha Diving. Besarannya ditetapkan berdasarkan Perda Alor sebesar Rp.50 ribu/orang/sekali Diving.
“Kami memang dari sisi pemerintah daerah hanya menerima (menarik) retribusia PAD dari Diving. Itu saja,” tutur Bernad, Senin (11/11/2019) di kantornya, Kalabahi Kota.
Retribusi dari Dive Center
Lanjut Bernad: “Ada retribusi dari 8 Dive Center juga (kami tarik). Rp. 50 ribu per orang per sekali Diving. Itu sedang berjalan. Kemarin sidang di DPRD ada yang tanya berapa jumlah wisatawan Diving di Alor? Kami belum tahu pasti. Tapi retribusianya sedang kami tarik dari Diving saja,” pungkasnya.
Selain pengusaha Asing, informasi yang dihimpun media ini, beberapa pengusaha dari luar daerah juga mengontrak lahan milik warga dan berusaha di sektor Pariwisata. Mereka pun diduga tidak membayar pajak retribusi ke daerah.
Hal tersebut diketahui sesuai catatan penerimaan yang terbaca di dokument APBD Alor setiap tahunnya. Itu sebabnya PAD kita masih bertengger di angka Rp. 57.578.228.000,- dari total APBD Alor Tahun 2019 sebesar Rp. 1.120.798.236.134,-. (*dm).