Kalabahi –
Sejumlah aktivis Nusa Kenari menyoroti kinerja Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan DPRD Kabupaten Alor terkait sanksi penundaan transferan DAU 35% atau sebesar Rp 224 Miliar oleh pemerintah pusat. Menurut mereka TAPD dan DPRD dinilai tidak cermat dan cepat melakukan realokasi atau refocusing APBD sesuai petunjuk pemerintah pusat dalam rangka percepatan penanganan covid-19.
Mereka menyebut kinerja TAPD dan DPRD buruk karena lambat dalam menterjemahkan dan mengeksekusi ketentuan SKB Menkeu dan Mendagri Nomor: 119/2813/SJ dan 117/KMK.07/2020, serta PMK No.35/2020.
PMK Nomor.35/PMK.7/2020 tentang pengelolaan dana transfer ke daerah dan dana desa TA 2020 dalam rangka penanganan pandemi covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional.
“Kenapa lambat? Itu yang musti dicaritahu di TAPD itu. Lambatnya dimana? Apakah OPD-OPD itu tidak melakukan penyesuaian mereka punya RKA DPA ataukah TAPD sudah siap tetapi melihat kisruh politik di DPRD, mereka tidak mengirim barang ini. Atau bisa saja mereka sudah kirim ke DPRD tetapi belum dibahas karena kisruh ruangan ini,” ujar aktivis senior, Machris Mau, SP, Sabtu (9/5) di Kalabahi.
Machris mengatakan, Alor terkena sanksi penundaan DAU 35% atau sebesar Rp 224 Miliar dari total DAU Alor sekitar 640 Miliar lebih oleh Kemenkeu karena daerah terlambat melakukan realokasi/refocusing APBD untuk penanganan covid-19 dan jaring pengaman social.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/05/08/sidang-kode-etik-bk-akan-panggil-ketua-dprd-alor-hamid-haan-dan-kepolisian/
Ia menjelaskan kebijakan realokasi atau refocusing tersebut dikeluarkan pemerintah pusat sudah sejak bulan Maret dan batas akhirnya tanggal 29 April 2020. Namun karena sampai tanggal 29 April daerah belum melakukan realokasi APBD sesuai petunjuk PMK maka Kemenkeu keluarkan sanksi hampir sekitar 380-an kabupaten/kota mengalami penundaan DAU termasuk Alor.
Machris menambahkan, dalam kondisi covid-19 seperti ini kinerja DPRD sudah merupakan lembaga modern yang semestinya surati pemerintah daerah meminta penjelasan realokasi APBD ketika pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan realokasi APBD. DPRD kata Machris belum menunjukan kinerja yang profesional. Mereka tidak membahasa usulan pemerintah terkait dana penanganan covid-19 Rp 15,8 Miliar.
“Dalam situasi seperti begini, DPRD sudah merupakan lembaga modern, tata kelola pemerintahan yang modern itu Legislatif tidak boleh tunggu bola. Mereka itu penyelenggara pemerintahan sehingga harus proaktif berbuat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang sekiranya lambat. Jangan tunggu. Bersurat RDP dan segala macam, begitu,” ujarnya.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/05/05/aksi-pukul-meja-sidang-kode-etik-5-anggota-dprd-alor-ricuh/
Machis mengungkapkan, penundaan DAU 35% tersebut sangat berpengaruh terhadap pelayanan pemerintah daerah khususnya penanganan covid-19 maupun pelayanan kemasyarakatan lainnya.
“Konsekuensinya adalah aktivitas penanganan covid-19 tidak bisa jalan, kecuali hanya belanja-belanja gaji, operasional, itu saja yang bisa,” jelasnya.
Menurut Machris, ada dua faktor yang mempengaruhi penundaan transferan DAU 35% oleh pemerintah pusat.
Pertama; Pemda belum menyampaikan Laporan Penyesuaian APBD termasuk penyesuaian anggaran Covid-19 secara lengkap dan benar sampai batas waktu yang ditentukan.
Kedua; Pemda sudah menyampaikan Laporan Penyesuaian APBD tetapi tidak sesuai ketentuan SKB Menkeu dan Mendagri Nomor: 119/2813/SJ dan 117/KMK.07/2020, serta PMK No.35/2020.
“Saya menduga bahwa walaupun ada persetujuan Legislatif terhadap penggunaan APBD pra Perubahan APBD akan tetapi tidak berpedoman pada regulasi teknis yang di sampaikan Kemenkeu. Kenapa? Menurut saya hanya karena dua hal pokok yang saya jabarkan di atas,” pungkasnya.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/05/08/dipanggil-bk-gmki-serahkan-bukti-dugaan-ketua-dprd-alor-langgar-kode-etik/
Aktivis Nusa Kenari Abdullah Apah juga membeberkan sangsi DAU Alor tertunda 35%. Ia mengatakan sanksi tersebut terjadi sebagai akibat Bupati dan DPRD Alor tidak serius membangun daerah.
Abdulah, mengungkapkan, dirinya mengikuti wacana diskusi penundaan tranferan DAU 35% yang berkembang di masyarakat. Dia menyebut, ada Anggota DPRD yang malah justru menghindar dan mencari pembenaran diri di saat pemerintah pusat memberikan sanksi.
“Saya salut ada upaya pembelaan publiknya oleh beberapa Anggota DPRD Alor. Hal ini hal yang wajar dan biasa saja sebagai manusia. Namun yang perlu harus disampaikan kepada publik juga bahwa DPRD itu unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang ikut bertanggung jawab terhadap maju mundurnya daerah sesuai perintah konstitusi,” jelasnya.
Wakil Sekretaris DPP Demokrat itu meminta DPRD Alor tidak boleh menghindari masalah ini. Ia kesal terhadap pemerintah dan DPRD yang tidak mengeksekusi kebijakan pemerintah pusat, realokasi APBD secara baik sehingga daerah dirugikan.
“DPRD tidak boleh cuci tangan terhadap sanksi administrasi dari pemerintah pusat, yakni Pemotongan DAU Alor sebesar 35%. Ini adalah bentuk kelalaian dan ketidak seriusan Bupati dan DPRD dalam mengelola daerah ini. Urusan administrasi saja bisa seperti ini, bagaimana masyarakat bisa berharap soal pembangunan fisik dan kesejahteraan. Pantas saja pekerjaan fisik di mana-mana menuai masalah soal kualitas dan lain sebagainya,” ungkapnya.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/05/07/tanya-kisruh-dprd-bupati-alor-itu-internal-biar-dorang-baku-naik-di-situ/
Abdulah menyinggung kisruh Anggota DPRD Alor beberapa waktu lalu. Ia mengaku kisruh tersebut menjadi faktor, membuat DPRD tidak serius menjalankan tugas dan fungsinya sehingga berdampak daerah harus mendapatkan sanksi dari pemerintah pusat.
“Persepsi dan pandangan masyarakat soal kinerja DPRD Alor hal yang wajar karena memang demikian keadaannya. DPRD sibuk beda pendapat urusan internal soal beda ruang sampai imbas saling lapor berujung adu mulut siapa yang lebih besar suaranya. DPRD tidak boleh mengabaikan etik dan harus respek dengan persoalan bangsa saat ini. Rakyat butuh perhatian serius. Untuk apa ada tiga fungsi DPRD kalau saja masih menyalahkan pemerintah daerah,” kesalnya.
Abdulah meminta pemerintah dan DPRD perlu jujur menyampaikan ke publik tentang apa penyebab daerah harus terkena sanksi penundaan DAU 35%.
“Mengapa ada 6 daerah di NTT yang bisa lolos sedangkan lainnya termasuk Alor kena pinalti atau sanksi administrasi berupa pemotongan DAU? DPRD perlu jujur menjelaskan ke publik. Rakyat ingin tahu itu,” pungkasnya.
Diketahui, sejak corona merebak di Indonesia, Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah beleid agar pemda melakukan realokasi anggaran.
Salah satunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.07/2020 yang menjadi dasar penundaan penyaluran DAK bulan ini.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/05/07/ketum-psi-grace-natalie-respon-kisruh-politik-dprd-alor/
Sebelumnya, Kemenkeu meminta pemda untuk segera menaati instruksi realokasi dan refocusing APBD untuk penanganan corona. Ada tiga hal yang menjadi perintah Kemenkeu untuk melakukan realokasi.
Pertama, rasionalisasi belanja barang, jasa, dan belanja modal masing-masing minimal sebesar 50 persen. Kemudian rasionalisasi belanja pegawai dan belanja lainnya dengan memperhitungkan perkiraan penurunan pendapatan daerah.
Kedua, pemda melakukan rasionalisasi belanja daerah dengan memerhatikan kemampuan keuangan daerah, seperti rasionalisasi belanja barang, jasa, dan belanja modal sekurang-kurangnya 35 persen; penurunan pendapatan asli daerah (PAD) yang ekstrem; dan perkembangan pandemi corona di daerah masing-masing.
Ketiga, pemda menggunakan hasil rasionalisasi belanja daerah tersebut untuk penanganan corona, penyiapan jaring pengaman sosial, dan pemulihan ekonomi daerah.
Bagi pemda yang laporan penyesuaiaan APBD-nya belum sesuai ketentuan dan kriteria evaluasi sebagaimana tersebut di atas, dapat segera melakukan revisi laporan tersebut dan menyampaikan kembali kepada Kementerian Keuangan.
Kemenkeu akan segera menyalurkan DAU bulan Mei 2020 jika pemda Alor cepat memperbaiki laporan keuangannya. Namun jika tak kunjung melapor, penundaan akan tetap berlaku. (*dm).