Jakarta –
Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Peraturan MA No. 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan, tertanggal 4 Desember 2020.
Secara khusus pada Pasal 4 ayat (6) mengatur terkait kewajiban adanya izin Hakim/Ketua Majelis Hakim untuk dapat ‘pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual’ dalam proses persidangan, dan harus dilakukan sebelum dimulainya persidangan.
Selain itu pada Pasal 7 Perma No. 5 Tahun 2020 ini juga mengkualisifikasikan pelanggaran pada Pasal 4 ayat (6) itu sebagai contempt of court atau penghinaan terhadap pengadilan.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menilai kebijakan yang ditetapkan MA tersebut akan menghambat fungsi dan peran Pers dalam mencari dan menyiarkan informasi kepada publik.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/12/27/aji-desak-ma-cabut-ketentuan-pengambilan-foto-dan-rekaman-di-persidangan/
“Kehadiran jurnalis dalam proses persidangan merupakan bagian dari keterbukaan informasi publik dan jaminan atas akses terhadap keadilan,” tulis LBH Pers dalam rilis yang diterima wartawan, Selasa (22/12/2020) di Kalabahi.
“Selain itu, Pasal 4 ayat (3) UU Pers telah memberi jaminan terhadap kemerdekaan pers, dengan memberi hak kepada pers nasional dalam hal untuk mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Sehingga semestinya MA tidak menghalangi kerja jurnalistik melalui Perma,” lanjut LBH Pers.
LBH Pers menilai, MA tidak semestinya menganggap kehadiran jurnalis yang mengambil foto, rekaman audio dan atau rekaman audio visual sebagai gangguan terhadap peradilan.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/12/24/alor-kirim-60-sampel-swab-test-corona-di-kupang-menggunakan-helikopter/
“Peran dan fungsi jurnalis kami nilai dapat meminimalisir praktik mafia peradilan yang dapat mengganggu independensi hakim dalam memutus. Keberadaan jurnalis di ruang persidangan penting untuk menjamin proses peradilan berjalan sesuai peraturan yang berlaku dan terpenuhinya akses untuk keadilan. Sebab dengan terbatasnya akses di ruang persidangan, diyakini akan membuat mafia peradilan makin bebas bergerak tanpa pengawasan jurnalis,” kata LBH Pers.
Larangan mengambil foto, rekaman audio dan atau rekaman audio visual hanya boleh pada kasus kesusilaan atau anak.
Sementara pada pada prinsipnya persidangan terbuka untuk umum sebagaimana diatur Pasal 153 ayat (3) KUHAP dan Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman. Sehingga pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual merupakan bagian dari prinsip keterbukaan informasi publik tidak relevan harus didahului izin hakim atau ketua majelis hakim.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/12/21/bupati-alor-digugat-perdata-di-pengadilan-soal-utang-kontraktor/
Sebagai konsekuensi jika proses persidangan tidak dibuka untuk umum maka putusan pengadilan bisa batal demi hukum.
Keinginan MA untuk mengatur tata tertib dalam persidangan, khususnya terkait pendokumentasian ini bukan yang pertama. Sebab pada 7 Februari 2020 lalu, MA melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA Nomor 2 tahun 2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan, yang isinya tak jauh berbeda, salah satunya mengatur ketentuan ‘Pengambilan Foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan’. Meski pada akhirnya surat edaran ini dicabut dengan banyaknya penolakan dari berbagai kalangan.
“Berdasarkan uraian di atas, LBH Pers mendesak Mahkamah Agung untuk mencabut Perma No. 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkup Pengadilan karena dapat menghambat hak pers dalam mencari, mengelola dan menyebarluaskan gagasan dan informasi,” tegas LBH Pers.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/12/21/harta-kekayaan-ketua-dprd-alor-digugat-iparnya-di-pengadilan-kalabahi/
Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) Sebut Larangan Memfoto, Merekam dan Meliput Persidangan Dainggap Tutup Informasi Publik
Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) menyebutkan, larangan memfoto, merekam dan meliput persidangan oleh Hakim/Ketua Majelis Hakim dianggap tutup informasi publik. Larangan itu disebut baru relevan ketika Hakim terganggu dan bukan dikeluarkan berbasis izin.
MA melalui Peraturan MA No. 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan, terdapat hal yang menjadi sorotan, yaitu pengaturan pada Pasal 4 ayat (6).
Perma tersebut yang menyebutkan “Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin Hakim/Ketua Majelis Hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya persidangan.
Sebelumnya hal yang sama pernah diatur MA melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan yang ditandatangani pada 7 Februari 2020.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/12/18/polda-ntt-tetapkan-bupati-alor-tersangka-kasus-penghinaan/
Dalam surat edaran tersebut diatur ketentuan yang menyatakan bahwa “Pengambilan Foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan”. Larangan ini akhirnya dicabut oleh MA. Selain itu perbedaannya kali ini, MA memberikan kewenangan kepada Hakim/Ketua Majelis Hakim dan bukan Ketua Pengadilan Negeri.
KPP memandang pada sidang yang terbuka untuk umum, maka mengambil foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual adalah bagian dari akses terhadap keadilan dan keterbukaan informasi publik yang justru harus dijamin oleh Mahkamah Agung, khususnya dalam hal diambil dengan tidak mengganggu jalannya persidangan.
“Bahwa Izin dari Hakim/Ketua Majelis hakim baru relevan jika para pengunjung sidang termasuk media massa/jurnalis membawa peralatan atau dengan cara-cara yang pada dasarnya akan mengganggu tidak hanya persidangan namun pengadilan secara keseluruhan. Izin baru tepat dilakukan apabila Hakim/Majelis Hakim terganggu dalam menjalankan sidang,” tulis KPP dalam rilisnya, Selasa (22/12).
Dalam hal ini, koalisi memandang prinsip peradilan adalah terbuka untuk umum sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman, kecuali perkara mengenai kesusilaan atau anak. Bahkan implikasi ketika hal ini tidak terpenuhi maka putusan pengadilan tersebut bisa batal demi hukum.
Koalisi juga melihat dalam hal aturan ini diberlakukan, maka Mahkamah Agung juga harus menjamin bahwa setiap pengadilan wajib mengeluarkan materi terkait dengan persidangan yang sedang berlangsung baik dalam bentuk foto, gambar, audio, dan rekaman visual lainnya yang bisa diakses oleh masyarakat secara bebas dan aktual.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/12/20/alor-dua-pasien-positif-covid-19-total-jadi-14-orang/
“Sekedar melarang tanpa mewajibkan setiap pengadilan mengeluarkan materi terkait dengan persidangan, maka dalam pandangan kami, hal ini adalah bentuk penutupan akses informasi publik pada sidang yang terbuka untuk umum,” ujar KPP.
Koalisi juga mengingatkan bahwa larangan ini juga berdampak terhadap kerja-kerja Advokat yang membutuhkan dokumentasi materi persidangan untuk dapat melakukan pembelaan secara maksimal.
Selain itu, larangan ini juga akan berdampak bagi kerja-kerja teman-teman pemberi bantuan hukum yang dimana seringkali mengalami hambatan untuk mendapatkan akses keadilan di persidangan.
“Secara lebih luas, larangan ini akan berdampak serius terhadap akses keadilan masyarakat dan mereduksi keterbukaan informasi yang juga diwajibkan oleh hukum yang berlaku di Indonesia,” jelas KPP.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2020/12/19/yayasan-dola-koyakoya-gelar-pelatihan-pengusaha-muda-alor/
Koalisi juga memahami bahwa diperlukan ketenangan bagi Majelis Hakim yang menyidangkan perkara untuk dapat memeriksa dan memutus perkara dengan cermat dan hati-hati.
“Namun kami melihat ada cara lain yang dapat diberlakukan untuk dapat mengatur ketertiban di ruang sidang dengan memperhatikan kepentingan berbagai pihak terkait dalam persidangan, termasuk pihak yang membutuhkan akses keadilan dari Memfoto, Merekam dan Meliput Persidangan,” pungkas KPP.
Pernyataan KPP ini disampaikan di Jakarta pada tanggal 21 Desember 2020. Atas nama Koalisi Pemantau Peradilan; Dio Ashar (IJRS), Asfinawati (YLBHI), Sekar (Elsam), Julius Ibrani (PBHI), M. Afif (LBH Masyarakat), Erwin Natosmal Oemar (PIL-Net) dan Raynaldo Sembiring (ICEL). (*tim/tp).