LSM Sakshinor dan GAMKI NTT unjuk rasa di depan PN Kupang, Senin 7 Juli 2025 menuntut eks Kapolres Ngada FWLS dihukum berat. (Foto: doc GAMKI NTT).
Kupang – Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) Provinsi NTT mendesak Hakim Pengadilan Negeri Kupang menjatuhkan vonis hukuman maksimal terhadap bekas Kapolres Ngada Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja (FWLS), terdakwa percabulan anak.
Desakan itu disampaikan Ketua DPD GAMKI NTT Winston Rondo ketika ikut bersama LSM Solidaritas Anti Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Kelompok Minoritas dan Rentan (Sakshinor) menggelar unjuk rasa saat sidang terdakwa eks Kapolres Ngada di depan PN Kupang, Senin, 7 Juli 2025.
Winston dalam orasinya menuntut Hakim PN Kupang untuk menjatuhi vonis hukuman maksimal lebih dari 15 tahun terhadap Eks Kapolres Ngada FWLS karena perilaku terdakwa itu sudah menjadi atensi publik Nasional.
“Kami saksi minor telah berjuang dari jalanan hingga ruang-ruang pengadilan, hingga ruang politik DPR RI dan Komnas HAM. Kami dengan sangat tegas mendesak hukuman maksimal bagi pelaku pelanggaran Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS),” katanya.
“Pejabat publik yang melakukan kejahatan seksual harus dihukum berat. Hukuman bukan sekadar penjara, tapi pesan kepada setiap aparat: kalian bukan kebal hukum. Efek jera harus nyata, agar tidak ada lagi anak dan perempuan yang menjadi korban kebiadaban mereka yang berseragam,” tambah Winston.
Winston Rondo mengatakan, krisis kekerasan seksual di NTT adalah wajah kegagalan sistem yang seharusnya dilindungi oleh penegak hukum, namun fakta yang terjadi di masyarakat sangat berbeda.
“Darurat kekerasan seksual di NTT adalah krisis moral bangsa. NTT sedang terluka. 75 persen narapidana di 18 lapas adalah pelaku kekerasan seksual. Ini bukan sekadar angka. Ini adalah wajah kegagalan sistem. Anak-anak, balita yang seharusnya dilindungi, justru menjadi korban predator yang menyamar sebagai penegak hukum,” tegasnya.
Winston tegas meminta Polri dan Kejaksaan harus berhenti melindungi pelaku kekerasan seksual pada anak. Ia meminta seharusnya lembaga penegak hukum melindungi kelompok minoritas dan rentan seperti perempuan dan anak-anak.
“Kami mendengar bisik-bisik di koridor kekuasaan, indikasi kuat bahwa diduga Polri dan kejaksaan mencoba melindungi eks Kapolres Ngada. Saudara-saudara, ini adalah tamparan bagi keadilan. Polisi dan Jaksa yang seharusnya menjadi benteng perlindungan justru menjadi duri dalam daging rakyat. Jika Polri dan Jaksa melindungi pelaku, siapa lagi yang akan melindungi anak-anak dan perempuan kita,” ucapnya.
Mantan Ketua GMKI Kupang itu meminta kerja sama antara Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Kota Kupang dan Hakim PN Kupang agar terdakwa eks Kapolres Ngada itu dituntut hukuman maksimal dan dijatuhi vonis seberat-beratnya sehingga ada keadilan untuk korban dan memberikan efek jera di masyarakat.
Dilansir Floresa.co, Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (Kejati NTT) menjerat eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja yang mencabuli tiga anak di bawah umur dengan pasal berlapis karena tindakannya dinilai sebagai bagian dari kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Sementara itu sejumlah elemen pemerhati perempuan dan anak di NTT meminta kejaksaan untuk menambahkan pasal terkait UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan narkotika karena yang dipakai sejauh ini hanya terkait kekerasan seksual.
Wakil Kepala Kejaksaan NTT, Ikhwan Nul Hakim menyatakan Fajar wajib ditindak secara tegas untuk memberikan keadilan bagi para korban serta perlindungan hukum yang maksimal bagi anak-anak sebagai kelompok rentan.
Ikhwan berkata, Fajar diduga kuat telah melakukan sejumlah tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak.
“Selain itu, ia diduga melakukan eksploitasi seksual anak di bawah umur serta menyebarkan konten bermuatan kesusilaan melalui media elektronik,” katanya pada 10 Juni seperti dilansir Antara.
Fajar dilaporkan melakukan kekerasan seksual terhadap tiga orang anak di bawah umur dan satu perempuan dewasa. Delapan video kekerasan seksual itu kemudian diunggah ke situs porno berbasis di Australia.
Kasus ini terungkap pada pertengahan 2024 setelah otoritas Australia melaporkan kepada pemerintah Indonesia temuan video yang diunggah di situs porno. Laporan tersebut mendorong Mabes Polri melakukan penyelidikan.
Setidaknya ada tiga korban anak di bawah umur dalam kasus ini, masing-masing berusia enam tahun, 13 tahun dan 16 tahun.
Kejati NTT menyatakan, untuk korban pertama yang berusia enam tahun, Fajar dijerat dengan Pasal 82 Ayat (1) juncto Pasal 76 E Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Ancamannya adalah pidana penjara antara 5-15 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.
Fajar juga dijerat dengan Pasal 12 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun penjara dan atau denda maksimal Rp1 miliar.
Selain itu, Fajar dijerat dengan Pasal 45 Ayat (1) juncto Pasal 27 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman penjara maksimal enam tahun dan Rp1 miliar.
Sementara untuk dua korban lainnya yang berusia 13 dan 16 tahun, Fajar dijerat dengan pasal 81 Ayat (2) UU Perlindungan Anak, dengan ancamannya pidana penjara 5-15 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.
Fajar juga dijerat Pasal 6 huruf c juncto pasal 15 Ayat (1) huruf f dan g UU TPKS, dengan ancaman pidana penjara paling lama 12 tahun dan denda maksimal Rp300 juta.
Ikhwan Nul Hakim berkata, Fajar melancarkan aksinya secara berulang dalam kurun waktu Juni 2024 hingga Januari 2025 di Kota Kupang.
Tindakan itu, kata dia, melibatkan pemanfaatan relasi kuasa, penggunaan tipu daya serta pelibatan pihak lain untuk mengatur pertemuan dengan korban.
Dalam melancarkan aksinya, Fajar dibantu oleh Fani, seorang mahasiswi yang juga sudah menjadi tersangka.
Fani, kata Ikhwan, menjadi pemasok anak-anak di bawah umur kepada Fajar.
“Selain itu, tersangka (Fajar) juga merekam sebagian dari aksi kekerasan tersebut dan menyebarkannya melalui situs gelap (dark web),” katanya.