Tim Penasehat Hukum korban kasus pemerkosaan di Kabupaten Alor meminta semua pihak sementara ini tidak diperkenankan menemui korban. Sebab, sejumlah kliennya yang saat ini mereka dampingi masih mengalami trauma serius sejak diperkosa eks vikaris GMIT, SAS (36th).
“Korban masih trauma. Untuk itu kami minta tidak ada pihak manapun yang menemui dan berkomunikasi dengan korban tanpa seizin atau sepengetahuan dari kami karena dapat mengganggu korban yang sedang dalam masa pemulihan,” kata PH korban Andryan E. Boling, SH, melalui rilis yang diterima wartawan, Kamis (15/9) di Kalabahi.
Andyan meminta semua pihak yang hendak melakukan pendampingan pemulihan psikologi korban maupun untuk kepentingan yang berkaitan dengan itu agar dapat berkoordinasi dengan tim hukumnya.
“Kami mengajak pihak-pihak terkait untuk saling berkoordinasi dalam upaya pemenuhan perlindungan khusus bagi para korban serta serta mendorong proses hukum terhadap pelaku,” ujarnya.
Ia juga mendorong semua pihak untuk membantu mendorong perlunya pemberian restitusi dan/atau kompensasi terhadap para korban karena hal tersebut dapat membantu pemulihan psikologi mereka.
Selain itu, Andryan meminta penyidik untuk melakukan penyidikan lebih lanjut terhadap adanya dugaan sejumlah korban lain yang belum beranikan diri melapor ke kepolisian.
“Karena (kasus) persetubuhan anak di bawah umur bukan merupakan delik aduan sehingga jika tidak ada yang melapor kepada pihak kepolisian maka penyelidik wajib melakukan penyelidikan dan menindak jika ada lagi korban lain,” ungkapnya.
“Selanjutnya kami mendorong penyidik Polres Alor perlu mendalami peran pelaku lain yang diduga terlibat dalam memfasilitasi tersangka SAS melakukan kejahatannya,” lanjut Andryan.
Andryan menyesalkan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan gereja dan pelakunya merupakan vikaris SAS (calon pendeta) yang seharusnya menjadi panutan dan teladan bagi umatnya.
Ia kemudian meminta gereja GMIT melakukan pembenahan-pembenahan serius di internal pasca menjatuhkan sanksi pembatalan penabhisan SAS menjadi pendeta.
Andryan juga mendorong penegakan hukum yang humanis dan berkeadilan dengan melihat nasib anak-anak sebagai korban kekerasan seksual ini.
Dia pun menegaskan bahwa perbuatan pelaku SAS ini tidak dapat ditolerir dan harus mendapatkan hukuman maksimal karena status vikaris SAS ini merupakan orang yang ditokohkan dalam Jemaat.
Selain itu, SAS juga perlu mendapat hukuman berat karena jumlah korbannya anak-anak sudah mencapai 10 orang ditambah 4 orang dewasa atau usia 19 tahun. Korban juga kemungkinan akan terus bertambah.
Kantor Hukum Andryan E. Boling, SH dan Partners yang diwakili Advokat Andryan E. Boling, SH, Deddy S. Djahapay SH, Jimmy Daud, SH.,M.H, Yohanis Peni, SH dan Victorandy Seo, SH, telah resmi ditunjuk menjadi penasehat hukum korban.
Andryan mengatakan, kepercayaan yang telah diberikan oleh sejumlah korban dan keluarganya ini membuat mereka akan konsisten mendampingi korban untuk mewakili kepentingan hukumnya demi mendapatkan keadilan dan kepastian hukum. (*dm).