Tentang Mery Kolimon Tolak Hukuman Mati, Obyektivitas Bantuan Hukum GMIT dan Dugaan Pelaku Lain di Kasus SAS

Gambar Ilustrasi. (Sumber Foto: cnnindonesia.com).
Gambar Ilustrasi. (Sumber Foto: cnnindonesia.com).
Kalabahi –
Ketua Majelis Sinode GMIT Pdt. Dr. Mery Kolimon menolak keras hukuman mati yang diterapkan dalam KUHP Indonesia. Pernyataan Pdt. Mery Kolimon tersebut menjadi viral di tengah penyidik Polres Alor Polda NTT menerapkan pasal pidana mati terhadap eks Vikaris GMIT SAS (36th), tersangka kasus pemerkosaan sejumlah korban anak PAR GMIT di Kabupaten Alor.
“Bapak Jhon, sebagai orang Kristen saya akan tetap berdiri untuk menolak hukuman mati,” tulis Pdt. Mery menjawab Jhon Liem, yang dilihat wartawan di Grup WhatsApp FDS GMKI Kupang, Senin (5/9). Komentar keduanya itu merespon diskusi dukungan warga net terhadap penerapan pasal hukuman mati yang dicancumkan Penyidik Polres Alor dalam berkas perkara SAS dan dalam kasus vonis PN Kupang terhadap terpidana mati, Randy Badjidh.
Pernyataan Ketua Sinode GMIT ini menurut sejumlah pihak menjadi reprensentasi Gereja menolak hukuman mati di kasus SAS yang adalah bekas Vikarisnya. Pernyataan ini sontak membuat public Alor terkejut di tengah tuntutan pidana mati terhadap SAS.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2022/09/09/berhentikan-sas-dari-satatus-vikaris-majelis-sinode-gmit-minta-maaf-ke-korban/
Tuntutan permintaan keadilan hukum mati pada SAS itu tergambar dari pernyataan Ibunda korban yang meminta aparat penegak hukum menerapkan pasal pemberatan termasuk di dalamnya pidana mati bagi tersangka SAS. Sebab perbuatan SAS disebut sadis dan telah merusak masa depan anaknya.
“Pelaku harus dihukum mati. Sadis dia. Saya saja trauma, apalagi anak saya. Seorang Vikaris ko buat dan ancam anak saya seperti itu. Hancur sekali saya melihat masa depan anak-anak saya,” kata ibunda korban dihubungi wartawan, sembari menangis pada hari Selasa malam.
Harapan Ibunda korban pada penerapan pasal pidana mati terhadap tersangka SAS ini menjadi potret bahwa keadilan perlu ada di kasus SAS. Sebab kasus kekerasan seksual yang sama dengan tuntuttan pidana mati juga terjadi pada kasus 13 siswi di pondok pesantren Hery Wirawan di Bandung, Jawa Barat. Herry kemudian dituntut hukuman mati oleh Jaksa, namun Majelis Hakim PN Bandung menjatuhkan vonis hukuman penjara seumur hidup. Kasus tersebut masih dilakukan banding dan kasasi oleh PH Herry.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2022/09/09/korban-bejat-tersangka-vikaris-gmit-sas-terus-bertambah-sebagian-lapor-polisi-hari-ini/

Di tengah tuntutan pidana mati bagi pelaku SAS, muncul komentar Mery Kolimon yang menolak pidana mati. Inikah dukungan Sinode GMIT pada korban kekerasan seksual pada 8 anak di Kabupaten Alor yang disebut memberikan hukuman seberat-beratnya pada SAS tanpa tegas menyebut pidana mati baginya?

Menanggapi postingan dan komentar Pdt. Mery Kolimon, Ketua Badan Keadilan dan Perdamaian (BKP) Sinode GMIT, Pdt. Hendriana Taka Logo, S.Th mengatakan, postingan dan komentar Pdt. Mery Kolimon di media sosial tersebut adalah postingan atas nama pribadi, bukan atas nama lembaga GMIT. Publik Alor diminta untuk bisa memilahkan posisi postingan Mery Kolimon dalam kapasitas sebagai pribadi maupun dalam jabatan Ketua MSH GMIT.
“Menyangkut dengan postingan Ibu Ketua (MSH GMIT Pdt. Mery Kolimon) itu postingan pribadi, bukan (sikap) lembaga (GMIT). Jadi kita harus bisa memilah itu. Gereja sangat mengecam kasus ini. Kami berharap ada hukuman seberat-beratnya pada pelaku,” kata Ketua BKP MS GMIT, Pdt. Hendriana Taka Logo, ketika jumpa pers di Resto Mama, Kalabahi, Jumat (9/9) siang.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2022/09/09/wakil-rektor-i-untrib-tutup-kegiatan-ordik-2022/
Postingan Pdt. Mery Kolimon tersebut membuat public Alor dan para pencari keadilan gelisah terhadap ancaman pasal pidana mati dalam UU Perlindungan Anak yang diterapkan penyidik Unit PPA Polres Alor kepada tersangka SAS, akan sejalan dengan vonis hakim nanti.
Kegelisan public juga makin meronta-ronta, karena dalam kasus ini, penasehat hukum korban diambil alih oleh Tim Kuasa Hukum dari Rumah Harapan GMIT, yang dipimpin Ester Mantaon, SH. Sementara Penasehat Hukum Pelaku SAS, Amos Lafu, SH.M.H juga masih menjabat sebagai Anggota Badan Keadilan dan Perdamaian (BKP) Sinode GMIT. Ini membuat obyektivitas dan indepedepensi, pun harapan dari keluarga korban terhadap putusan pidana mati yang diinginkan, dipandang seperti jauh dari harapan.
Padahal obyektivitas dan independensi penasehat hukum untuk membuka seterang-terangnya perilaku bejat dari eks Vikaris GMIT SAS terhadap 8 korban anak PAR GMIT ini sangat dinanti masyarakat Alor. Karena ada rumor yang berkembang bahwa masih ada dua pelaku lain dan puluhan korban yang belum terungkap sehingga ini butuh pelibatan tim penasehat hukum dari Lembaga Advokat (di luar orang GMIT) yang independent untuk membongkar kasus ini seterang-terangnya.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2022/09/07/kecam-kekerasan-seksual-6-anak-alor-lpa-ntt-penyidik-perlu-penambahan-pasal-uu-tpks/
Sejauh ini Sinode GMIT belum mengumumkan secara resmi pelibatan Lembaga Advokat yang independent untuk bergabung menjadi penasehat hukum korban dalam membongkar perkara yang akhir-akhir ini disebut-sebut telah merusak citra GMIT.
Sebab hal ini juga diduga akan berpengaruh pada pengsutan kasus SAS karena isu yang berkembang berdasarkan pengakuan sejumlah orang tua korban dalam pertemuan bersama Tim Rumah Harapan GMIT di GMIT Anainfar bahwa diduga masih ada dua pelaku lain dan puluhan korban lain dalam kasus SAS ini, namun hal ini akan sulit terbongkar karena diduga masih terpengaruh pada otoritas Gereja.
Selain itu, penasehat hukum pelaku SAS, Amos Lafu, SH.,M.H, juga masih aktif menjabat dalam struktur Anggota Badan Keadilan dan Perdamaian (BKP) Sinode GMIT. Hal ini pun membuat public Alor makin ragu terhadap obyektivitas, independensi, dan keberpihakan Sinode GMIT pada korban yang sedang mengharpakan keadilan, hukum mati bagi pelaku SAS.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2022/09/07/pemuda-gmit-imbau-masyarakat-lindungi-identitas-korban-kekerasan-seksual-6-anak-alor/
Merespon posisi Anggota BPK Sinode GMIT Amos Lafu yang lebih memilih membela pelaku SAS di tengah citra Gereja yang sedang buruk, daripada ikut membela korban yang adalah anak PAR GMIT, Ketua BKP Sinode GMIT, Pdt. Hendriana Taka Logo, S.Th, menjelaskan bahwa itu hak Amos Lafu yang sedang menjalankan tugas profesinya sebagai pengacara.
“Menyangkut dengan Bapak Amos Lafu, kemarin saya sampaikan dalam pertemuan (dengan keluarga korban di GMIT Anainfar) bahwa itu profesionalitas beliau. Bahwa ketika dia mendampingi pelaku sebenarnya itu dia melaksanakan tanggung jawabnya secara profesional. Jadi kami dari Gereja (GMIT) kami tidak bisa membatasi yang bersangkutan. Karena mereka (Amos Lafu) ketika ada dalam tim kami dalam Satgas itu kami minta profesionalitas mereka untuk menolong kami. Jadi ketika mereka mau menolong orang lain, kami tidak bisa membatasi. Itu dari hati nurani,” jelasnya.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2022/09/06/polisi-tetapkan-vikaris-gereja-tersangka-pemerkosaan-anak-ahli-hukum-kebiri/
“Tapi yang pasti ketika beliau (Amos Lafu) akan mendampingi pelaku, beliau sudah menyampaikan ke kami bahwa tujuannya sama untuk keadilan dan kebenaran. Karena itu beliau tetap menyampaikan bahwa kita tetap mengadvokasi supaya kalau masih ada anak-anak yang menjadi korban itu harus diasesmen dengan baik supaya kalau bisa melapor, melapor lagi. Jadi kehadiran beliau itu walaupun berbeda tapi dia bukan sebagai (Anggota) BPK tapi sebagai pengacara. Jadi itu kode etik pengacara kan tidak boleh menolak perkara ya. Jadi kita harus (bisa) sama-sama memahami itu,” sambung dia.
Meski penasehat hukum pelaku dan korban adalah orang GMIT namun Pdt. Hendriana Taka Logo, memastikan bahwa Majelis Sinode GMIT tidak akan mengintervensi kasus ini dan proses hukum akan berjalan secara obyektif dan independent.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2022/09/03/vikaris-gmit-diduga-perkosa-6-anak-di-alor/
“Soal obyektif, kami pikir bahwa Gereja sangat menentang tentang hal-hal ini. Jadi persoalan-persoalan ini akan terus dikawal, tidak ada intervensi-intervensi untuk pelaku tidak mendapatkan hukuman yang berat, tapi sebaiknya bahwa karena Gereja mengecam maka kami juga meminta kepada Kapolres untuk dia (SAS) mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya. Karena itu kami berharap, misalnya di lapangan kalau masih ada korban diharapkan segera melapor supaya hukuman (SAS) bisa mendapatkan seberat-beratnya. Itu harapan kami. Jadi jangan berpikir bahwa dia (pelaku) adalah Vikaris, seolah-olah kami dari Gereja membela. Tidak. Kami tetap berpihak pada korban dan keluarga bahwa yang bersalah dia harus dihukum dengan seberat-beratnya,” tegas Pdt. Hendriana Taka Logo, sambil tidak begitu mempertegas dukungan Gereja pada pidana mati bagi SAS.
Ada wacana tuntutan Pak Amos Lafu diberhentikan sementara dari status Anggota BKP Sinode GMIT sehingga bisa menjaga objektivitas dan keberpihakan Gereja pada korban dalam perkara ini? Pdt. Hendriana Taka Logo mengatakan:
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2022/09/03/sinode-gmit-respon-vikarisnya-yang-diduga-perkosa-6-anak-di-alor/
“Ah, saya pikir itu hal-hal yang kami tidak bisa sampai di situ karena dari awal pengacara-pengacara ketika ada di tim kami, kami tetap memberikan kewenangan dan keterbukaan kepada mereka. Mau menolong orang lain itu hak mereka, hak profesionalitas mereka. Jadi kami dari Gereja juga harus menghargai itu,” ungkapnya.
Selain itu, soal ada pelibatan bantuan hukum dari Lembaga Advokat bagi korban sehingga perkara ini bisa dibuka seterang-terangnya karena diduga masih ada dua pelaku lain dan puluhan korban lain? Pdt. Hendriana Taka Logo, menyatakan:
“Soal bantuan hukum nanti itu kita sama-sama dengan mama Ester (Mantaon). Dari awal saya sudah bilang bahwa kami dari BKP tidak terpisah dari RH (Rumah Harapan GMIT). Kami satu, kami dari GMIT,” ujarnya.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2022/09/04/gmki-desak-kapolda-ntt-tangkap-pelaku-pemerkosaan-6-anak-di-alor/
Anggota BKP Sinode GMIT Amos Lafu Bela SAS
Penasehat Hukum tersangka SAS, Amos Lafu, SH.,M.H, sebelumnya mengtakan bahwa terduga pelaku eks Vikaris GMIT SAS telah menunjuk kantor Advokat Amos Aleksander Lafu, SH.,M.H (ALR) dan rekan ALR sebagai Penasehat Hukumnya sesuai surat kuasa khusus yang diberikan tertanggal 3 September 2022.
“Kantor Advokat ALR menyatakan komitmennya mendampingi yang bersangkutan secara profesional, jujur dengan tetap menunjukkan empati yang mendalam atas para korban,” ujar Amos Lafu yang kini masih aktif menjabat sebagai Anggota BKP Sinode GMIT.
Amos menerangkan, ia dan timnya telah mengantar kliennya datang ke Alor pada hari Senin (5/9) guna memenuhi panggilan penyelidik untuk memberikan keterangan secara jujur dan terbuka atas laporan 6 korban anak.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2022/09/03/sinode-gmit-respon-vikarisnya-yang-diduga-perkosa-6-anak-di-alor/
“Klien kami berjanji akan memberikan keterangan secara jujur, terbuka, tidak berbelit-belit demi membuat terang tindak pidana a quo,” jelas Amos, sambil mengatakan kliennya benar-benar mengaku khilaf dan meminta maaf pada Sinode GMIT, GMKI, serta korban dan keluarganya.
“Selanjutnya klien kami memohon doa dan dukungan dari semua kita untuk menjalani segala proses hukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” kata Amos yang pernah menjabat Pengurus Pusat GMKI periode lalu.
Fakta Baru, Ada Dugaan Dua Pelaku Lain
Tim Sinode GMIT menggelar dialog dengan pemerintah daerah (Dinas P3A, Dinas Sosial), LSM, Pers dan keluarga korban pada hari Kamis (8/9) di gedung ibadah Jemaat GMIT Anainfar Kenarilang. Tim yang datang, terdiri dari: Ketua BADAN Keadilan dan Perdamaian Sinode GMIT, Pdt. Hendriana Taka Logo, S.Th. Ketua Tim Hukum Rumah Harapan Sinode GMIT, Ester Mantaon, SH. Ketua Rumah Harapan GMIT, Fredrika Tadu Hungu, S.Th.,M.H. Ketua Tanggap Bencana dan Kemanusiaan, Ina Bara Pa.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2022/09/05/polisi-tangkap-vikaris-gereja-yang-perkosa-6-anak-di-alor/
Dialog tersebut terungkap fakta baru bahwa masih ada korban yang diduga mencapai puluhan orang namun ada yang belum berani melapor ke kepolisian. Sebelumnya fakta penyidikan Polisi menemukan 6 korban. Sementara pada Jumat (9/9) pagi tadi, dua korban baru berani ikut melapor ke Polisi sehingga total sudah 8 korban dari hasil perilaku dosa bekas Vikaris SAS ketika masih aktif bertugas sebagai Vikaris di salah satu Gereja GMIT di Alor.
Berdasarkan penelusuran wartawan, sejumlah orang tua dan korban kini sedang depresi dan tak mau dikonseling. Sebagian lainnya disebut-sebut tidak ingin melapor karena dianggap nanti mempermalukan jabatan Vikaris dan Gereja yang sangat dihormati dalam tatanan kebudayaan masyarakat Alor.
Dialog bersama Tim Sinode GMIT tersebut juga terungkap fakta baru dari orang tua korban yang menerangkan bahwa diduga masih ada dua pelaku lain yang diduga turut berperan mengantar dan menjemput korban ke Rumah Pastory Gereja tempat SAS tinggal ketika masih aktif menjalankan tugas vikariatnya pada bulan Mei 2021 hingga April 2022.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2022/09/05/penasehat-hukum-vikaris-sas-bantah-kliennya-ditangkap-polisi-di-kupang/
Kedua orang tersebut kini sedang berada di Kota Kupang. Menurut keterangan sejumlah orang tua korban, keterangan dugaan keterlibatan dua orang tersebut sudah dituangkan anak-anak mereka dalam berita acara pemeriksaan atau BAP di Kepolisian. Namun kedua terduga pelaku tersebut sejauh ini belum dipanggil penyidik untuk diperiksa menjadi saksi mahkota.
“Ada dua orang laki-laki yang tinggal sama-sama dengan Bapak Vikaris (SAS) di Pastory Gereja selama bertugas. Mereka ini yang jemput anak-anak kami bawa ke Pastory, terus bertemu Bapak Vikaris akhirnya berbuat hal-hal yang tidak kita inginkan. Kami harap kedua orang ini dijemput paksa di Kupang dan diperiksa. Mereka ada di Kupang waktu ikut sama-sama dengan Bapak Vikaris pergi ini yang sampai hari belum datang juga. Kami duga dorang dua ini di antar ke Kupang oleh Vikaris supaya kasus ini mereka dua jangan cerita di kampung. Mereka harus diperiksa karena keterangan kami dan anak-anak sudah di Polisi semua begitu,” kata sejumlah keluarga korban kepada wartawan usai dialog bersama Tim Sinode GMIT, Kamis (8/9) di Gereja GMIT Anainfar Kenarilang.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2022/09/05/vikaris-sas-mengaku-khilaf-dan-meminta-maaf-pada-gmit-dan-keluarga-korban/
Kapolres Alor AKBP Ari Satmoko yang dikonfirmasi mengatakan, ia belum mendapat laporan mengenai adanya dugaan pelaku lain yang diduga turut serta membantu melancarkan aksi bejat SAS ketika masih aktif bertugas sebagai vikaris di salah satu gereja GMIT di Alor. Meski demikian Kapolres memastikan akan meminta penyidik untuk menindaklanjuti dan mendalami informasi tersebut.
“Saya belum dapat laporan. Nanti saya cek ke penyidik ya. Kalau ada keterangan saksi demikian ya akan kita panggil (kedua terduga pelaku) untuk diperiksa,” kata AKBP Ari dihubungi, Jumat (9/9) malam di Kalabahi.
Kapolres Alor juga meminta, jika ada korban lain maka bisa melapor ke kepolisian untuk diproses cepat sehingga berkas perkara tersangka SAS bisa segera dilimpahkan ke Kejaksaan untuk selanjutnya disidangkan di PN Kalabahi, Alor. Hari Jumat (9/9) ada dua korban yang sudah beranikan diri melapor ke Polisi di dampingi keluarganya. Mereka diperiksa oleh tim penyidik dari Unit PPA Polres Alor di Polsek tempat korban berada. Dengan demikian maka hasil penelusuran wartawan, sudah ada 8 korban dari puluhan saksi yang diperiksa Polisi.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2022/08/22/bupati-amon-djobo-undur-diri-dari-pengurus-dpd-nasdem-alor/
Polisi Perlu Dalami Keterangan Dugaan Pelaku Lain
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Tribuana (Untrib), Setia Budi Laopada, SH.,M.H mengatakan, Penyidik Unit PPA Polres Alor perlu dalami informasi keterangan korban dan orang tuanya yang menyebut adanya dugaan pelaku lain yang diduga turut berperan menjemput korban untuk memuluskan aksi bejat SAS dalam melakukan tindak pidana pemerkosaan.
“Perlu ditelusuri apakah kedua terduga pelaku ini ketika menjemput korban ke situ (lingkungan Gereja) itu dia mengetahui dengan persis bahwa anak-anak yang dijemput itu akan diperlakukan secara tidak senonoh atau tidak. Menjemput itu untuk apa, niatnya apa, karena motif penjemputan ini penting untuk ditelusuri,” kata Budi.
“Kalau misalnya dia mengetahui dengan persis bahwa anak-anak korban yang dijemput itu mengalami pelecehan atau mengalami kekerasan seksual, dia mengetahui itu dan kemudian dia terus menjemputnya maka dapat dikategorikan sebagai salah satu dari pelaku. Dia masuk kategori pelaku pembantu yang membantu memperlancar perbuatan tindak pidana dari SAS,” lanjut Budi.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2022/08/22/nasdem-alor-tetap-solid-hadapi-pemilu-pasca-amon-djobo-mundur/
Karena itu Budi meminta penting untuk penyidik memanggil dan mendalami keterangan kedua terduga pelaku mengenai apa motif mereka menjemput korban anak-anak. Karena keterangan mereka itu akan sangat menentukan mereka bisa menjadi tersangka atau hanya menjadi saksi.
“Kalau misalnya motif jemputnya itu untuk kepentingan aktivitas di Gereja maka saya kira tidak bisa masuk unsur pidana pelaku pembantu, tetapi dia hanya bisa menjadi saksi,” jelasnya.
Budi menerangkan, bila keterangan korban dan orang tuanya ini sudah muncul di BAP maka penyidik berkewajiban mendalami keterlibatan adanya dugaan dua pelaku tersebut dengan meminta keterangan mereka.
“Karena sudah ada pelaku utama maka penting penyidik mendalami pelaku-pelaku lain. Sebab untuk menjadikan (tersangka) pelaku lain maka tidak perlu lagi ada delik aduan tapi sudah menjadi kewajiban Polisi untuk menentukan status hukumnya,” terang Budi.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2022/08/25/patje-tasuib-apresiasi-bupati-alor-yang-dukung-kegiatan-konven-pemuda-gmit-di-kolana/
Ribuan Aktivis Akan Gelar Aksi Tuntut Hukum Mati SAS
Pernyataan Ketua Majelis Sinode GMIT Pdt. Mery Kolimon yang menolak hukuman mati tersebut dikecam sejumlah aktivis kemanusiaan dan mahasiswa di Kabupaten Alor. Mereka memandang bahwa pernyataan tersebut merupakan sikap lembaga Sinode GMIT sehingga harapan keluarga dan pencari keadilan untuk korban kekerasan seksual yang dilakukan SAS, akan sulit terkabulkan.
Para aktivis mahasiswa yang dinakodai GMKI, GMNI dan 12 OKP Cipayung itu kemudian bersepakat membentuk Aliansi Keadilan Untuk Perempuan dan Anak Alor (AKU Alor), pada Kamis (8/9) di Sekretariat GMKI Kalabahi, Watatuku.
Aliansi tersebut dikoordinir oleh Ketua GMKI Kalabahi Kalfin R. Karbeka, Erwin Padademang, Etus Saldena, Erson Atamau, Erwin Atamau dan Yonas Maimafanseni. Mereka akan menggelar unjuk rasa pada Senin (12/9) di Kalabahi mengecam pernyataan Ketua Sinode GMIT yang menolak hukuman mati dan mendukung kepolisian konsisten menerapkan pasal pidana mati bagi tersangka SAS. Mereka khawatir pernyataan Ketua Sinode GMIT ini diduga akan memberikan pengaruh besar dalam proses penegakan hukum pidana mati bagi bekas karyawannya (Vikaris) SAS.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2022/09/06/buka-ordik-rektor-pesan-maba-harus-sukses-studi-di-untrib/
“Kami akan gelar aksi mendukung kepolisian menerapkan pasal pidana mati bagi pelaku SAS. Sementara kami lagi konsolidasi massa. Dipastikan ada ribuan orang ikut aksi di Kalabahi menuntut keadilan hukum bagi korban,” kata Koodinator Divisi Humas dan Media AKU Alor, Etus Saldena, Jumat malam.
Etus mengatakan persoalan yang menimpa 8 korban ini bukan hanya menjadi persoalan Gereja, umat Kristen dan orang Alor saja, melainkan menjadi persoalan kemanusiaan dan HAM pada anak yang menjadi konsen isu masyarakat Indonesia dan dunia. Karena itu ia mengajak seluruh masyarakat Alor pecinta keadilan dari berbagai suku, agama dan ras untuk menghadiri aksi unjuk rasa dimaksud.
Sementara itu penanggung jawab aksi AKU Alor Ketua GMKI Kalabahi Kalfin R. Karbeka mengatakan surat pemberitahuan dan permohonan bantuan pengamanan aksi unjuk rasa AKU Alor sudah dikirim kepada Kapolres Alor pada Jumat (10/9) di kantor Polres, Kalabahi Kota. Selain unjuk rasa, Aliansi juga akan menggelar dialog dan aksi-aksi lanjutan mengawal pidana mati sampai ada putusan tetap di pengadilan.
Kepolisian Resort Alor Polda NTT telah menetapkan Vikaris GMIT SAS (36th) tersangka kasus dugaan pemerkosaan 6 anak di Kabupaten Alor. Penetapan tersangka itu dilakukan pada hari Selasa 6 September 2022 setelah penyidik gelar perkara.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2022/08/22/ratusan-panitia-konven-dan-musbel-pemuda-sinode-gmit-diperhadapkan-di-gereja-pniel-kolana/
“(SAS) sudah (ditetapkan) tersangka,” kata Kapolres Alor AKBP Ari Satmoko, Selasa (6/9) di Kalabahi.
Adapun tersangka SAS dikenakan pasal 81 ayat (5) jo pasal 76d UU Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menjadi UU, jo pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
“Ancaman hukuman pidana mati, seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun,” kata Kasat Reskrim Polres Alor Iptu Yames Jems Mbau ketika mengumumkan SAS tersangka pemerkosaan 6 anak, Selasa (6/9) di Kalabahi. (*dm).

Catatan: 

Hak Jawab Ketua Majelis Sinode GMIT Pdt. Dr. Mery Kolimon

Berikut kami sertakan link berita Hak Jawab Ketua Majelis Sinode GMIT Pdt. Dr. Mery Kolimon terhadap berita ini, yang dikirim kepada Redaksi Tribuana Pos pada tanggal 17 November 2022.

Link beritanya:

https://tribuanapos.net/2022/11/18/hak-jawab-sinode-gmit-terkait-berita-tentang-mery-kolimon-tolak-hukuman-mati-obyektivitas-bantuan-hukum-gmit-dan-dugaan-pelaku-lain-di-kasus-sas/

Hak jawab ini dikirimkan Pdt. Dr. Mery Kolimon kepada Redaksi Tribuana Pos setelah Dewan Pers menggelar mediasi pada tanggal 15 November 2022 via zoom dan menilai berita ini melanggar kode etik pers pasal 1 dan 3, juga melanggar butir 2 huruf a dan b, Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/III/2012 tentang Pedoman Pemberitaan Media Siber terkait verifikasi dan keberimbangan berita.

Permintaan Maaf Redaksi
Pimpinan Redaksi Tribuana Pos (https://tribuanapos.net/), Demas Mautuka meminta maaf penuh kasih kepada Ibu Pdt. Dr. Mery Kolimon, jajaran Majelis Sinode Harian GMIT, warga GMIT, masyarakat dan pembaca Tribuana Pos atas kekeliruan dan ketidakakuratan pada berita yang ditayang pada edisi tanggal 10 September 2022, dengan judul: https://tribuanapos.net/2022/09/10/tentang-mery-kolimon-tolak-hukuman-mati-obyektivitas-bantuan-hukum-gmit-dan-dugaan-pelaku-lain-di-kasus-sas/.
Permintaan maaf ini disampaikan Demas Mautuka karena berita tersebut berdasarkan penilaian Dewan Pers telah melanggar kode etik pers pasal 1 dan 3. Berita itu juga dinilai Dewan Pers melanggar ketentuan butir 2 huruf a dan b, Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/III/2012 tentang Pedoman Pemberitaan Media Siber terkait verifikasi dan keberimbangan berita.
Pimpinan Redaksi Tribuana Pos menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada Pdt. Dr. Mery Kolimon dan jajaran Majelis Sinode Harian GMIT yang telah menempuh jalur penyelesaian sengketa pers di Dewan Pers dengan damai. Semoga ini jadi pembelajaran bagi masyarakat dan lebih khusus pada wartawan Tribuana Pos dalam peliputan berita.
Demikian permintaan maaf ini disampaikan pimpinan Redaksi Tribuana Pos Demas Mautuka. Kami doakan semoga Ketua MSH GMIT Pdt. Dr. Mery Kolimon dan jajaran MSH dapat menjalankan tugas pelayanannya di GMIT hingga akhir periode dengan baik. Tuhan memberkati. (*demas mautuka).