Kalabahi – Kerukunan Mahasiswa Alor Timur Laut (KEMILAU) dan warga Korban Seroja di Desa Waisika Kecamatan Alor Timur Laut menggelar aksi unjuk rasa di kantor BPBD Kabupaten Alor, NTT, Senin 13 Maret 2023.
Aksi itu mereka mempertanyakan kasus dugaan korupsi dana bantuan rumah bencana Seroja tahun anggaran 2021 senilai Rp 54 Miliar. Mahasiswa dan warga menduga ada korupsi dana bencana Seroja karena rumah bantuan yang dikerjakan sama sekali tidak layak huni.
Unjuk rasa tersebut membuat mahasiswa naik pitam karena tidak menerima penjelasan yang logis dari Kepala BPBD Marthen Moubeka, Sekretaris John Sakala, Kabid Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Mein M.C. Peny dan PPK Jery Makena soal transparansi pengelolan dana proyek bencana Seroja senilai Rp 54 Miliar. Mereka pun akhirnya menyegel pintu kantor BPBD.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2023/03/14/ini-foto-kondisi-rumah-bencana-seroja-di-alor-yang-tak-layak-huni-ada-yang-lantai-semennya-tumbuh-pohon-pisang/
Puluhan mahasiswa KEMILAU dan korban Seroja menggelar aksi dengan rute awal di kantor DPRD, kantor Kejaksaan Negeri Alor, dilanjutkan di kantor BPBD Alor.
Setelah dari kantor Kejaksaan, Mereka terlihat turun dari mobil dan berjalan kaki dari depan gerbang kampus Universitas Tribuana menuju kantor BPBD yang berada di Baturniwala bagian timur kantor Bupati Alor.
Tiba di kantor BPBD, masa aksi mulai berorasi menyampaikan keluh kesahnya terkait bencana seroja yang terjadi April 2021 lalu yang meluluhlantahkan rumah, harta benda dan juga menghilangkan nyawa keluarga mereka.
Namun ternyata bantuan rumah yang mereka harapkan dari Presiden Jokowi ini konsisinya dikerjakan sangat memprihatinkan.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2023/03/14/demo-ke-dprd-alor-warga-korban-seroja-minta-dprd-panggil-pemda-minta-pertangungjawaban-proyek-bantuan-rumah-tak-layak-huni/
Ketika berorasi di depan kantor BPBD, nampak Sekretaris BPBD John Sakala dan Kabid Rehabilitasi dan Rekonstruksi Mein Peny terlihat menghampiri mereka di pintu utama kantor BPBD.
Ketua KEMILAU Antipas Kamengkol berorasi menuntut pertanggungjawaban BPBD atas kasus pembangunan proyek perumahan bantuan Seroja di Desa Waisika yang dibangun tidak layak huni.
Setelah berorasi, mereka kemudian sepakat berdialog dengan Kepala BPBD dan jajarannya disertai Pejabat Pembuat Komitmen atau PPK Jery Makena di ruang rapat kantor BPBD.
Ketua KEMILAU Antipas Kamengkol membuka pembicaraan bahwa pihaknya datang bersama korban Seroja untuk mempertanyakan dugaan korupsi proyek rumah bencana Seroja yang dibangun tidak layak huni.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2023/03/14/belum-terima-dana-tunggu-hunian-senilai-rp-582-juta-warga-korban-seroja-alor-duga-dana-itu-dikorupsi/

“Kami datang meminta penjelasan mengapa proyek perumahan Seroja di Desa Waisika dibangun dengan dana Rp 54 Miliar tapi rumahnya tidak layak huni. Kami menduga ada korupsi,” katanya.
Aktivis lainnya, Dedy Letmau juga menanyakan proses dan mekanisme pengawasan dari BPBD yang tidak berjalan maksimal sehingga menyebabkan proyek dibangun seperti kandang ayam alias tak layak huni.
Aktivis KEMILAU Stinky Laure juga menyoalkan proyek perumahan Seroja yang dikerjakan dengan dana Rp 54 juta/unit namun faktanya proyek itu sama sekali kualitasnya tidak sesuai nilai dana yang ada.
“Kenapa proyek rumah sepeti ini bapak dorang mau tanda tangan 100% selesai dan serah terima barang? Serah terima juga paksa masyarakat tanda tangan dokumennya. Kalau mereka tidak mau tanda tangan na diancam dengan aparat,” kesal Stinky.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2023/03/14/rumah-seroja-tak-layak-huni-warga-korban-seroja-alor-demo-di-kejaksaan-tuntut-usut-kasus-korupsi-dana-seroja-rp-54-miliar/
Aktivis Steven Momay juga menanyakan soal dana tunggu hunian atau DTH sebesar Rp 500 ribu/bulan untuk para korban yang rumahnya status rusak berat.
Steven mengatakan, dana itu ada korban yang belum sama sekali menerimanya, ada pula yang baru terima Rp 1.500.000 untuk tiga bulan. Sementara sisa 3 bulan lainnya belum tersalur ke rekening penerima di Bank BRI Cabang Kalabahi.
“Saya minta supaya dana itu segera dibayar. Bapak dong jangan taputar-taputar lagi. Segera bayar. Kalau yang sudah bayar juga harus kasih tunjuk kwitansinya (yang 6 bulan punya),” ujarnya.
Dialog berlangsung alot. Warga korban Seroja ikut bicara sampaikan keluh kesahnya soal mereka bisa kerjakan sendiri rumahnya dari dana Rp 54 juta yang ada.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2023/03/10/apresiasi-vonis-mati-sas-aliansi-cipayung-minta-pemda-dan-sinode-gmit-beri-perhatian-serius-ke-korban/

Namun proses administrasi pencairan dana yang rumit di BPBD sehingga bantuan rumah itu mereka tidak bisa kerjakan sendiri.
“Ada orang lain bisa terima uangnya dan kerja sendiri, sementara kami ini susah sekali, padahal kami mau kerja sendiri. Kami urus turun naik kantor BPBD ini sampai sebulan hanya tidak ada kejelasan dari Ibu Kabid (Mein) untuk pencairan dana kami kerja sendiri,” kata Nataniel Kamenglet, korban seroja di Desa Waisika.
Kepala BPBD Marthen Moubeka membenarkan dana untuk proyek perumahan Seroja di kabupaten Alor ditransfer pusat senilai Rp 54 Miliar.
Rinciannya, Rp 54 juta/unit untuk rumah rusak berat, Rp 25 juta/unit untuk rumah rusak ringan dan Rp 10 juta/unit untuk rumah rusak ringan.
“Total rumah itu ada 1.543 unit di seluruh kabupaten Alor,” katanya.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2023/03/10/eks-vikarisnya-divonis-mati-sinode-gmit-minta-pemerintah-jokowi-evaluasi-pasal-pidana-mati-dalam-sistim-hukum-nkri/
Marthen menjelaskan untuk rumah rusak berat itu sistimnya dibangun menggunakan kontrak dengan rekanan atau pihak ketiga.
Sementara untuk rusak sedang dan ringan menjadi kewenangan korban untuk mencari rekanan sendiri. Pengawasannya tetap bersama fasilitator teknis dari tim.
“Untuk rusak sedang dan ringan ini mereka cari rekanan sendiri. Nanti semuanya sudah selesai kerja 100% baru mereka masyarakat yang bayar sendiri. Jadi uang itu bukan ada di kami. Uang ada di rekening korban,” kata Marthen.
“Untuk rumah rusak berat ini yang kerja pakai kontraktor. Itu juga tidak ada uang muka. Jadi kontraktor kerja selesai 100% baru nanti dibayar, dananya di rekening korban masing-masing. Kami BPBD tidak pegang uang. Uang itu ditranfer ke rekening masuk rekening BPBD kemudian dilanjutkan ke rekening masing-masing korban. Jadi nanti pekerjaan sudah 100% baru dibayar,” lanjut Marthen.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2023/03/10/ratusan-warga-alor-telah-disuntik-vaksin-covid-19-program-kantor-kesehatan-pelabuhan-kelas-ii-kupang/

Sementara itu, PPK Jery Makena menjelaskan, biaya untuk pekerjaan rumah rusak berat itu senilai Rp 54 juta/unit, dengan total dana sebesar Rp 54 Miliar.
Menurutnya, dana itu sudah ditransfer masuk ke rekening masing-masing penerima berdasarkan SK Bupati Alor Amon Djobo.
Jery menjelaskan, data untuk pekerjaan rumah korban bencana Seroja itu diambil berdasarkan data dari Desa dan Kecamatan.
“Data itu sudah terverifikasi oleh APIP dalam hal ini IRDA maupun dari BNPB. Itu sudah terverifikasi. Jadi muncullah SK (Bupati) penerima bantuan itu,” katanya.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2023/03/09/tak-menduga-kliennya-divonis-mati-ph-sas-akan-banding/
Jery merincikan bahwa dana bantuan pembangunan rumah Seroja senilai Rp 54 Miliar ini sudah dibagi berdasarkan kategori kerusakan rumah masing-masing. Antara lain: rusak berat Rp 54 juta/unit, rusak sedang Rp 25 juta/unit dan rusak ringan Rp 10 juta/unit.
Jery kemudian merincikan bahwa dana itu semuanya tidak utuh diperuntukan untuk pembangunan rumah saja melainkan ada biaya upah tukang, biaya pajak PPN/PPH dan biaya transportasi barang ke lokasi.
Karena itu Juknis sudah mengatur demikian termasuk besaran upah tukang sebesar 20% dari jumlah dana berdasarkan kategori kerusakan masing-masing.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2023/03/09/respon-vonis-mati-eks-vikaris-gmit-keluarga-korban-ini-keadilan-untuk-kami-orang-kecil/
“Untuk 10 juta itu sudah ada upah tukang. Itu sudah diatur oleh Juknis. Juknis ini turunan dari Peraturan Kepala BNPB. Jadi upah tukang 20%. Jadi kalau 10 juta ya 2 juta itu menjadi hak dan kewajiban (pekerja). Rp 8 juta itu yang digunakan untuk pembelanjaan material,” ujarnya. Hal ini berlaku juga pada rumah rusak sedang dan berat.
“Kalau yang ganti uang (kepada masyarakat yang kerja rumahnya sendiri) itu di Juknis dia sudah atur juga. Itu kalau misalnya dia sudah bangun menggunakan batu, seng, nah itu yang dinilai. Jadi dia bangun 5 juta ya itu yang uangnya kita ganti,” jelasnya.
Jery menjelaskan, bantuan perumahan ini dikerjakan harus sesuai persyaratan, antara lain ada sertifikat tanah. Jika sertifikatnya tidak ada maka perlu ada surat keterangan Desa bahwa tanah ini benar miliknya.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2023/03/09/sepriyanto-ayub-snae-mantan-calon-pendeta-gmit-divonis-hukuman-mati/
Untuk proyek rumah rusak berat, Jery menjelaskan bahwa sistim kerja pengupahannya sama dengan rumah rusak sedang dan rusak ringan.
“Rusak berat sama juga, 20% (setara Rp 10.800.000) dari Rp 54 juta itu untuk upah tukang,” katanya.
“Nanti bangunan rumah sudah selesai baru kita kasih keluar uang. Kasih keluar uang ini bukan kami yang ambil juga tetapi masyarakat penerima yang ambil (di Bank BRI Cabang Kalabahi). Kalau kami yang ambil ya bank tidak terima. Jadi slip penarikan itu saya juga tidak melihat itu uang. Saya hanya kasih permohonan, rekomendasi ke bank bahwa masyarakat ini nanti uangnya mau keluar. Jadi masyarakat ini dia pigi tunggu di sana (Bank BRI). Bukan kita yang ambil. Jadi kita tidak melihat uang satu sen pun,” ujar Jery sambil membantah ada korupsi proyek dana bencana Seroja.
Baca Juga: https://tribuanapos.net/2022/09/12/aku-alor-tuntut-polisi-usut-terduga-pelaku-lain-di-kasus-sas-dan-tangkap-warga-yang-membully-korban/
